Chapter 3 : Sisi Lain

57.9K 3.7K 65
                                    


Leo membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi rumahnya. Dia pulang beberapa saat lalu untuk berkemas dan menyelesaikan beberapa hal penting agar dia bisa pergi dengan tenang tanpa gangguan.

Sudah berlalu 2 jam sejak tangan kanannya itu memberitahukan bahwa gadisnya pergi ke Bali, dan sekarang dia merasa agak kacau.

Dia khawatir. Meskipun begitu,  dia sudah menyuruh seseorang untuk menjaga keselamatan gadisnya dan melaporkan segala tindakan gadis itu.

tapi, saat sadar betapa jauhnya jarak mereka, Leo sungguh merasa frustasi. Dia seperti orang tolol yang terlalu terobsesi akan sesuatu. Tapi jujur, dia menyukai ini. Dimana dia bisa mencintai seseorang secara penuh, memberi perhatian, dan segalanya sepenuhnya kepada seseorang yang memiliki hatinya itu. Karena dengan begitu, hidupnya terasa lebih berarti. Meskipun gadis itu tak pernah menyadari dirinya. Bahkan setelah 8 tahun berlalu dengan dirinya yang selalu mengamati gadis itu.

Emma...  Yah gadis mungil itu. Gadisnya yang masih saja labil.

Drtttttt......  Drrrtttt.....

Leo merogoh saku celana bahan hitamnya dan segera mengangkat saat melihat nama yang tertera.

"Bagaimana?" ucapnya dingin. Dia menggertak pada pilot pribadinya diseberang sana, tidak ingin sama sekali mendapatkan berita buruk sedikitpun.

"Segalanya sudah siap, sir. Ijin penerbangan sudah ditangan dan kita bisa berangkat sejam lagi."

Yah... Dia menggunakan pesawat pribadinya. Dan ijin penerbangan kadang membuat repot.

Leo menggeram tertahan. Sejam waktu yang cukup lama dan dia benci harus mengulur waktu selama itu. Tapi sebuah pemikiran terlintas diotaknya. Ahhh~ dia belum menyelesaikan satu masalah penting.

Mengambil koper kecilnya, Leo segera bergegas keluar rumah dan menaiki Audinya dengan kecepatan diatas rata-rata. Dia harus bergegas sebelum jam keberangkatannya tiba.

..
..
..

Kedua pasang mata itu hanya berani menunduk menatap lantai. Berdiri kaku dengan bulir keringat yang mengalir dari dahi menuju pipi, tidak berani sama sekali menggerakkan tangan hanya untuk sekedar mengusap keringat.

"Kenapa kalian tidak memberitahuku?" Tanya suara itu rendah, nyaris membekukan atmosfir ruangan yang hanya terdiri dari ketiga orang itu.

Satu-satunya wanita yang sudah menginjak pertengahan 40-an itu tak sanggup menahan dirinya, dibiarkannya Airmatanya mengalir perlahan menuruni pipi tirusnya. Kedua tangannya bergetar disisi tubuh. Ini semua salahnya. Kenyataannya, penyebab semua ini adalah dirinya. Seharusnya dia mati saja bukan?

Pria paruh baya disampingnya yang tak lain adalah suaminya menoleh sejenak pada sang istri yang sesunggukan. Lalu kembali menatap lantai sambil menelan air liurnya dengan susah payah.

"Kami kira anda sudah mendapatkan informasi dari anak buah anda." Jawab pria itu perlahan. Nyaris susah mengeluarkan kalimat sederhana tersebut.

"Lucu sekali. Kalian tidak memberitahuku dan anak buahku telat memberitahu. Ck, dan kalian tahu?! Dia pergi ke Bali tanpa sepengetahuanku." Pria itu menatap tajam sepasang suami istri dihadapannya. Dia menyandar pada sandaran sofa yang didudukinya. Kepalanya berdenyut karena emosi yang nyaris tak bisa dikontrolnya. "Perjanjiannya, kalian harus menjaga gadis itu bukan? Menjauhkannya dari segala bahaya apapun dan dari.... Pria lain." desisnya diakhir kalimat. Namun wajahnya bahkan tak menunjukkan ekspresi. Terasa sangat menakutkan.

"Nak Leo...." sesal pria paruh bayah itu.

"Kalian melanggarnya." putus pria itu.   "Membiarkannya keluar sendirian adalah kesalahan fatal kalian tahu. Gadis itu sangat rentan. Sudah kujelaskan kalian harus menjaganya bagai berlian tipis yang mudah pecah.  Sialan." kini nadanya benar-benar membekukan.

