22

18.3K 1.7K 133
                                    

Keputusannya adalah benar.

Selama berhari-hari Bryan mengatakan hal itu kepada dirinya sendiri. Berulang kali selama beratus kali. Namun walaupun otaknya berpikir seperti itu, hatinya tidak bisa. Bryan terus memutar ucapan Thalia padanya, "Aku mencintaimu Bryan. Apakah hal itu tidak berarti bagimu?"

Tentu saja berarti. Bagaikan udara, ucapan wanita itu seolah menjadi pemasok udara terbesar baginya. Bryan mengacak-acak rambutnya dan mengerang frustrasi.

Bryan ingin menghilangkan Thalia dari benaknya semudah ia jatuh cinta kepada wanita itu. Tapi Bryan sama sekali tidak bisa melakukannya, seolah-olah wanita itu telah mengukir namanya di seluruh jiwa Bryan dan tidak ada satupun hal di dunia ini yang mampu membuat Bryan menghilangkan nama Thalia dari benaknya.

Dengan kasar Bryan meneguk minuman di gelas dan melemparnya begitu saja. "Sialan. Sialan sialan!" ucapnya berulang kali.

Tidak lama Bryan menghempaskan bokongnya pada kursi di balik meja dan menyadari bahwa Avelyn memberikan satu pesan berupa video di emailnya. Bryan membuka dan melihat Thalia berjalan masuk ke dalam restoran yang ada di downtown bersama dengan seorang pria.

Adenna Hawkes.

Tanpa sadar jemarinya terkepal dan ia memukul meja kerjanya dengan amarah yang bertubi-tubi. Jantungnya seolah berubah menjadi drum yang memukul-mukul hingga dadanya menjadi sakit. Bryan tahu bahwa ia tidak boleh cemburu, bahwa sebenarnya ia adalah satu-satunya orang yang telah mendorong wanita itu menjauh darinya.

Lalu Avelyn menghubunginya, dengan cepat Bryan mengangkat dan berkata, "Kau tidak perlu mengirim video itu kepadaku, Lyn. Karena aku–"

"Tidak terpengaruh? Iya, kau bisa terus berkata seperti itu Bry, tapi aku tahu kau tidak bisa mengacuhkan video itu. Iya kan?" Bryan bisa mendengar tawa Avelyn dan kemudian wanita itu berkata, "Bagaimana rasanya melihat Thalia berjalan bergandengan tangan bersama dengan pria yang tadinya tidak kau anggap sebagai saingan, Bry?"

Bryan tidak menjawab melainkan hanya mengepalkan tangannya.

"Sakit? Pedih? Terluka?"

Bryan masih tidak menjawabnya. Dan setelah jeda agak lama, akhirnya Avelyn berkata dengan suara sarkastik, "Itulah yang selama ini di rasakan oleh Thalia saat kau menggandeng tangan Adrian dengan tak acuh. Inilah yang selama ini di rasakan oleh Thalia ketika kau bermesraan dengan wanita lain sementara ia menunggu di belakangmu. Ini hanya sedikit dari sekian perasaannya, Bry."

"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Lyn?" tanya Bryan berbisik.

"Menyadarkanmu bahwa Thalia bisa saja tidak mengharapkanmu kembali. Sementara kau sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Adrian, sibuk menjauhkan diri dari Thalia. Dia dengan mudahnya mengenyahkanmu dari pikirannya, Bry. Itu kah yang kau inginkan?"

Itukah yang kau inginkan? Tidak. Bryan tidak pernah menginginkan hal ini tapi apapun yang diinginkan Bryan sama sekali tidak berarti karena dia tidak boleh membiarkan keinginannya mengambil alih kewarasannya. "Kau tidak tahu apa yang kuinginkan, Lyn. Tidak ada satupun yang mengetahuinya..."

"Itu karena kau membiarkan harga diri serta akal sehatmu mengambil alih hidupmu, Bry." Avelyn menghela nafas dan berkata, "Karena aku masih berbaik hati kepadamu, lebih baik kau pikirkan lagi mengapa selama ini kau selalu diam-diam melihatnya. Kenapa kau memutuskan untuk berhubungan denganku padahal kau tahu dengan jelas kalau hanya Thalia yang ada di benakmu selama ini."

"Aku tidak pernah–"

"Ucapkan itu sekali lagi kepadaku kalau kau bisa menjelaskan kenapa saat mabuk kau memelukku dengan memanggilku sebagai Thalia? Ucapkan sekali lagi kepadaku kalau bisa menjelaskan kenapa kau begitu marah ketika Thalia mencium Hugh di belakang Universitas."

The Man Who Can't Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang