3

82.1K 6.1K 566
                                    

Sejak kejadian di mana mama-nya menjebak dirinya dengan permainan kata-kata sehingga Thalia dengan bodohnya jujur mengenai perasaannya, Thalia sungguh berharap mama-nya akan lupa. Dan Thalia mengharapkan kakaknya tidak akan pernah mengetahui hal ini. Warren akan mengejeknya lalu menceramahinya karena menyukai pria yang lebih buruk daripada Hugh Thompson.

Di ruangannya, Thalia berkutat dengan beberapa dokumen pasien yang di tanganinya. Saat ini ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi, pikirannya penuh dengan teka teki mengenai apa yang akan di lakukan oleh mama-nya. Thalia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela nafas panjang. Lalu ia mendengar ponselnya berbunyi.

Sebelum ia sempat mengatakan apapun, Thalia mendengar seseorang di seberang telepon berkata, "Kau mengatakannya kepada mama mengenai kejadian itu?"

"Aku belum makan siang dan iya, aku baik-baik saja kakak-ku sayang." Thalia sengaja mengucapkan kalimat itu dengan nada sarkastik. Ia menghela nafas lelah ketika melanjutkan ucapannya, "Seharusnya kau menanyakan hal itu terlebih dahulu sebelum mencecarku dengan pertanyaan yang tidak kumengerti, Warren."

Dari seberang telepon, Thalia bisa mendengar gemuruh tawa Warren.

"Maafkan aku, Li. Seperti biasanya, aku sangat sulit untuk berbasa basi," ucap Warren bercanda. Ia bedehem pelan. "Baiklah, Apa yang mau kau makan siang ini? Sandwich? Benedict Egg? Atau Pasta?"

"Secangkir kopi," jawab Thalia dengan senyum kecil.

"Seriously, adik kecil? Kau tadi mengatakan belum makan siang dan kau memilih kopi?"

Thalia tersenyum lebar. "Aku masih harus melakukan operasi besar nanti sore, Warren. Yang aku butuhkan hanyalah secangkir kopi." Ia menghentikan ucapannya dan menyadari bahwa senyumannya seolah menggantung di udara. Thalia sadar, bukan secangkir kopi yang dibutuhkannya.

Namun Thalia tidak akan pernah mengatakannya walaupun hari ini merupakan hari terakhir ia hidup. Thalia tertawa lagi untuk menutupi rasa sedihnya, ia lalu berkata kepada Warren, "Kau cukup mengantarkan secangkir kopi ke ruanganku, Warren."

"Aku akan membawakanmu pasta. Kau harus makan, kalau kau tidak membutuhkannya, anggap saja perutmu yang membutuhkannya."

Ketukan pintu membuat Thalia menyudahi pembicaraannya dengan Warren. Ketika pintu terbuka, seorang suster berpakaian seragam putih tersenyum kepadanya dan berkata, "Dr. Tjandrawinata, pasien dari ruang 464 sudah siap melakukan operasi."

Memang hanya ada dua hal yang bisa membuat Thalia mengalihkan pikirannya. Pertama adalah pria itu, selalu tentang pria itu. Dan yang kedua adalah pasiennya. Thalia berdiri, mengibaskan jas putihnya sebelum mengenakannya kemudian menjawab, "Kita ke ruang operasi sekarang."

Acara sosialita yang biasa di adakan seminggu sekali membuat Thalia merasa tidak nyaman, tapi dibandingkan acara sebelumnya, acara hari ini membuatnya lebih tidak nyaman di bandingkan acara yang biasa di adakan oleh keluarganya. Ia tidak suka dengan segala kemewahan yang ada di sekelilingnya, terlebih lagi hari ini. Kalau biasanya ia bisa menerima segalanya dengan senyum dan menekan seluruh rasa sesak di balik pintu apartemennya, hari ini ia tidak bisa melakukannya. Tidak setelah kegagalan operasi yang dilakukannya siang ini yang membuat seorang ibu setengah baya hampir saja kehilangan nyawanya karena ketidak mampuannya mendeteksi penyakit yang diderita wanita itu.

Delapan jam di ruang operasi tidak membuat Thalia sempat untuk mencicipi makanan apapun, ia bahkan tidak bisa menyentuh segelas kopi yang di berikan oleh Warren. Seusai melakukan operasi yang gagal, Thalia memiliki jadwal yang di selipkan oleh professor Gilbert yang menjadi penanggung jawabnya sejak dua tahun yang lalu.

The Man Who Can't Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang