"Bastian!" Teriak Nadine ketika motor Bastian melaju dengan cepatnya. Bukan hal itu yang di takutkan Nadine, pasalnya dari arah kanan Bastian, sebuah mobil melaju dengan cepat, bahkan melebihi kecepatan Bastian.
"Bastian awas!!" Teriak Nadine ketika ia telah turun dari mobilnya. Bastian sempat menoleh ke arah Nadine dan tersenyum kecil.
Brakkkkk
"Bastiaaaaaaann!" Teriak Nadine dan juga semua temannya. Nadine segera berlari ke arah Bastian. Kondisi jalanan mendadak macet. Banyak orang yang sudah bergerumbul di dekat tempat kejadian.
Nadine menerobos banyaknya orang yang bergerumbul. Air matanya dari tadi tak henti-hentinya mengalir. Pikirannya saat ini bukan dirinya, pikirannya saat ini hanya tertuju ke Bastian. Bastian yang rencananya ingin ia temui dan menemaninya. Namun sayangnya, ia menemui Bastian dengan keadaan seperti ini.
"Bastian!" Ucap Nadine dengan isak tangisnya. Ia melepaskan helm yang sudah penuh dengan darah itu dari kepala Bastian dan meletakkan kepala Bastian di pangkuannya, ia tak memperdulikan banyak darah yang akan mengotori pakaiannya.
"Nadine," ucap Bastian lirih dan tersenyum. Sungguh, baru kali ini Bastian tersenyum, senyum yang sudah lama menghilang.
"Ma-maaf," ucapnya lagi.
"No Bas, kamu harus bertahan. Kamu janji buat terus ada di samping aku kan? Aku akan menagih janji kamu," ucap Nadine dengan air mata yang mengalir dari matanya.
"Panggil ambulance sekarang!" Teriak Nadine ke semua orang yang ada di sekitarnya.
"Kelamaan, bawa masuk mobil," ucap Dean dan mengangkat tubuh Bastian yang dibantu Angga dan Theo menuju mobil Nadine.
Di perjalanan menuju rumah sakit, Bastian masih bisa membuka matanya. Ia masih tersenyum melihat gadis yang sudah sangat ia rindukan.
"Kamu harus bertahan Bas, jangan pernah tutup mata kamu sedetik pun," ucap Nadine. Dirinya bahkan kali ini sangat kacau, air matanya yang tidak dapat ia tahan menambah kacau dirinya.
Bastian dengan gemetar mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan ke pipi Nadine. Ia menghapus air mata yang dari tadi mengalir tak henti-hentinya dari mata gadisnya. Hal itu semakin membuat Nadine menangis. Bukan hanya Nadine, sikap Bastian ini membuat Erina yang ada di kursi depan juga menangis.
Bastian menggelengkan kepalanya pelan dengan tangan yang masih ia gunakan untuk menghapus air mata Nadine.
"Jangan na-na-ngis," ucap Bastian terbata-bata. Ia merapikan rambut Nadine yang tak beraturan itu. Bibirnya dari tadi tak melunturkan senyumnya. Senyum yang sudah lama ia simpan. Senyum yang memang akan ia tunjukkan di depan gadisnya.
Sesampainya di rumah sakit, Bastian di bawa masuk ke UGD. Nadine yang akan masuk ke dalam, di tahan oleh suster rumah sakit. Keadannya benar-benar kacau saat ini.
"Lo duduk dulu Nad," ucap Angga kepada Nadine. Nadine dari tadi hanya berdiri di depan pintu ruang UGD.
"Bastian?" Tanya Nadine pelan. Angga yang ditanya hanya diam saja.
"Kamu yakin sama Bastian kan? Bastian pasti baik-baik aja, Bastian gak akan ngebiarin kamu nangis kayak gini," ucap Dean sambil mengelus puncak kepala Nadine.
"Bastian janji gak akan ninggalin aku De, Bastian udah janji sama aku, dia gak bakal pergi kan?" ucap Nadine sambil menatap Dean. Dean yang ditatap seperti itu oleh Nadine kehilangan semua jawabannya. Ucapan Nadine membuat semua yang ada di sini bungkam.
"Jawab! Bastian pasti akan balik lagi kan? Bastian bakal bareng sama kita lagi kan?" Tanya Nadine lagi. Masih tidak ada yang menjawab, semuanya benar-benar kacau saat ini. Pasalnya kepala Bastian benar-benar mengeluarkan banyak darah tadi. Tapi entah Tuhan berkata lain, di balik darah yang tak kunjung berhenti, Bastian masih tetap bisa membuka matanya, ia masih bisa menatap gadisnya yang sudah sangat ia rindukan.
Setengah jam sudah Bastian di dalam ruangan, tak satupun dokter atau suster keluar untuk hanya mengabari. Kondisi Nadine dan yang lain sudah sangat kacau. Khawatir, bingung, sedih, semua campur jadi satu.
