Santai saja, kita hanya sedang dalam kompetisi
"Tim kami berhasil mendapatkan suplier bahan kimia baru dari daerah India," Suara rendah itu terdengar berwibawa, terpelajar, lagi percaya diri, bisa dibayangkan bagaimana paras pemiliknya, "selain harganya lebih murah, jumlahnya juga melimpah, kekurangannya hanya pada proses pengolahannya, kita menggunakan sistem dua kali kerja, tapi tidak masalah karena akan kita gunakan dalam jangka panjang dan kita tidak akan kekurangan." Pria dengan setelan jas hitam itu layaknya malaikat di ruang rapat-wajahnya, bukan wataknya-ia mengumumkan presentasinya dengan penuh percaya diri. Rambut hitamnya dipotong rapi menegaskan bentuk wajahnya yang maskulin. Matanya yang kehitaman bersinar puas. Royce Peterson akan mencetak poin.
Beberapa kepala divisi mengangguk setuju. Perjuangan Royce pergi ke India selama tiga minggu untuk bernegosiasi dengan suplier di sana tidak sia-sia. Akhirnya mereka dapat meningkatkan keuntungan dengan menekan biaya produksi. Sebenarnya perjalanan ke India tidak buruk, disana ia ditemani model cantik berperut rata sehingga tidak pernah merasa kesepian. Royce tidak pernah hidup jauh dari wanita, dimana pun ia berada harus ada wanita yang mendampinginya dan beruntung karena parasnya setampan model Armany sehingga ia tidak kesulitan mendapatkan wanita.
Ayahnya, Andrea mengangguk puas melihat hasil kerja putra tunggalnya. Kedua pria itu hidup bersama bertahun-tahun tanpa sosok wanita. Ibunya pergi meninggalkan mereka kala Royce berusia delapan tahun. Wajar saja jika di masa dewasanya ia mencari cinta semu dari wanita-wanita yang berbeda.
Di ujung lain meja rapat, seorang pria duduk bersandar pada kursinya dengan santai bahkan terkesan meremehkan presentasi Royce. Ia bermain dengan ponselnya hingga seluruh peserta rapat menoleh padanya. Walau demikian pria berambut coklat itu masih tidak menyadarinya, ia masih asyik mengetikan sesuatu dengan seringai tolol terpampang di wajahnya.
Royce kehilangan senyum puasnya karena ulah pria itu. Wajahnya datar tapi sorot matanya tajam lurus ke depan ke arahnya. Yang dimaksud akhirnya sadar ketika Andrea berdeham nyaring. Dua kali.
"Giliranku?" tanya Henry dengan hati-hati pula tapi ekor matanya masih sempat melirik layar ponsel.
Andrea memandang remeh pria dengan pembawaan santai itu, "Ya, kami sudah menunggu sejak-" ia melirik arlojinya, "empat menit yang lalu."
Senyum sinis Henry berikan pada pria tua itu, mereka memang tidak pernah akur. Ia berdiri sembari mengancingkan jas abu-abunya. Berbeda dengan Royce yang kaku, Henry adalah pria santai dengan gurat humor di setiap kerlingan matanya.
"Aku tidak akan bicara banyak dalam forum kali ini karena Royce sudah mengambil seluruh jatah waktunya." Henry mungkin adalah satu-satunya pria yang bisa menyaingi mulut wanita. Setiap kalimat yang meluncur dari bibir tipisnya selalu sinis dan ironi, entah sengaja atau tidak.
"Timku berhasil bernegosiasi dengan produsen pupuk dari Thailand, mereka bersedia menjual salah satu unsur bahan baku kimia siap pakai tanpa pengolahan sehingga kita hanya butuh satu kali proses. Kekurangannya adalah mereka hanya mampu memenuhi estimasi produksi sepanjang tahun ini, tapi tidak masalah, untuk tahun depan sudah seharusnya kita mencari rekanan lagi. Asalkan target tahun ini tercapai dan kita bisa berlibur tanpa harus dibebani pekerjaan."
"Kau tidak berpikir untuk jangka panjang, Nak." Andrea mengucapkan kata 'Nak' sebagai bentuk merendahkan kinerja pria itu.
Terbiasa dengan ungkapan sinis orang lain membuat Henry menganggap itu sebagai bentuk kasih sayang yang agak berbeda. "Oh, ayolah paman, itulah alasannya kita membayar orang-orang cerdas. Kita tidak perlu turun tangan sendiri."
Jika tadi divisi lain mengangguk kagum pada kinerja Royce, kali ini mereka tersenyum bahagia akan pencapaian Henry.
"Jenius sekali-" celetuk salah seorang di antara mereka.
"Saya tidak yakin kita mendapatkan harga sepadan, jangan karena persaingan internal lantas biaya produksi kita membengkak." Royce mulai mengemukakan pendapat sensitifnya.
Merasa tersinggung dengan sikap skeptis Royce, akhirnya Henry menggunakan layar presentasi untuk menampilkan perbandingan rincian pembelanjaan Royce dan miliknya sendiri.
Wajah tampan Royce menegang ketika melihat slide yang ditampilkan Henry, darimana pria itu mendapatkan rincian biaya yang begitu ia rahasiakan sebelum dipresentasikan dalam rapat ini. Itu artinya salah satu anak buah dalam timnya berkhianat.
Pantas saja selama ini Henry selalu bisa selangkah lebih maju, rupanya ia telah bermain tidak sehat dalam persaingan ini.
Henry baru saja berdiri di depan layar untuk mulai penjelasan, saat itu pula Royce berdiri dan keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun. Seluruh peserta rapat dibuat tercengang karena sikap Royce yang terlalu berani.
"Jadi bagaimana?" Henry menginterupsi suasana hening yang sedang berlangsung, ia mengabaikan sikap Royce yang baru saja merendahkannya. Seluruh kepala kembali berputar pada pria itu dengan sorot mata tergugu.
"Kami setuju dengan pencapaian Anda, tidak dibutuhkan perbandingan rincian keuangan lagi." Ujar salah seorang dari mereka mewakili suara hati seluruh yang hadir di sana kecuali Andrea. "Selamat Mr. Peterson." Lanjut yang lainnya.
Henry mengurungkan seringai puasnya karena tidak ada Royce yang bisa diperolok. Ia hanya membalas lirikan jijik Andrea hingga pria itu jengah dan memilih berlalu dari ruang rapat.
Seluruh staf dari setiap divisi yang hadir memberinya selamat namun seorang Henry Peterson tidak cukup puas sampai disitu saja. Sekarang ia harus memastikan si pengkhianat tutup mulut untuk selamanya.
"Aku akan melakukan apa saja demi mencapai tujuan itu." Ia menenggak habis isi gelasnya, "jika Henry bisa bertindak curang, lihat apa yang sanggup aku lakukan."
"Memang sudah seharusnya kursi kepemimpinan menjadi hakmu. Si anak haram itu hanya akan mempermalukan keluarga Peterson." Andrea bersemangat membangkitkan emosi Royce.
Sayangnya Royce bukan orang yang mudah tersulut emosinya, ia menghela napas dan mengendalikan emosinya, "Aku mengakui kemampuan Henry, dia memang cerdas dan cekatan. Aku hanya tidak setuju ia menggunakan cara kotor untuk mencapai tujuannya."
"Dia memang selalu melakukannya, karena dia anak haram yang berusaha diakui." Semakin lama emosi Andrea tersulut kata-katanya sendiri.
"Dad-" kata Royce lelah, telinganya mulai panas mendengar provokasi dari ayahnya, "Henry tidak bisa memilih terlahir sebagai anak haram atau tidak. Ia-" kalimatnya disela oleh dering ponsel. Nomor tidak terdaftar memanggil.
"Ya." Ia menjawab, "Bertemu dalam lima belas menit, kirimkan alamatnya padaku!" Ia menutup teleponnya kemudian berdiri dari kursinya dan berpegangan pada tepi meja sesaat. Menggeleng untuk mengenyahkan rasa pusing yang menyerang kepalanya akibat terlalu banyak minum. Namun Royce akan berhenti sebelum ia benar-benar ambruk, ia selalu menghargai batasan-batasan yang ada.
"Aku akan menyingkirkan duri dalam daging sebelum meneruskan langkah selanjutnya."
Pria itu pergi meninggalkan Andrea dengan wajah bertanya-tanya. Memangnya apa yang akan dia lakukan? Siapa pula yang akan ia singkirkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Roses I Found Driving Me Crazy (#1 White Rose Series)
RomanceAmbisi Royce untuk mewujudkan impian sang ayah membuatnya gelap mata hingga tega menuduh Sara, gadis pejalan kaki acak sebagai mata-mata dari rivalnya, Henry. Berniat untuk menculik gadis itu, memuaskan rasa penasarannya sekaligus menjegal langkah H...