"Wanita yang Anda minta sudah datang."
Jimin menyesap teh ginsengnya pelan. Manik legamnya melirik ke arah Namjoon yang membungkuk di sampingnya. Ia pun menarik senyum tipis sebelum wajahnya kembali datar.
Setelah kerongkongannya basah dan hangat, Jimin menaruh cangkirnya di atas meja. Kedua kakinya dilipat. Sikunya diistirahatkan di lengan kursi. Kesepuluh jemarinya bertautan.
"Bawa dia kemari."
Tidak lama setelah ia berkata itu, dua orang pengawal masuk sambil menyeret seorang gadis. Gadis berambut hitam yang disanggul indah ke belakang lehernya. Sebuah gaun sutra yang memperlihatkan daerah bahunya menempel manis di tubuh gadis itu.
Warna maroon. Kesukaan Jimin.
Lagi-lagi ujung bibir Jimin naik sedikit. Usahanya kali ini berhasil.
Ia berhasil membawa gadis itu masuk ke dalam ruangannya, teritorinya.
Gadis itu tampak murung. Sepertinya ia habis memberontak saat menunggu di luar. Bibir cherrynya tidak berhenti komat-kamit. Jimin kira itu adalah rentetan sumpah serapah.
Aw, menggemaskan.
"Akhirnya kau mau datang kesini." Jimin mengulas senyuman termanisnya.
Gadis itu melepas kedua lengannya dengan kasar dari genggaman dua pengawal yang menyeretnya kemari. Ia mendelik tajam ke dua lelaki bertubuh besar itu yang kemudian pergi meninggalkannya ke luar ruangan.
Jimin pun mengangkat tangan kanannya. Namjoon yang menangkap sinyal itu segera membungkuk dalam-dalam dan berlari kecil keluar ruangan.
Tinggal Jimin dan gadis yang berdiri sekitar lima kaki di depannya.
"Maniak gila," gerutu gadis itu dengan tangan terlipat.
Kedua alis Jimin terangkat. "Kau berani mengatakan itu di depan majikanmu?"
Sontak, sang gadis terbatuk. Keningnya mengerut dalam. M-majikan?
Demi kotoran kuda yang tadi pagi tidak sengaja ia injak, ia tidak akan sudi jadi bawahan siapapun! Terutama pria tidak tahu etika yang sedang duduk manis di depannya ini.
"Aku? Punya majikan?" tanya gadis itu sambil menunjuk dirinya sendiri. Seolah berusaha memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah.
"Ya. Aku adalah majikanmu." Senyum Jimin belum luntur.
Gadis itu tertawa mengejek. "Majikan, pantatmu."
Tanpa bersuara, Jimin bangkit dari duduknya. Kedua tangannya tenggelam di balik saku celana. Lelaki itu melangkah mendekat.
Sang gadis langsung saja memasang ancang-ancangnya. Tangannya terkepal kuat bersiap meninju wajah rupawan Park Jimin jika pria itu berani macam-macam.
Langkah Jimin terhenti ketika ujung pantopelnya menyentuh ujung gaun gadis itu. Kepalanya sedikit menunduk karena gadis itu pendek.
Maksudnya, sedikit lebih pendek darinya. Satu senti saja Jimin maju lagi, dagu lancip perempuan itu dipastikan akan langsung menempel dengan dagu tegas miliknya.
Mendapat tatapan intens dari Park Jimin membuat sang gadis segera membangun benteng pertahanan setinggi mungkin. Dua kepalan tangannya menempel di pinggang dan dagunya ia angkat tinggi-tinggi.
Bertemu lelaki angkuh seperti Park Jimin membuatnya menambahkan satu pola pikir di kepalanya.
Jika Jimin bisa bertingkah arogan, maka dia juga.
Jika Jimin bisa memperlakukannya semena-mena, maka dia juga.
Dia tidak boleh kalah. Dia harus kuat.
"Dengarkan baik-baik, Nona."
Gadis itu menahan napasnya begitu suara berat Jimin menyapu gendang telinganya. Jangan lupakan napas Jimin yang memabukkan kerap menerpa kulit wajahnya.
Pusing. Berada di dekat Jimin membuat kepalanya pening.
"Mulai detik kau menginjakkan kaki di ruangan ini, kau milikku. Hidupmu, waktumu, jiwamu, dan ragamu, hanya untukku."
Suara berat itu lagi. Gadis itu tidak tahu sampai kapan ia harus menahan napasnya. Ia mencoba untuk tidak menghirup aroma tubuh Jimin jika tidak ingin pingsan di pelukan lelaki bejat itu.
Arogan. Angkuh. Egois. Kejam. Menjijikan.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika terus berada di dekat lelaki ini.
"Jadi, jangan sekali-kali kau melawanku, Kim Jiyeon."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
[pjm] Servant of Evil ✔
Fanfiction[TELAH TERBIT! TERSEDIA DI TOKO BUKU ONLINE] Jiyeon tidak pernah tahu bahwa lelaki nomor satu setelah raja adalah seorang bocah tidak tahu sopan santun dan kejam di balik senyum menawannya. Jiyeon akui dia tampan. Wajar, dia adalah seorang Pangeran...