Jinyoung sedang mengasah pedang ketika burung elang pembawa pesan datang padanya.
Burung tersebut bertengger di jendela ruang kerjanya. Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri, menatap Jinyoung dengan bola mata hitamnya.
Jinyoung menyeka peluh yang mengairi lehernya. Ia simpan satu buah pedang yang telah selesai ia asah di tempatnya. Tangannya meraih sebuah kain kotor untuk mengusap noda arang di sela-sela jemarinya. Kakinya pun perlahan menghampiri burung tersebut.
“Apa ini?” tanyanya.
Ia tahu, ia tidak bodoh. Burung tersebut tidak mungkin menjawab pertanyaannya. Namun, unggas di hadapannya membungkuk, memperlihatkan punggungnya yang terikat oleh sebuah tabung kecil.
Jinyoung membuka tabung tersebut dan menemukan kertas pucat yang digulung di dalam sana. Tanpa berpikir apapun, Jinyoung buka gulungan kertas tersebut dan menyipitkan mata untuk membaca.
Kim Jiyeon telah menjadi properti istana dan tidak akan pernah kembali.
Jinyoung berkedip satu kali.
Satu kali lagi, lalu ia membaca ulang satu kalimat yang ditoreh dengan tinta hitam yang pekat.
Jinyoung menarik napasnya dalam-dalam dan dihembuskan perlahan. “Haha. Usaha bagus.” ia menggulung kembali kertas yang nyaris ia injak ke tanah.
Namun, satu realita membuat senyum Jinyoung pudar. Tidak ada yang akan merelakan seekor burung elang mahal hanya untuk mengirim surat iseng.
Kedua tangannya tanpa sadar mengepal di kedua sisi tubuhnya, membuat kertas dalam genggamannya remuk. Napas yang keluar dari hidungnya terdengar lebih keras dari biasanya.
“Jinyoung?”
Kepala Jinyoung berputar ke arah pintu masuk. Di sana ada Mina.
“Itu apa?” tanya gadis itu. Gaunnya menyeret tanah hingga warna kehitaman mengotori ujung roknya.
Belum sempat Jinyoung menjawab, burung elang tersebut telah terbang lebih dulu. Ia sembunyikan kertas ke belakang punggungnya. Jinyoung pun berdeham. “Bukan apa-apa.”
“Burung elang pembawa pesan dari istana.” Mina berkata. Kakinya telah sampai di hadapan Jinyoung. “Aku tidak bodoh, Jinyoung.”
Pria tersebut pun menghela napasnya. Satu tangan masih bersembunyi di belakang. “Aku tahu. Tidak ada penulis naskah yang bodoh.”
Mendengar pujian tidak langsung tersebut seketika membuat Mina bersemu. Kemudian ia berdeham, “Pak Kepala meminta kita untuk melaksanakan latihan perdana untuk pentas di balaikota Benteng Tengah. Naskahnya sudah jadi dan Hani sudah bisa tampil menjadi tokoh utama,” paparnya.
“Oh, Hani sudah sembuh?” Jinyoung bertanya, tetapi pandangannya tidak pada Mina. Ia berjalan menuju lemari perlengkapannya, berusaha agar Mina tidak menyadari keberadaan sebuah kertas di tangannya.
“Sudah, dan seperti biasa kau menjadi tokoh utama pria.” Mina melipat kedua tangan kala melihat Jinyoung mengemas barang-barangnya ke dalam sebuah kantung kulit. Namun, ia tak memerhatikan ketika Jinyoung menjejalkan sebuah kertas putih dengan terburu-buru.
“Salah. Yang biasa menjadi tokoh utama pria adalah Jiyeon, bukan aku.” Jinyoung terkekeh. Namun, Mina tahu bahwa tawanya terdengar pahit.
“Jinyoung, aku tidak bermaksud--”
“Aku tahu. Aku saja yang berlebihan dan terlalu sensitif soal ini. Maafkan aku,” sela Jinyoung cepat. Tas yang terbuat dari kulit binatang dan telah dipenuhi barang menggantung di bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[pjm] Servant of Evil ✔
Fanfic[TELAH TERBIT! TERSEDIA DI TOKO BUKU ONLINE] Jiyeon tidak pernah tahu bahwa lelaki nomor satu setelah raja adalah seorang bocah tidak tahu sopan santun dan kejam di balik senyum menawannya. Jiyeon akui dia tampan. Wajar, dia adalah seorang Pangeran...