Perahu dan Laut

84 0 0
                                    

Perahu dan Laut

"Kalung yang kau pakai itu adalah pemberian dari paman nelayan yang kukenal di pesisir laut sumatera, nelayan yang kini jadi pembudidaya mutiara" mendengar penjelasanku wanita dihadapanku mengerenyitkan dahinya lalu tersenyum dan wanita lembut itu berkata

"Serius, bagaimana bisa?" wajahnya seperti tak percaya, dan ingin tau lebih banyak

"Baik, aku ceritakan" Aku masuk lebih dalam ke mata gadis yang barusan ku ajak nikah ini, oh iya katanya  dia bersedia menjadi istriku, dan kami akan pergi berkeliling dunia dan membangun sebuah puisi, karya tulis, novel dan apapun yang bisa kami rangkai menjadi bagian dari sebuah hubungan, dia mendukung ku untuk jadi penulis, 'apa saja sikapmu, aku cinta kamu'. Ah dia sebegitu romantisnya.

*****

Paman nelayan melaut dengan perahu tradisionalnya di pesisir selatan, membawa peralatan jaring serta beberapa kail dan umpan udang yang sudah di siapkan, aku mengikuti perjalanan itu diatas air bukan diatas perahu. Airnya tenang ditengah sini, laut yang berbatas langsung dengan laut pasifik, tak butuh perahu besar, perahu kecil ini akan membawa pulang rejeki untuk anak dan istri si paman nelayan.

Aku menyaksikan dengan mataku sendiri perjuangan sang paman nelayan menantang ombak tersebut, laki-laki yang bekerja dengan hati memenuhi rejeki untuk anak dan istrinya juga ku sebut 'petarung', nyawa memang pantas ditukar untuk cinta, cinta yang dalam untuk keluarganya di darat sana, di tepi lautan biru pulau sumatra.

Kulit paman nelayan terbakar panas matahari, sesekali keringat disapu dengan punggung tangannya, jaring ditebar, otot-otot tangan bekerja dengan keras, namun sudah menjadi hal lumrah untuknya, sudah 12 tahun dia berjibaku dengan lembutnya ombak dan marahnya angin, teringat wajah manis putra kecilnya dipinggir laut sana, satu ikan adalah satu hadiah terbaik dari tuhan untuk hambanya, rejeki untuk putra nya yang kelak jadi orang besar berpangkat jendral dengan rumah gedong di ujung pulau sumatera. Anak kebanggan paman nelayan yang sering diceritakan dengan bangganya kepada temannya yang juga satu profesi dengannya, nelayan.

Aku senyum saja seraya melempar mata kail ku ketengah laut sana, berharap ada ikan besar memakan umpan udangnya, aku amatiran tidak ahli seperti pemuisi dengan karya tulis yang indah itu, bukan juga musisi yang memainkan grand piano dengan nada presisi, bukan juga ilmuwan yang menciptakan penemuan berguna untuk bumi dan manusia hingga dia mendapatkan nobelnya, bukan, aku bukan itu semua aku hanya nelayan dipinggir pulau sumatera, menangkap ikan dengan kail tuaku.

Bisa pulang dengan tangkapan ikan lalu ditukar dengan beberapa lembar rupiah adalah rasa syukur melebihi hal-hal indah yang sering kau bayangkan bahkan kau keluhkan.

"Lautnya tenang sore ini"

"Iya paman, mudah-mudahan ikan yang kita bawa pulang sebanyak ini" aku menunjuk perahu dengan ekspresi dari wajahku.

"Jangan, nanti perahu kita tenggelam, lagi pula Tuhan akan menurunkan rejekinya untuk kita setiap hari, Tuhan akan selalu mencukupi kita, hari ini ambil secukupnya, kita isi saja dua keranjang itu untuk sore ini" Paman nelayan menunjuk dua keranjang yang terbuat dari anyaman rotan, sebelum berangkat paman nelayan sudah menyiapkan dua buah keranjang kosong, ternyata itu adalah tempat untuk tangkapan ikan kita nanti. Mendengar penjelasan paman nelayan aku mengangguk saja, lagi pula aku hanya ikut menengah untuk melihat salah satu pekerjaan Tuhan yang maha luar biasa laut dengan ikan-ikan indahnya dan beberapa ekor paus serta hiu yang bertaring tajam.

