Chapter 36 : Identitas Yang Salah

18.5K 1.2K 258
                                    

Kala itu,,
Dibawah gumpalan awan,
Diselimuti teriknya matahari,
Diatas pijakan hidup,
Kita berhadapan.....
Indah.
Tapi apa gunanya jika berakhir terpisah?
..
..
..

Rerumputan hijau yang bertebaran dengan belaian angin yang berarak lembut, tampak membuat suasanan semakin khidmat.

Payung-payung hitam, bertebaran menjadi perlindungan dibawah teriknya sinar matahari yang masih menyengat meski sudah jam 3 sore. Hari itu semua orang berpakaian rapi dengan warna senada, warna hitam. Berdoa dibawah naungan langit mengantarkan sesosok tubuh yang kini tak bernafas.

Tak ada yang menangis. Hanya ada beberapa orang yang bersedih dan selebihnya, semua orang tampak biasa saja. Tak ada orang yang benar-benar penting disana. Tidak ada orang yang disayangi orang yang telah tiada itu disana.

Yang ada hanya kesunyian dibalik-doa-doa.

Dan jangan lupakan kilatan kamera yang berada area luar pemakaman dengan banyak penjaga keamanan disana. Kamera-kamera yang berusaha mengabadikan momen-momen itu.

Dia......

Dia telah tiada.

..

..

..

Mobil itu melajukan dengan kecepatan sedang. Berjalan berjam-jam tanpa henti. Melewati deretan pohon-pohon lebat, berganti pemandangan sawah, dan kembali berganti menjadi jalan raya besar penuh kendaraan. Begitu terus selama berjam-jam.

Dia tidak sendiri, disebelahnya duduk lunglai seorang gadis yang sejak tadi tak membuka mata sama sekali. Seseorang yang sejak hampir 2 hari yang lali disuntikannya obat tidur secara berkala. Menjaga gadis itu untuk tak membuka mata. Dan sekali saat mereka berhenti semalam untuk beristirahat, dia memasang infus yang dibawanya untuk gadis itu.

Kini setelah nyaris 4 jam perjalanan dari pusat kota, dia menghentikan mobilnua disebuah rumah minimalis. Tidak, ini bukan tujuan mereka. Dia hanya perlu menemui orang yang tinggal disini.

Dia turun dari mobilnya dan membiarkan mesin mobil tetap menyala. Sejenak dipencetnya bel yang berada diliar pagar, hingga kemudian seseorang melihat wajahnya di interkom dan gerbang pun terbuka.

Ya, dia sudah mengabari jika ingin datang.

Dia masuk lagi kedalam mobil dan melaju memasuki halaman rumah itu yang cukup besar. Dengan ekspresi lelah, dibopongnya tubuh gadis itu dan berjalan kearah pintu utama rumah itu yang kini sudah terbuka dengan pmiliknya yang ikut berdiri disana.

"Allen! Sudah lama aku tidak melihatmu. Atau harus kupanggil kau Je? Jeremy?" pria didepan pintu itu terkekeh. Allen hanya berdecih. Pria dihadapannya itu adalah sahabat lamanya yang juga sama-sama berkecimpung didunia kedokteran. Selain itu temannya juga adalah pemakai obat terlarang hingga mereka bisa akrab dan Allen membiarkan sahabatnya itu tau identitasnya.

Begitulah. Diingat-ingat. Hanya sahabatnya itulah yang tahu identitasnya sebagai pewaris rumah sakit keluarganya dan juga seorang Jeremy sang penjual organ.

Lagipula sahabatnya sama-sama gila sepertinya. Mana pernah sahabatnya itu peduli dengan pasien, yang ditahunya hanya uang dan obat terlarang.

"Mukamu benar-benar berubah ya. Coba tadi kau tidak memberikan fotomu sebelum kesini, aku takkan mengenalmu."

"Kau juga berubah, tambah kurus." sengit Allen.

"Hahaha.... Jadi sekarang kau sudah terkenal? Sudah jadi buronan dunia ya? Terakhir kudengar kau masuk penjara, sekarang disini. Hebat sekali."

The Billionaire's Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang