Jimin menyesap teh ginsengnya. Di depan, Namjoon bersama seorang penjahit milik istana sedang berbincang mengenai pakaian yang akan Jimin kenakan malam ini.
Jimin tidak ingin repot-repot. Pesannya hanya satu: "Buatkan aku pakaian yang nyaman." Tidak begitu sulit, seharusnya.
"Namjoon!" panggil Jimin ketika maniknya menangkap butler-nya banyak mengomentari baju baru Jimin yang dipasang di sebuah manekin.
"Ya, Yang Mulia?" Namjoon tampak terkejut. Omelannya pada penjahit di sampingnya pun terhenti. Penjahit tersebut segera menunduk dalam-dalam.
"Aku menyukai baju itu," putus Jimin cepat. Matanya terbuka lebar, memberi penegasan. "Sekarang hentikan rengekanmu dan biarkan dia pergi. Kepalaku pusing mendengar teriakanmu terus."
Namjoon menghembuskan napas lewat hidung. Mulutnya menggumamkan, "Baik, Yang Mulia," dengan sangat pelan. Kemudian, ia mengirim penjahit tersebut pergi.
Jimin kembali mengangkat cangkir dan menyeruput isinya. "Kasihan dia. Dia sudah banyak mendengar omelanmu bahkan sebelum pakaiannya jadi. Bagaimana bisa sekarang kau memarahinya lagi?"
Namjoon berjalan ke arah Jimin dengan kedua tangan menyilang di depan dada. "Oh, lihat itu. Aku dilarang marah-marah oleh orang yang setiap hari marah-marah. Aku sama sekali tidak terkejut."
Jimin mengangkat bahu, tidak peduli atas sarkasme yang Namjoon berikan. Cangkirnya diturunkan. Ia berdeham setelah mendengar bokong cangkirnya bertubrukan dengan cawan di meja.
"Jelaskan saja padaku jadwal hari ini." Jimin mengalihkan pembicaraan.
Namjoon menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan Jimin yang selalu bertindak sesukanya. Ia pun mengeluarkan satu buku kecil dari saku.
"Setelah fitting baju, kau ada jadwal makan siang dengan Nona Holly. Kalian akan--"
"Namjoon!" Jimin memotong. Namjoon segera menutup mulut.
Telunjuk kecil Jimin berayun-ayun mengarah pada buku yang Namjoon pegang. Matanya terbuka lebar. "Batalkan."
Namjoon segera melempar tatapan protes. "Ta-tapi--!"
"Tidak ada 'tapi'. Batalkan."
Decakan halus keluar dari mulut Namjoon. Gerutuan kecil menyusul setelahnya, berisi tentang bagaimana Yang Mulia Raja akan melemparinya dengan ribuan pertanyaan jika Jimin tidak mengikuti jadwal hariannya dengan baik.
Mau tidak mau, Namjoon mengeluarkan pena untuk mencoret daftar pertama. Ia takut pada Raja, tentu. Tapi ia lebih takut dan lebih setia pada Jimin. Secara teknis, majikannya adalah Jimin, bukan Raja.
"Lanjutkan," tuntut Jimin kemudian. Pangeran tersebut telah menyilangkan kaki.
"Um," Namjoon dengan hati-hati membaca. "Kelas berdansa bersama Tuan Hoseok. Ini adalah untuk--"
"Siapa sebenarnya yang membuat jadwal ini?!" Jimin memukul meja di samping dengan marah. Cangkir tehnya terguling dan menumpahkan isinya.
Namjoon terperanjat. "R-Raja.." cicitnya pelan.
Jimin menghembuskan napas kasar. "Kau seharusnya tahu aku tidak pernah mau menuruti kemauannya! Dia selalu saja memperlakukanku seperti anak kecil!"
"Tapi, Yang Mulia--"
"Aku bisa berdansa! Aku selalu belajar dan aku sudah menguasainya! Jangan mengatur soal bakatku!"
Namjoon memejamkan matanya sesaat. Ia coba supaya dirinya tidak meledak juga. Setelah dua kali menarik napas pelan-pelan, Namjoon kembali memasang wajah terbaiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[pjm] Servant of Evil ✔
Fanfiction[TELAH TERBIT! TERSEDIA DI TOKO BUKU ONLINE] Jiyeon tidak pernah tahu bahwa lelaki nomor satu setelah raja adalah seorang bocah tidak tahu sopan santun dan kejam di balik senyum menawannya. Jiyeon akui dia tampan. Wajar, dia adalah seorang Pangeran...