Leo mengusap wajahnya kasar. Dia harus menahan emosinya atau dirinya akan tidak terkontrol dan sisi dirinya yang lain dengan mudah dapat menguasai tubuhnya. Tidak. Tidak jika harus didepan kedua orangtua gadisnya. Sudah cukup dengan dirinya yang selalu mengancam kedua orang itu. Tidak dengan ketakutan mereka akan nasib putri semata wayangnya yang akan berada ditangan pria berkepribadian ganda. Meski dia tak sepeduli itu dengan apapun tanggapan mereka.

"Kumohon...." wanita paruh baya itu jatuh bersimpuh ditempatnya. "Kumohon... Kau bisa ambil semua uangnya dan batalkan saja donornya. Biarkan putriku bebas. Kumohon...." wanita itu akan melakukan apapun untuk putrinya, meski itu akan membuatnya meninggal sekalipun. Sudah cukup apa yang dilakukannya selama ini hingga menyebabkan putrinya sengsara. Tidak lagi dengan tindakan 'menjual' anaknya sendiri.  

Pria paruh bayah itu menoleh menatap istrinya. Dia bimbang. Jika ditanya, tentu dia tak ingin mendapatkan uang dengan tindakan membiarkan putrinya menikah dengan orang yang tak dikenalnya. Tapi disisi lain, pria ini menjanjikan uang yang tak terbatas serta donor untuk istrinya yang sakit sejak dulu dan kini, ginjalnya rusak kembali setelah dulu juga sempat dapat donor ginjal. Dan dia harus mengorbankan putrinya pada pria yang terlihat terobsesi pada putrinya itu. Hanya untuk mendapatkan donor ginjal kembali setelah bertahun-tahun sudah pernah melakukannya.

"Kau membuatku terlihat amat jahat Tuan dan Nyonya. Sadarkah kalian bahwa kalian yang membuatnya hidup terbatas. Bahwa kalian yang membuat dia hanya memiliki 1 ginjal? Kalian merampasnya! Merampas ginjal seorang anak kecil. Jadi salahkah aku menjaganya begitu ketat? Bahkan dari kalian sendiri, orang yang membuatnya menderita. Karena keegoisanmu nyonya yang ingin hidup lebih panjang, kau merampas ginjal anakmu sendiri." Nadanya meninggi karena emosi. "Sekarang dia miliku, dan jangan mengganggunya lagi. Donormu sudah siap dalam seminggu."

Leo dengan cepat berjalan keluar membiarkan kedua orang itu yang masih terpaku ditempat.

..
..
..

Kemarahan.

Kemarahan menggelegak dalam dirinya, mendidih dalam benaknya apalagi mengingat dia bukanlah orang yang sabar. Ditambah dengan kenangan-kenangan masa lalu dan kenyataan yang seakan diingatkan kembali dalam dirinya.

Dia ingat saat dimana pertama kali dia bertemu dengan gadisnya, Emma. Saat itu dia tak bisa memungkiri bahwa dirinya amat mengagumi gadis itu. Gadis itu yang masih berusia 10 tahun. Gadis yang setelah dia ketahui hidup dengan hanya 1 ginjal.

Leo bahkan ingat disaat-saat dia mulai mengagumi gadis itu, mulai menyukai gadis itu bak pedofil gila. Dan disaat-saat itulah hatinya dihantam dengan kenyataan bahkan gadis itu kehilangan ginjalnya, dirampas oleh orangtuanya sendiri. Tanpa sepemahaman gadis itu akan apa yang terjadi pada dirinya. Bahkan mungkin hingga kini.

Sialan.

"Kau terlalu lemah..."

Suara itu berbisik dalam kepalanya. Leo tahu dirinya akan kalah kini. Dia tak bisa mengontrol dirinya agar bisa tenang. Dirinya marah, dirinya khawatir, dirinya sedih, dan itu semua hanya karena satu gadis kecil itu.

Dia bahkan kini dapat merasakan sosok dalam dirinya menyeringai senang. Seringaian mengerikan yang Ditakutinya terjadi. Tapi kini dia membiarkannya. Kenyataan, dia tak bisa mengatasi dirinya sendiri kini.

Membiarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan.

Dan Membiarkan seringaian itu menjadi nyata terukir di bibirnya.

Kini.... Dirinya benar-benar tenggelam.

"Selamat tidur.... Leo. Tidurlah yang lama. Biarkan aku mencari gadisku sekarang."

"Sialan." Umpat Leo sebelum dirinya tenggelam dalam ketidaksadaran.

Dan kini dia hadir, menggantikan sosok Leo yang kini terlelap.

Ethan. 

Panggillah dia Ethan.

..
..
..

Vote yah...

Vote menambah semangat nulisku loh.... Mau dilanjutkan ceritanya?

Thank you.... :*

The Billionaire's Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang