Dalam balutan selimut tebal, Oh Sehun terbaring lemah. Handuk kecil yang basah oleh air hangat menempel di dahi, berharap dapat menyerap panas tubuhnya. Dua hari pasca ujian kelulusan berakhir, dirinya hanya membujur di kasur akibat demam. Kata dokter, ini hanya karena kelelahan. Tapi bukan itu. Sehun tak pernah lelah dengan semua kukungan hidup. Ia merasa sesuatu pergi, sebuah penawar sakit yang tak lagi dapat ia genggam.
Matanya membuka ketika jam kecil di nakas bergetar. Pukul enam sore, saatnya makan malam. Setelah menyingkirkan handuk di dahi, Sehun berjalan gontai ke ruang makan. Namun bukan makanan tujuannya. Ia mencari sosok tinggi tegap dengan tatapan mengintimidasi. Menyadari bahwa sosok itu tak ada di setiap sudut rumah, Sehun bergerak ke garasi. Menginjak gas untuk memacu mobilnya membelah jalan Kota Seoul. Kalau ayahnya tak ada, maka ini kesempatannya untuk pergi.
Ia tak menyangka kalau mobilnya kini memasuki kawasan padat penduduk di Gangnam. Berhenti di depan bangunan kecil dengan pagar kayu setinggi dada yang mengelilinginya. Di balik kemudi, Sehun merasa sesak mendalam. Denyutan ringan di kepalanya makin menjadi ketika udara dingin mengetuk jendela mobil.
Tetapi, saat sosok berambut panjang dengan syal abu-abu muncul dari balik gerbang, seketika tubuhnya menegak. Sesak lenyap ketika matanya menatap wajah pucat itu. Seorang gadis yang membawa kantong sampah besar, berjalan tertatih dalam licinnya salju. Entah mendapat bisikan dari mana, Sehun berlari menghambur. Bahkan lancang menyapa, "Sudah dua bulan, ya, kita tidak bertemu."
Gadis itu terkejut. Membelalakan mata ke arah lain, tak memandangnya. Tapi mendengar gadis itu menyebut, "Oh S-Sehun?" membuat Sehun tersenyum. Ia tak memperkenalkan diri, tak memberi clue akan sosoknya. Namun gadis itu mengenalinya, menyebut namanya.
"Bagaimana k-kau bisa ada di sini?" Ia bertanya. Terbata.
Sehun tidak merespon. Justru menarik gadis itu dalam gerakan cukup kasar. "Ikut aku."
**
Tepi Sungai Han, pukul delapan malam, di pertengahan Desember. Tidak ada yang menarik selain sorot lampu jalan yang dibiaskan air. Salju menghadiahkan udara dingin yang menusuk kulit. Jung Eunji merapatkan syal abu-abunya. Onigiri dalam genggamannya tak tersentuh, hanya menggantung tegak di sana.
Dua jam lalu, saat hendak membuang sampah yang menggunung di dapur, ia mendengar suara angkuh itu menyapanya. Disusul tarikan yang membuat diri Eunji disengat aliran listrik bervoltase rendah, membelalakan mata. Dua bulan, ia kembali dalam dunia gelap itu, dalam lingkup penuh dosa. Tapi suara Sehun detik itu membuatnya tersenyum, sekaligus bersyukur pada gejolak perasaan yang tak ada habisnya.
"Jadi ini yang kau lakukan bersama Luhan waktu itu. Makan onigiri di pinggir Sungai Han."
Sayangnya itu pernyataan. Kalaupun Eunji harus merespon, ia memilih mengangguk. Membiarkan obrolan dikuasai Oh Sehun, karena ia amat merindukan suara itu. Suara yang angkuh, namun kini terdengar menyenangkan.
"Selain ini, apalagi yang kau lakukan bersamanya?" Kali ini Sehun bertanya.
"Tidak ada. Kami bertemu hanya untuk mengobrol, mengenang masa lalu."
"Apa masa lalumu seindah itu hingga harus terus dikenang?" Eunji mendengar nada kesal dari ucapan Sehun. Ia ingin tertawa, tapi tidak bisa.
Tidak ada satu bagianpun yang indah. Kalau Eunji boleh jujur, itu yang ingin ia katakan. Tapi ia memilih menghindari konflik. "Tidak." Ia terkekeh. "Kami memilih itu, karena tidak ada topik lain untuk dibicarakan."
Hening sempat melanda. Sehun melahap onigiri-nya dalam diam. Sementara Eunji hanya terus mengencangkan syal, menggosok tangan yang seakan mati rasa akibat dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
FanfictionKetika puluhan keping takdir menyeramkan mengepung anganmu dari berbagai sisi, kemanakah kau akan berlindung? Beautiful cover by LhyFinda Art.