Hari mulai berubah, kebiasaan mulai berubah, memang belum lama ia merubah semua kegiatannya, hanya saja waktu singkat itu sudah bagaikan bertahun-tahun. Kenangan kecil, kegiatan kecil, hal-hal kecil yang sempat ia lakukan, kini kembali menjadi dingin, tak berwarna. Kata orang, sebanyak-banyaknya warna akan tetap menjadi hitam ketika warna hitam itu mulai menempel dalam setiap sudut si warna. Membuat warna hitam memang sangatlah mudah, namun membuat warna hitam kembali berwarna adalah hal yang cukup menguras tenaga.
Nadine, gadis ini kembali ke sifat awalnya, bahkan dapat dikatakan jauh lebih parah. Keluarganya merasakan perubahan Nadine dengan cepat. Kata yang di keluarkan dari bibirnya semakin sedikit. Kegiatan yang ia lakukan malah semakin banyak, bahkan ia tidak membiarkan tubuhnya untuk berhenti sedikitpun.
Bastian, lelaki ini merubah dirinya yang dulu sangat ceria menjadi sosok pribadi yang pendiam. Meskipun tidak sedrastis Nadine, tetap saja, Bastian yang tergolong manusia dengan penuh candaan kini berubah menjadi Bastian yang penuh dengan amarah dan ketidak pedulian. Bingung? Pasti, khawatir? Sangat.
Dila, gadis itu semakin berani menjalankan rencananya, semua orang suruhannya hampir berhasil untuk mencapai puncaknya. Puncak kehancuran bagi sang musuh dan puncak kekayaan baginya. Tapi semuanya masih mungkin. Iya masih dalam kemungkinan.
"Gimana De?" Ucap Nadine kepada seorang lelaki yang kini duduk dengannya. Dean Dwi Natanegara.
"Aman, semuanya sudah gue pindah alihin, tiga hari lagi gue harus resaign dari tempat itu," ucap Dean. Terlihat seulas senyum dari bibir Dila.
"Gue jahat gak sih?" Ucap Dila sambil bertopang dagu. Dean yang mendengar pertanyaan Dila menatap gadis itu lekat-lekat dan mengerutkan keningnya.
"Gue gak tau, gue bakal nyakitin dia atau gak? Tapi gue gak mau sampe ada goresan di tubuhnya," lanjutnya. Dean semakin mengerutkan keningnya. Siapa yang Dila maksud? Bastian kah? Nadine kah? Atau bahkan keluarga Bastian?
"Sebenarnya, selain balas dendam, apa sih tujuan lo sebenarnya?"
"Lo masih ingat gak gue pernah cerita kalau gue pernah suka sama cowok, tapi sayangnya keluarganya berhasil ngebuat keluarga gue berantakan," ucap Dila.
"Jangan bilang dia..."
"Iya, dia Bastian," ucapnya yang membuat Dean terkejut bukan main. Mana ada cinta dalam paksaan? Mana ada cinta malah nyakitin orang yang di ciintainya?
"Tapi kan keluarga Bastian gak sepenuhnya salah Dil? Lo gak bisa dong lihat hanya dari satu sisi, meskipun rencana lo sudah hampir berhasil, tapi semuanya belum telat kalau lo mau ngebatalin semuanya," ucap Dean. Dila menggeleng dengan cepatnya.
"No, gue bakal dapetin semuanya. Ketika gue bisa buat dia lupa sama cewek lumpuh itu, gue bakal bisa dapetin dia dan ketika dia tau kalau perusahaan bokapnya bakal hancur dan hanya gue yang bisa bantuin, gue yakin kalau dia bakal nurut semua apa kata gue," jelasnya dengan mata yang menatap lekat ke arah Dean.
"Gue gak tau kenapa lo sampe sebencinya sama mereka, tapi yang gue tau mereka gak seburuk apa yang lo katakan Dil," ucap Dean yang masih berusaha untuk menghilangkan rasa dendam yang ada dalam diri Dila.
••••
Bastian menuruni anak tangga dengan tatapan yang kosong. Kondisinya bukan memburuk atau meningkat, hanya saja dia masih stuck dengan kondisinya saat ini. Bingung harus bagaimana, bingung mencari semua kejelasan, bingung dengan keadaan.
"Bas, sampe kapan lo diem gini? Perjuangin kalau memang lo masih sayang, jangan kayak patung gini," ucap Angga yang sudah geram dengan tingkah Bastian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Latte
Teen Fiction[DONE] [COMPLETE] Cinta hadir tak terduga, pertemuan termenyebalkanpun dapat berubah menjadi cinta. Sebuah coffee latte dapat menggubah bongkahan es yang tertimbun dalam diri Bastian dan Nadine, menjadi hati yang hangat. Keegoisan satu sama lain, s...