Derap langkah kaki menyadarkan semuanya. Kedua orang tua dan adik Bastian tiba dengan ekspresi yang tidak bisa di artikan. Saat mamanya menatap Nadine, barulah air mata itu sukses jatuh, air mata yang dari tadi sudah ia tahan.
"Tante Bastian," ucap Nadine saat mamanya menghampirinya. Nadine memeluk tubuh wanita 37 tahun ini. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan mama Bastian.
Dinda, saat ini sudah jatuh dipelukan Theo, Dinda sangat dekat dengan Theo, bahkan Theo sudah menganggap Dinda sebagai adiknya sendiri.
"Kak Bastian?" Tanya Dinda dengan suara yang bergetar kepada Theo. Sungguh Theo paling tidak bisa melihat seorang menangis, apalagi tepat di depannya.
"Do'ain aja ya?" Ucap Theo sambil memeluk Dinda erat.
Beberapa saat kemudian, seseorang keluar dari ruang UGD. Semua orang segera menghampiri sang dokter. Raut wajah harap-harap cemas selalu di tampilkan. Berharap Bastian baik-baik saja dan cemas kalau Bastian dalam keadaan buruk.
"Gimana keadaan anak saya Dok?" Tanya papa Bastian. Dr. Hans masih diam, matanya menatap sendu ke arah semua orang.
"Anak anda mengalami amnesia ringan..."
Degg
Semua orang terkejut bukan main mendengar penjelasan Dr. Hans, air mata yang tadi di tahan akhirnya keluar dari tempatnya. Tubuh Nadine seketika merosot ke bawah, tubuhnya lemas setelah mendengar penjelasan sang dokter. Dean yang ada di samping Nadine segera mengangkat Nadine untuk duduk di kursi panjang rumah sakit.
"Benturan di kepalanya membuat ia akan kehilangan sebagian ingatannya. Mungkin ingatan yang baru awal-awal terbentuk akan hilang," lanjut Dr Hans.
Tangisan Nadine semakin kuat. Bahkan matanya sudah sangat memerah dan keadaannya sudah sangat-sangat berantakan. Mama Bastian yang melihat Nadine seperti itu merasa tidak tega. Semuanya memperhatikan Nadine dengan khawatir.
"Bastian lupa sama gue?" Tanya Nadine pada Dean. Semua orang yang mendengar pertanyaan Nadine menundukkan kepala, mereka berusaha menghindari tatapan mata Nadine. Suara serak Nadine dan wajah penuh harap dari Nadine membuat semuanya tidak kuat menahan air matanya. Dean yang ada di depan Nadine hanya bisa membuang muka. Mereka bingung mau jawab apa kepada Nadine.
"Tante Bastian lupa sama Nadine?" Tanya Nadine kepada mama Bastian sengan suara yang bergetar. Mama Bastian segera memeluk tubuh Nadine. Ia sama sekali tidak tau bagaimana harus menjawab pertannyaan Nadine.
"Tante," ucap Nadine lagi. Mamanya menangkup kedua pipi Nadine dengan penuh kasih sayang.
"Bastian ingat kok sama Nadine, bahkan dia gak akan bisa lupa sama Nadine," ucap mamanya sambil menyeka air mata yang keluar dari matanya sendiri.
"Bukannya Bastian sudah janji kan sama Nadine? Dia akan selalu menjaga Nadine dalam keadaan apapun," lanjut Mama Bastian.
Nadine sama sekali tidak merespond setiap semangat dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Matanya kosong, tubuhnya lemah, keadaannya berantakan. Nadine yang dingin, Nadine yang kuat, semuanya hilang sekarang. Sekarang hanya ada Nadine yang lemah, Nadine dengan segala kesedihannya.
Cinta seseorang akan tumbuh tanpa paksaan, ketika hati yang dingin menghangat karena kehadirannya, itu berarti dia sudah memasuki relung hatinya. Rasa takut kehilangan dari Nadine sangatlah besar. Sosok Bastian yang berhasil menghangatkan hati Nadine kini sedang berjuang mengembalikan ingatannya. Akankah dia lupa? Akankah dia mengingkari janjinya? Akankah dia akan menjadi orang lain? Pertanyaan yang selalu muncul di kepala Nadine.
Di lain tempat, seseorang memperhatikan dengan keadaan yang sama sedihnya, namun yang membedakan dia dengan yang lain adalah senyum dari bibirnya. Bibirnya dari tadi tidak memudarkan garis lengkung itu sedikitpun setelah Dr. Hans menjelaskan bagaimana keadaan Bastian.
"Seendaknya, lo gak bakal ingat sama cewek sialan itu."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Latte
Teen Fiction[DONE] [COMPLETE] Cinta hadir tak terduga, pertemuan termenyebalkanpun dapat berubah menjadi cinta. Sebuah coffee latte dapat menggubah bongkahan es yang tertimbun dalam diri Bastian dan Nadine, menjadi hati yang hangat. Keegoisan satu sama lain, s...