"Anda seharusnya tidak melakukan hal itu," ucap Garry sambil mendorong kursi roda Karesh ke dalam ruangannya. "Anda telah mengucapkan hal yang jelas-jelas akan anda sesali nanti, Sir."
"Hanya kau yang mampu mengatakan hal itu, Garry," jawab Karesh menghela nafas lelah. "Seseorang harus mengatakannya, seseorang harus bersikap menjadi antagonis, Garry."
"Anda bisa mengatakan hal yang sebenarnya."
Karesh menggeleng. "Kau pikir dengan mengatakan hal yang sebenarnya, dia bisa menjadi kuat dan melindungi wanita itu?"
Baik Karesh maupun Garry, sama-sama mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Karena itulah Garry tidak menjawab apapun ketika membantu Karesh kembali duduk di tempat tidur, dan mengetahui Garry tidak lagi mengeluarkan suara, Karesh melanjutkan ucapannya, "Pria yang kuat adalah pria yang telah di tempa oleh kehidupan yang keras, Garry. Dengan menjadi antagonis, anak bodoh itu akan berubah menjadi lebih kuat untuk mengalahkan si antagonis."
Lalu Karesh menoleh kearah Garry dengan wajah datar.
"Apa menurutmu ada yang lebih baik selain menjadi peran antagonis?"
"Tidak Sir."
°
Lima belas menit setelah kepergian ayahnya, Bryan duduk di samping Thalia dengan memegang helaian rambut pirang wanita itu. Nafasnya tersentak-sentak ketika ia melihat Thalia mengernyitkan alisnya beberapa kali seolah kesulitan bernafas. "Kau bukan Pauline, karena bagiku Pauline sudah meninggal."
"Dan aku tidak membutuhkanmu berada di sisiku, Sugar..." bisik Bryan pelan. Ia mengucapkan hal itu untuk mendorong dirinya sendiri agar pergi dari tempat itu. "Aku tidak butuh menjadi lemah dan aku tidak membutuhkanmu."
Bryan menutup matanya, menelan saliva-nya dan kembali berkata kepada dirinya sendiri. "Adrian lebih baik dan dia adalah satu-satunya orang yang boleh berada di sisiku. So—"
Dan Bryan tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi. Ia tidak sanggup mengucapkan kebohongan semenyakitkan itu kepada dirinya sendiri dan di depan Thalia, walaupun benak pintarnya mengatakan bahwa ia memang harus melakukannya. Bryan harus kerap mengatakan hal itu agar ia tidak melewati batas, agar ia selalu ingat kalau mendekati Thalia atau berusaha selangkah lebih dekat dengan wanita itu adalah kehilangan.
Tidak boleh ada satu senti lebih dekat.
Tidak boleh ada Thalia dalam rencana kehidupannya.
Itulah yang telah di putuskan oleh Bryan sejak kehilangan Pauline dulu. Karena kehilangan Thalia akan menjadi satu-satunya alasan baginya untuk menjadi tegar. Dengan pemikiran seperti itu, Bryan mengepalkan tangannya dan berkata tegas, "Menjauhlah."
"Kalau begitu jangan khawatirkan aku."
Ucapan itu membuat Bryan membuka matanya kembali dan melihat Thalia tengah menatapnya dengan wajah sendu. Tanpa di ketahui wanita itu, Bryan sangat membenci saat Thalia memperlihatkan wajah itu kepadanya karena Bryan akan menghabiskan malam dengan mengutuk dirinya sendiri. Bryan akan menyalahkan dirinya sendiri sepanjang malam.
"Kalau kau menginginkanku untuk menjauh, maka menjauhlah dan jangan mendekat." Setetes air mata mengalir dari pelupuk Thalia. "Jangan biarkan aku mendekat. Jangan biarkan aku mengambil langkah satu senti kearahmu. Jika aku melakukannya, maka kau harus menjauh."
"Jangan lakukan itu, Thalia..." bisik Bryan pelan.
"Kau menginginkan aku menjauh dan aku mengijinkanmu untuk menjauhimu. Tapi Bry, jangan pernah memintaku untuk menjauh. Kau tahu kenapa?"
Bryan menggeleng, berusaha mengatakan bahwa ia tidak ingin mengetahui apapun karena semakin Thalia memperlihatkan air matanya, Bryan akan mati. Bryan akan kehilangan kewarasan dan ketegarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Man Who Can't Fall In Love
Romantizm[Dalam proses penerbitan] Highest rank #10 romance Highest rank #9 romance 210717 About Thalia Tjandrawinata & Bryan Crawford Part 1-10 = Public Part 11 - end = Private Andai...