*****

Sore telah menjelang lebih dalam lagi, kami menepi, perahu paman nalayan menderu seiring mesin tempel perahu yang dihidupkan, kami melaju dengan perahu, membelah laut dengan melayang diatasnya, aku dihidung perahu menurunkan tangan kanan ku memainkan air yang begitu beningnya, air dari hulu sungai sumatra ini begitu cantiknya, sesekali aku bernyanyi dan menari diatas permukaan laut yang kian lama kian terasa menyenangkan untuk terus kutulis.

keranjang yang tadinya kosong telah terisi penuh dengan ikan-ikan hasil tangkapan paman nelayan dan aku juga membantu menangkap ikan walaupun tak seberapa banyaknya, Ikan-ikan yang tak kuketahui jenisnya, yang kupikir enak saja bila di bakar lalu disantap dengan nasi panas dan kecap diatasnya. Namun ikan nya harus dijual ke pasar ikan di pinggir laut nanti, di tukar beberapa lembar uang yang nanti mau dibelikan sepeda kata paman nelayan, anak nya sudah lama ingin punya sepeda, bersekolah bersepeda seperti teman-temannya yang lain, uh menyenangkan sekali bersama angin dan sepeda menuntut ilmu, aku rasa benar anak paman nelayan ini akan menjadi jendral dengan rumah gedong.

Uang sudah berpindah tangan dari tengkulak dipasar ikan ke tangan paman nelayan, paman nelayan tersenyum, senyum adalah salah satu bentuk syukur selain doa yang dipanjatkannya ketika apapun yang dikerjakannya termasuk berburu rejeki sore ini tadi.

Aku beruntung, selain diajaknya ketengah laut sana, sang paman nelayan mengajakku kerumahnya, rumah panggung cita rasa khas sumatra dengan bau laut yang begitu merangsang kepala ku untuk menyanyikan sepotong lagu reggae.

"Nanti kau coba masakan istri paman ya, kerang dari dasar laut, enak sekali"

"Sip, terimakasih sebelumnya paman" kedua jempol tanganku ku angkat, seraya tertawa kegirangan.

*****

Malam tiba diterangi lampu temaram berwarna kuning kecoklatan dan kayu papan rumah paman nelayan memantulkan bayangan kami didindingnya, kerang serta cumi-cumi sudah tersaji ditengah kami, aku berbinar menatap masakan istri paman nelayan, dimasak dengan kuah santan khas sumatera yang bahkan mengundang kompeni datang ketanah kami, hanya untuk menjarah kelapa dan santan didalamnya.

Kami makan berempat didalam rumah pinggir laut itu, deru ombak bersaut-sautan, yang tadi terang kini gelap gulita, namun cahaya bulan memantulkan warna tersendiri untuk laut dan gelombang didalamnya, aku menatap si calon jendral anak paman nelayan, raut wajah nya ceria, anak kecil berumur 7 tahun dengan gigi yang ompong dia begitu riang gembiranya, sepeda berwarna merah sudah terparkir diluar rumah, besok katanya dia mau balapan dengan temannya untuk pergi kesekolah menimba ilmu, strategi untuk bertahan hidup dan melanjut dengan menjadi jendral di medan tempur.

Tak selesai sampai dimakan saja, setelahnya adalagi yang tak kalah nikmat, itu adalah teh dari pegunungan didaerah Lubuk Linggau, minuman teh hangat yang kami nikmati di teras depan rumah paman nelayan, teras yang menghadap langsung ke arah pantai, rumah paman nelayan ini diatas tanah tinggi berbatas pasir-pasir pantai. Teh hitam kental dengan gula jawa itu kami nikmati perlahan-lahan, nikmat betul !

"Paman akan membudidayakan mutiara, dari situ mudah-mudah an mendapat rejeki lebih, nanti akan kita ekspor kenegara-negara seluruh dunia, orang kaya suka dengan perhiasan semacam mutiara"

"Waah, mutiara paman? Perhiasan dari kerang laut yang menandakan keindahan laut dan gelombang pasang surut, itu ide bagus paman, nanti aku bawa kirimi aku satu paman, mau ku pakai melamar gadisku, dan dia pasti akan suka"

Paman nelayan tersenyum saja, lalu dia mengangguk artinya paman setuju untuk permintaanku itu.

Untuk anak paman nelayan yang begitu riangnya kudoai kau jadi jendral seperti harap ayahmu.


*****

Beberapa bulan kemudian mutira kiriman paman nelayan itu sampai didepan pintu kos ku, Mutiara yang nanti akan bersanding dengan emas putih yang kubuat menjadi sebuah kalung, aku membayangkan gadisku memakainya, dileher yang banyak kugilai, ditubuh yang kugandrungi dan dijiwa yang kucintai, untukmu.

*****

Gadis - Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang