07.00
Sudah hampir sepuluh menit suasana terasa membeku bagi mereka. Tidak ada percakapan. Hanya desing mesin penghangat ruangan, ditambah suara gesekan ranting pohon di luar, yang sedari tadi seakan bercakap-cakap menggantikan suara mereka.
Luhan masih dengan posisinya yang memeriksa Sehun menggunakan stetoskop, sementara yang diperiksa hanya duduk diam, tanpa melirik sang dokter yang melaksanakan tugasnya dengan kebisuan.
"Kondisimu cukup baik. Pengaruh anestesinya sudah hilang, tapi beberapa hari ke depan kau akan sering merasakan pusing akibat efek samping dari dosis obat yang kami berikan sebelum operasi."
Untuk pertama kalinya Xi Luhan membuka suara. Sehun mendesah lega ketika akhirnya pria berjas putih itu selesai memeriksanya dan bergerak menjauh darinya. Posisi mereka memang dekat, namun masing-masing seakan membangun benteng terhadap perang dingin yang mencetus.
"Kau bisa lanjutkan tidurmu." Tambah Luhan. Bahkan tanpa melirik Sehun.
Sehun menggigit bibir. Rasa sesal yang mendalam kembali menyelimuti dirinya. Penyesalan yang tak ada habisnya setiap kali bertemu pria bernama Xi Luhan itu. Dan tanpa pemikiran matang atau persiapan mental, ia menyeru, "Sesekali temuilah Lee Ahjussi."
Langkah Luhan yang sudah mencapai ambang pintu terhenti.
"Sesekali ajaklah dia bicara, ajak dia makan, dan ajak dia jalan-jalan." Sehun menatap ke jendela yang tertutup tirai. Menyembunyikan kegelisahan hati yang melanda. "Dia merindukanmu."
Luhan tersenyum miring. "Untuk apa aku melakukan itu kalau sudah ada kau yang pastinya akan melakukan semua itu."
"Dia ayahmu, Hyung!"
"Jika dia ayahku, seharusnya dia percaya padaku! Bukan pada orang lain." Untuk sesaat tatapan Luhan berubah mengerikan. "Katakan saja padanya untuk tidak usah mempedulikan aku. Dan berhenti mengunjungiku beserta ibuku di rumah. Jujur saja, aku muak dengan dirinya."
Tangan Sehun mengepal kuat. Bahkan setelah sekian waktu ia mengumpulkan nyali untuk mengakhiri perang dingin itu, atau setidaknya merobohkan benteng 'kebencian' Luhan terhadapnya, ternyata tak membuahkan hasil. Semua usaha Oh Sehun sia-sia.
Ruangan itu kembali senyap. Luhan dengan langkah lebarnya baru saja meninggalkan Sehun yang masih terpaku di tempat. Membendung penyesalan yang entah sampai kapan akan berbuah kata 'maaf'.
**
"Kenapa lama sekali? Sebenarnya apa yang mereka lakukan di dalam? Dan mengapa menyuruh kita menunggu di luar?!" Chanyeol mulai mendumel tak sabaran.
Eunji, satu-satunya orang yang duduk di sebelahnya, berdecih. Seorang dokter yang hendak memeriksa pasiennya berhak meminta keluarga pasien untuk menunggu di luar. Selain agar tidak mengganggu, tujuan lainnya adalah untuk menjaga privasi pasiennya. Eunji tahu itu dari sebuah buku kedokteran yang ia baca beberapa bulan lalu. Sebelum ia buta tentunya.
Baru saja Chanyeol akan bangkit, pintu nomor 307 itu terbuka. Sosok pria tinggi, berjas putih, dan bermata teduh menyapa mereka, "Pemeriksaannya sudah selesai."
"Bagaimana kondisi Oh Sehun, dok?" Tanya Chanyeol.
"Kondisinya lebih baik dibanding saat sadar lima jam lalu. Tapi mungkin ia akan sering pusing akibat operasi kemarin." Luhan mengambil jeda. Melihat tatapan khawatir dari dua manusia di depannya membuatnya buru-buru melanjutkan, "Tidak perlu khawatir. Itu wajar karena operasinya di bagian otak, selain itu juga pengaruh anestesi total. Kami akan terus memonitor keadaannya dan memberi terapi obat."
Syukurlah. Batin Eunji.
"Kalau begitu saya permisi." Pamit Luhan sembari melangkah.
Chanyeol segera masuk untuk melihat kondisi sepupunya itu. Meninggalkan Eunji yang--dengan keterbatasan indera--mencoba mengikutinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
FanfictionKetika puluhan keping takdir menyeramkan mengepung anganmu dari berbagai sisi, kemanakah kau akan berlindung? Beautiful cover by LhyFinda Art.