Destiny

704 84 3
                                    

"Meskipun tangan yang kugenggam dengan erat dan erat,
Sudah ditakdirkan untuk berpisah dengan dirimu,
Kenangan itu pasti akan tersisa di dalam hatiku.
Karena kita selalu dan akan selalu terhubung bersama-sama." -Overfly, Haruna Luna

.

Februari 2013.

Ada satu keadaan dimana Xi Luhan terkadang menyerah dengan pekerjaannya. Adalah ketika puluhan pasien datang bersama keluhannya, meminta konseling yang nantinya hanya menjadi deretan kata tak berarti. Dirinya hanya bisa mendesah, menampilkan senyum menenangkan, sementara di balik itu ada banyak hal yang mengganggu pikiran. Shift pagi yang harusnya selesai tiga jam lalu, menghasilkan rasa lelah mendalam. Meraih ponsel sembari mengetik kalimat untuk meminta taksi langganannya menjemput, Luhan kini melangkah. Menjauhi tempat yang dipenuhi bau cairan aseptik dan desinfektan.

Ponselnya tiba-tiba berdering ketika ia mengambil posisi duduk di bangku loby. Segera menyapa orang di seberang, "Hallo?"

"Ini aku, Lu." Ucapnya. "Operasinya berjalan lancar. Sekarang ini matanya sedang dibalut kasa dan perban untuk menghindari infeksi sekaligus menunggu proses adaptasi. Lusa, datanglah jam 9 pagi, saat perban itu dibuka."

Luhan tersenyum kecil. "Aku mengerti. Terima kasih informasinya, Hyung." Ia menutup telepon. Menenggelamkan wajah dalam tangkupan tangan.

Ini bukan tentang dendam, benci, atau apapun; tetapi Luhan tidak suka mengetahui kenyataan bahwa Jung Eunji lebih menyukai kehadiran Oh Sehun, bukan dirinya. Bahkan setelah lebih dari lima tahun ikatan antara dirinya dan Eunji terbentuk, setiap ucapan Oh Sehun selalu yang paling istimewa. Ada atau tidaknya dia, tentang siapa yang ingin Eunji lihat setelah kebutaannya terangkat, Luhan tak mau ambil pusing.

Hari itu Kamis, hari yang dijanjikan dokter untuk membuka perban di mata Eunji. Dengan langkah pelan, juga sengaja mengulur waktu, Luhan akhirnya menampakkan diri. Bergerak mendekat ke bed dimana Eunji kini duduk diam, menatap jendela di sisi kanannya. Tidak ada sosok lain selain mereka berdua. Hanya mesin penghangat ruangan yang sibuk berdesing, menjadi alunan nada memuakkan.

"Selamat karena kau bisa kembali melihat salju."

Gadis itu tersenyum, tetap memandang ke luar jendela. Mungkin taburan salju di luar lebih menarik. "Ya."

Luhan mengambil posisi duduk di samping bed, ikut mengarahkan pandang ke jendela, membelakangi Jung Eunji. Benar, keadaan di luar lebih menarik. Salju kembali turun, memburamkan kaca mobil, menutup seluruh kota dalam balutan putih nan dingin.

"Musim dingin tahun ini tidak begitu menyenangkan. Hampir setiap hari turun salju, bahkan ramalan cuaca bilang akan ada badai ringan besok Sabtu."

"Begitu?"

"Begitu." Pria itu membalikan tubuh, resmi menghadap Jung Eunji. Tangannya mengepal ketika akhirnya mata itu menatapnya, menyalurkan segala perasaan yang tak dipahami Luhan. Tetapi ia tahu bahwa kini tak ada lagi sinar dalam iris hitam itu, tak ada tatapan kerinduan untuknya seperti dulu.

Desingan mesin penghangat makin tak teratur. Menjadi perantara dalam keadaan diam tak berujung. Pada detik kesekian, Luhan bangkit. "Sepertinya kehadiranku tidak ada artinya." Ia mengencangkan mantel yang membalut tubuh. "Aku pamit. Besok mungkin aku kemari, kalau tidak sibuk." Baru tiga langkah, ia kembali berhenti--saat suara itu melirih.

"Di mana dia?" Eunji menggigit bibir, menghindari kontak mata. "Dimana Oh Sehun? Kenapa tidak ada kabar sebulan ini? Apa dia lagi-lagi mempermainkanku? Apa dari awal ini rencananya? Memberi banyak janji, tapi tak ada yang ia usahakan menjadi nyata."

Selalu Oh Sehun. Padahal jelas-jelas di hadapannya ada Xi Luhan. Sebulan terakhir, Eunji memang lebih sering merenung, menangis. Sudah berkali Luhan datang dengan sikap dewasa yang menenangkan--seperti dulu, tapi hanya senyuman palsu sekaligus ungkapan sama yang Eunji berikan. Katakan Xi Luhan kejam, tidak memberitahu di mana Sehun saat ini. Memilih merahasiakan banyak hal, membuat keadaan seolah Sehun yang bersalah akibat pergi secara tiba-tiba dan tanpa pamit. Kalau Eunji tahu kenyataan sebenarnya bahwa Sehun kuliah di London, mungkin kesedihan itu tak akan hadir. Tetapi ia memutuskan pilihan pertama, karena hanya dengan cara ini Jung Eunji dapat melupakan Sehun nanti, walaupun secara pelan dan 'sedikit menyakitkan'.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang