“Aw.”
Jiyeon mengaduh. Kepalanya terasa sangat sakit sampai-sampai ia mengerang dalam tidurnya.
Ia tunggu hingga sakitnya mereda. Kemudian, Jiyeon membuka mata.
Plafon kayu, sprei selembut sutra, selimut hangat menutupi setengah tubuhnya.
Tunggu. Jiyeon ada di mana?
Ia menarik punggungnya dengan buru-buru. Sakit kepalanya hilang dan yang ada di kepalanya tersisa kebingungan.
Ini bukan markas teater. Ini juga bukan istana kerajaan Park.
Ini.. dimana?
Ketika Jiyeon menyibakkan selimutnya, ia mengetahui bahwa pakaiannya sudah berganti. Jiyeon ingat sekali, pagi ini ia memakai gaun warna maroon kesukaan Pangeran. Namun, kali ini pakaiannya jauh lebih oriental.
Blus berwarna putih yang diikat dengan pita sampai di bawah dadanya dan diteruskan oleh rok berwarna krem yang lebar hingga mata kaki.
“Hah?” Jiyeon bergumam atas kebingungannya.
Semuanya tampak tidak masuk akal. Ia ingat sekali ia sedang dalam perjalanan pulang bersama dua orang pengawal istana menuju markas teater di perbatasan. Ia ingat melewati pasar-pasar yang ramai dan melintasi lapisan-lapisan benteng. Namun, ketika ingatannya sampai di jalan setapak di hutan, beberapa kilometer menuju markas, semua buram.
Lagi-lagi Jiyeon mengerang. Sakit kepalanya kembali. Ia tidak ingat apa yang terjadi di hutan itu. Ia pun tidak tahu di mana kedua pengawal yang bertugas mengantarnya.
Apakah ia diserang? Diculik?
Jiyeon bergidik membayangkannya. Namun, kondisi berkata fakta. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di kamar bernuansa kayu tersebut. Ia pun tidak ingat siapa yang mengganti bajunya.
Apakah… ini mimpi?
PLAK!
“Aw,” ringisnya. Telapak tangan mengusap pipi yang barusan ia pukul.
Rasanya sakit. Ini bukan mimpi.
Jiyeon memberanikan diri untuk turun dari ranjang. Suara kayu berderit membuat Jiyeon sedikit panik. Ia tidak boleh membuat banyak suara di sana. Mungkin saja ini semua adalah jebakan penculiknya.
Namun, Jiyeon tetap berdiri, menegakkan tubuhnya. Jika boleh bicara jujur, kamar yang ia tempati bukanlah tempat yang buruk atau menyeramkan. Atap, dinding, hingga lantai, semua terbuat dari kayu. Bermacam lukisan dipasang di setiap sisi. Jiyeon bisa melihat lukisan seperti bangau, harimau, rubah, dan binatang lainnya. Kemudian, di sana dipasang juga barang-barang antik seperti guci dan vas bunga yang dilukis dengan indah.
Melihat dua jendela yang menghadap ranjang ditutup oleh kain bambu, Jiyeon melangkah ke arahnya. Ia tidak mengambil resiko untuk membuka tirai tersebut. Ia hanya membuka salah satu celah agar ia sanggup melihat apa yang ada di luar.
Jiyeon bergumam sebagai respon. Matanya melihat ke kanan dan ke kiri. Tempat itu ramai, ternyata.
Anak-anak berlarian di sebuah padang rumput yang terbentang di depan ruangan tempat ia berpijak. Ada sungai jernih yang mengalir di tengah, teratai bertebaran di permukaan. Bunga-bunga bermekaran, hampir di setiap tempat. Rumah-rumah berdiri kokoh di sekelilingnya, berbentuk rumah panggung dengan kayu sebagai bahan dasar. Setiap rumah seperti saling menyambung dengan lorong-lorong panjang, seolah seluruh tempat ini merupakan satu kesatuan.
Selain anak-anak, banyak pula orang dewasa berlalu lalang. Ada yang ikut bermain, ada pula yang hanya sekadar melintas, baik dengan tangan kosong, membawa barang, atau berbincang-bincang dengan kawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[pjm] Servant of Evil ✔
Fanfiction[TELAH TERBIT! TERSEDIA DI TOKO BUKU ONLINE] Jiyeon tidak pernah tahu bahwa lelaki nomor satu setelah raja adalah seorang bocah tidak tahu sopan santun dan kejam di balik senyum menawannya. Jiyeon akui dia tampan. Wajar, dia adalah seorang Pangeran...