Hari yang sama....Emma hanya duduk disana. Terpaku dan menunggu bersama sang ayah yang tampak terpukul dengan kesedihan nan pekat.
Ibunya sudah menginap di rumah sakit ini selama lebih dari 2 hari dan keadaannya semakin melemah dari hari-kehari. Dokter berada didalam, melakukan visit pagi yang selalu terjadwal pukul 10 pagi. Mengecek ibunya dan mereka berharap orang yang disayanginya itu memiliki perkembangan yang positif.
Emma menangis setiap malam saat ibunya terlelep, disaat dia sendirian, dan juga disaat ayahnya terlelap ataupun pergi untuk mencari kopi dikantin rumah sakit yang buka 24 jam. Dia takut kehilangan sang ibu. Dia bahkan tak peduli jika harus menyerahkan nyawanya sendiri untuk kesehatan sang ibu. Dia takut kehilangannya. Bahkan Emma memilih untuk tak bersekolah selama beberapa hari ini, berbeda dengan Nino yang tetap sekolah karena paksaan ayah mereka. Paksaan padanya tak akan mempan, karena bagaimanapun, dia anak yang keras kepala.
"Bapak Yudha, bisa ikut ke ruangan saya?"
Emma menegakkan kepalanya bersamaan suara itu yang tertangkap oleh telinganya.
Ayahnya berdiri, menepuk pundaknya lembut dan menyuruh Emma masuk menemani sang ibu. Emma hanya mengangguk pelan, padahal dia ingin sekali ikut ayahnya dan mendengarkan penjelasan dokter meski tahu dia juga tak akan paham oleh semua perkataan sang dokter. Dia masih 10 tahun! Apa yang diketahui anak 10 tahun memangnya? Tapi dia hanya ingin memastikan bahwa sang ibu baik-baik saja.
"Kau sudah makan, nak?"
Emma mengayunkan kaki kecilnya yang tak menapaki lantai. Dia duduk dikursi samping ranjang ibunya yang kini terbaring lemah. Mata kecil itu berkedip pelan, berusaha menghalau air matanya yang hendak keluar. Dia hanya diam, terlalu serius untuk berusaha menenangkan dirinya sendiri saat melihat kondisi ibunya.
"Emma sayang..."
Tangan yang terkulai itu terangkat berusaha meraih sang anak yang kini tampak sungguh menyedihkan dengan kesedihannya.
Emma mendongak saat tangan itu menyentuh jemari kecilnya. Matanya berkedip lagi, dan untungnya dia berhasil menghalau air mata jatuh dari matanya. Dan kini dirinya sudah cukup tenang apalagi saat melihat senyuman sang ibu.
"Sudah makan?"
Emma menggeleng. Rambutnya yang terurai berantakan berkibas diudara. Sang ibu hanya tersenyum kecil melihat itu. Emma memang belum bisa merawat dirinya sendiri. Bahkan belum berani mandi sendiri jika tak ditemani seseorang didepan pintu kamar mandinya. Gadis kecil itu akan selalu berteriak setiap semenit untuk memastikan masih ada orang didepan pintu kamar mandinya. Lalu, bagaimana bisa dia tenang jika harus meninggalkan gadis kecil tersayangnya ini dan tentu saja seorang putra lagi yang masih kecil.
"Pergilah ke kantin dan belilah sesuatu yang kau suka untuk dimakan. Apa Ayah memberimu uang?" Emma mengangguk. Tak melepaskan perhatiannya sama sekali dari sang ibu. "Bagus. Ayolah gadis tersayangku, belilah makanan untuk cacing-cacingmu." Sang ibu terkekeh sebentar berusaha mencairkan hati gadis kecilnya yang tegang.
Dan gadis itu tersenyum.
"Tapi aku tak ingin meninggalkan ibu."
"Ibu tak akan diculik orang sayang."
"Tapi aku takut ibu diculik tuhan. Aku masih ingin ibu bersamaku."
Sang ibu tertegun. Lalu tangannya terangkat mengelus kepala sang anak meski membutuhkan tenaga ekstra. "Ibu tak akan kemana-mana sayang. Ibu berjanji."
"Sungguh?"
Sang ibu mengangguk dengan yakin. "Ayo... pegilah ke Kantin."
Sang anak turun dari kursinya sambil melompat. Lalu beranjak mendekati sang ibu untuk mengecupi kedua pipi sang ibu. "Aku pergi dulu." Ujarnya dan segera berjalan keluar dari kamar inap itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Love
Aksiyon#AlterEgoSeries1 (Cerita tentang kepribadian ganda) Selamat Membaca!!! :)) . . WARNING!!! DILARANG MENCIPLAK/MENGKOPI SELURUH ATAU SEBAGIAN ISI CERITA. CERITA INI MURNI DARI IMAJINASI SAYA. ...>••<...