LIMA BELAS

11.8K 924 12
                                    

Henry, malaikat pencabut...kebahagiaan

Beragam jenis baju berserakan di atas ranjang. Mulai dari bikini hingga gaun makan malam. Pakaian dalam dan piyama, krim ini dan itu, dan masih banyak lagi. Sudut mata Sara bergerak ke sisi lain ranjang, tumpukan pakaian dalam pria membuat wajahnya memerah. Beruntung baginya karena Royce masih di kantor atau pria itu akan menggodanya lagi.

Sara tidak pernah merasa sebingung ini hanya karena berkemas untuk bepergian. Yah, maklum saja, ia selalu berlibur ala ransel jadi tidak pernah membayangkan harus membawa gaun mewah ini—itu juga karena tujuan Sara bukan resto yang menyediakan makan malam romantis. Sara juga belum pernah berkemas keperluan pria. Royce berkeras ingin membawa satu koper saja untuk perjalanan ini jadi mau tidak mau keduanya harus berbagi tempat.

Sara membaui parfum Royce yang wanginya sudah akrab sejak pria itu memergokinya di toilet bioskop. Wangi itu awalnya menjadi trauma bagi Sara, seperti bau kematian. Tapi sekarang...menjadi sesuatu yang ia rindukan setiap saat—wangi harapan kosong.

Sara sedang berguling di atas lautan pakaian mahal sambil mengendus kemeja pria itu ketika mendengar seruan Retta dari ambang pintu.

"Eh...Mm- Miss..." Retta berdiri di ambang pintu, ia tidak bisa menyembunyikan kecemasan di wajahnya.

"Oh, ada apa, Retta?" tanya Sara sambil meletakan kemeja itu sembarangan.

"Ada-"

"Ada aku." Suara ringan itu mendahului pemiliknya, dengan pundaknya yang tinggi ia menggeser tubuh Retta hingga gadis itu terhuyung ke samping. "Seharusnya kau tidak menghalangi jalanku." Gerutu Henry pada Retta. Kemudian ia melambaikan tangannya mengusir gadis itu pergi, "kembali ke dapur dan lakukan apa saja asal jangan di sini. Hush!"

Sara segera berdiri dengan waspada, ia menjaga jarak yang membentang di antara mereka selebar king bed milik Royce. Matanya tidak meninggalkan pria itu sekedipan pun.

"Hai, Sara." Intonasinya sangat riang seperti tidak ada beban. Oh, dia benar-benar sakit jiwa.

"Henry," ia membalas sapaannya, "Ah, Royce belum pulang, kau tidak akan menemukannya di sini."

"Hm." Henry menanggapinya sambil lalu, ia terpana ke arah gadis itu, menatapnya dari kepala sampai kaki. Kebetulan Sara sedang mengenakan celana pendek ketat dan atasan kemeja longgar, rambutnya yang disanggul asal-asalan pun mulai longgar.

Matilah aku, "Kita bisa bicara di luar saja." Sara ingin berjalan ke arah pintu tapi Henry menendang pintu itu dengan tumitnya hingga tertutup. Ia tak ubahnya rusa yang tertangkap basah, bergeming di tempatnya bahkan berkedip saja tidak mampu.

Henry berjalan mengitari tubuh kakunya membawa kengerian bagi Sara, "Aku tidak berniat menemui Royce, Manis." Katanya, ia berdiri di hadapan gadis itu, satu jarinya menyingkirkan helaian rambut yang menjuntai ke depan wajahnya, bersamaan dengan itu Sara terpejam dan air mata menuruni pipinya.

"Oh-" Henry menangkup wajahnya dengan cemas sekaligus bingung, kenapa dia menangis? Ia menyeka pipi halus Sara asal-asalan—tidak ada pria selembut Royce bagi Sara—lalu berbisik di wajahnya, "Jangan menangis, Sayang. Aku belum melakukan apapun kepadamu." Tuhan, psikopat ini mau melakukan apa memangnya?

"Kau-" suaranya serak, "kau mau melakukan apa padaku?" ia memejamkan matanya, dan air matanya seperti tandon air bocor.

"Lihat aku, Sara." Katanya, "apakah aku menakutkan bagimu?"

Sara masih tidak mau melihatnya, seperti ini saja Henry bagaikan tokoh psikopat dalam film thriller. Baik, ramah, ceria, namun sekaligus mematikan.

"Baiklah," ia menghela napasnya tidak sabar dan menjauhi gadis itu, "aku ingin bicara tapi kau harus tenang. Simak ceritaku karena aku tidak akan mengulanginya lagi walau aku gemar bercerita."

Roses I Found Driving Me Crazy (#1 White Rose Series) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang