Bulan

45 2 2
                                    


Aku mencintai bulan, bulan yang mengorbit pada bumi, dialah sang satelit abadi bersinar pada gelap, dia hampa dan sepi namun memantulkan cahaya matahari sehingga nampaklah terangnya, jadi aku jarang membenci gelap, karna gelaplah yang membuat bulan jadi terang, karna gelaplah yang membuat kita beristirahat.

Gelap adalah sunyi dan sepi yang menenangkan, seperti membawa tubuhku melayang dalam air, tenang melayang mengikuti aliran air yang pelan, air yang bahu membahu membawa tubuh ini melayang dalam gelap tanpa suara, hening yang menggulungku dalam ikatan arus air, semua indera pendengaran tertutup, sungguh aku mau tenang seperti itu.

Bulan penuh adalah bulat yang dipancarkan bulan secara penuh dan utuh, lingkaran yang tampak merah dengan redupnya sesekali, aku terkadang coba gambar lingkaran penuh itu, tak pernah bisa, tak pernah lingkaran yang ku gambar benar-benar bulat.

Bulan sabit dengan kedua ujung lancip. Bulan yang hampir tertutupi hanya menyisakan sedikit garis terang. Bulan yang seperti itu lebih mudah aku gambar.

Aku melukis banyak gambar bulan, hasil gambar itu ku lekatkan di dinding-dinding kamarku, lukisan yang sesekali kuamati, tak ada unsur indah dilukisanku itu, aku hanya suka menempelkannya, memperhatikan macam-macam bentuk bulan yang jadi hasil karyaku, sekarang aku mencari-cari alasan tentang mengapa aku menempelkan lukisan-lukisan itu di dinding, selain alasan aku suka memperhatikannya, mungkin saja aku suka bentuk dan terangnya, terang diantara awan malam, bintang malam dan sebuah sepi.

"Bintang kesayanganku"

"Ya bulanku" Mata gadis itu memang seperti bintang, lucu juga kadang-kadang terlihat seperti kerlap-kerlip lampu yang dihasilkan sebuah club malam, mabuk mungkin aku ketika itu, ketika gelas demi gelas aku peras.

"Mau pergi kebulan denganku?"

"Kemana saja asal denganmu"

Maka sesudah pembicaraan singkat itu tanpa berkemas kami menuju bulan, sayangku selalu setuju tentang destinasi tujuan tempat untuk kami bermain-main. Padang pasir sudah bosan kami kesana, ladang gandum sudah sering, hutan rotan sudah beberapa kali, dan bulan adalah tujuan baru. Bintang kesayanganku perlu suasana baru, aku tau bulan akan menyenangkan.

Diantar awan menuju langit, karna roket terlalu mahal, kenapa harus bayar untuk hal yang bisa didapat Cuma-Cuma, lagipula apa serunya berangkat kebulan naik roket? Lebih seru naik awan, bisa dengan bebas terbang diantara makhluk langit, aku merasa sesekali seperti Aladin dan Putri Jasmine.

Tenang saja, awan juga melapisi kami dengan udara khusus, sehingga tubuh kami tak terbakar ketika menyentuh lapisan atmosfer bumi, sepanjang perjalanan tak lepas genggaman tangan kami.

Pertama semua nampak biasa saja, kami didarat, lalu menginjakkan kaki digumpalan awan yang tebal, kami mulai meninggi, naik terbang ke atas, awan mengangkat kami seolah awan adalah lift tanpa batasan lantai tertinggi, pelan-pelan bumi nampak mengecil, bangunan-bangunan nampak mengecil dan lama-kelamaan dari atas sini kami butuh mikroskop untuk melihat makhluk bumi, jutaan makhluk bumi yang super sibuk itu nampak kecil dan kasat mata, sungguh disayangkan manusia-manusia itu terlalu sibuk, harusnya mereka punya waktu untuk jatuh cinta, jatuh cinta itu baik untuk jantung dan semua sendi tubuh, jatuh cinta lah, seperti aku jatuh cinta pada bintang kesayanganku saat ini.

Dengan baju yang sama persis dengan astronot kebanyakan, kami menjejakkan langkah ke bulan, mau tau rasanya memijakkan kaki didaratan yang tak punya gravitasi, maaf mungkin bulan ada gravitasinya tapi tak sebesar yang ada di bumi, jadi kami harus diikat dengan tali khusus yang dimana tali itu telah diikat disebuah pasak, lalu tali tersebut diikatkan di baju astronot yang kami gunakan.

Aku sibuk mengamati bumi yang jadi nampak bulat, dan pulau-pulau keliatan seperti garis-garis hijau tak beraturan, seperti motif baju batik yang kamu kenakan ketika hari selasa dan jum'at.

Dari balik helm kacaku, aku melihat bintang kesayanganku melompat-lompat kegirangan, wajar saja ini pertama kalinya dia kebulan, dan asal tau saja gadis manis itu memang tipe periang, tak suka sedih berkepanjangan, dan ceria nya itu menular bagai virus kedalam sukmaku.

"Hei bintang kesayanganku"

"Ya tampanku"

"Main bola yuk"

Aku menunjukkan bola yang aku bawa dari tadi, lalu aku jatuhkan ke permukaan bulan, aku menendang bola itu ke arah kekasihku, jadilah kini kami saling oper-mengoper bola, apabila diperhatikan apapun aktifiktas kami berdua, kami selalu nampak riang, iya kami berdua seperti sebuah film drama romantis yang dimainkan secara slow motion, bagian-bagian bahagia harusnya lebih sering diperlambat, andai saja bisa mengatur waktu, aku mau melambatkan disaat berdua dengannya, dengan bintang kesayanganku.

Si bintang kesayanganku adalah wanita periang, semua game, acara ataupun moment yang kami berdua ciptakan, apa saja halnya dia selalu nampak bahagia, selalu tertawa seakan-akan aku memang komedian yang ditakdirkan selalu hadir untuk membantunya mendatangkan bahagia.

Pernah suatu waktu dia berkata seperti ini padaku.

"Aku mau tertawa seperti ini terus"

"Maka izinkan aku terus disampingmu"

"Izin di dapat anak buah, dan aku mau kamulah pemicu semua tawa dan bahagiaku, aku tak mau laki-laki lain"

"Maka aku akan bekerja dengan baik untuk mendatangkan tawa dan bahagia untuk bosnya" setelahnya kami berpelukan, sesekali kuciumi keningnya.

Aku menenangkannya, padahal tak ada satupun yang abadi didunia ini, tak ada satupun kecuali waktu yang terus berputar.

*****

Aku tersenyum pelan melihat malam ini bintang kesayanganku begitu bahagianya.

"Sayang istirahat dulu ya, aku lelah"

"Baik" Kami pun beristirahat, duduk dengan kaki diluruskan, dan kepala gadis itu menyender mesra di bahuku, kami mengatur nafas setelah bermain bola.

Dari atas sini kami berdua menatap bumi, bumi tempat kami berasal, bumi tempat kami dibesarkan, aku sebenarnya muak dibumi, begitu banyak peraturan, aku lebih suka dibulan, disini berdua gadis paling cantik dibumi, tak ada hukum saling menjatuhkan dibumi, hukum yang seakan-akan dibuat untuk dilanggar, dan hukum norma yang terkadang menyakitkan bagi kami yang berstatus 'anak' dari dua orang tua.

Dibulan kami tak khawatir, hanya ada aku, dia dan cinta, tak ada yang lain.

*****

"Kita tinggal disini saja ya"

"Iya sayangku"

"Buatkan aku rumah dibulan"

"Apapun maumu, aku berusaha penuhi bintang kesayanganku"

Setelah hari itu, aku dan bintang kesayanganku tinggal dibulan, dan 3 bulan kemudian bintang kesayanganku hamil, aku harap yang lahir anak laki-laki, tapi kata bintang kesayanganku "Tak penting jenis kelaminnya, apapun itu yang oenting bayi kita lahir dengan sehat" Aku tersenyum mendengar hal itu, tetap saja aku berdoa agar ibu dan anak diperutnya sehat selalu.

Kukabarkan berita baik ini, kami adalah manusia pertama yang hidup dibulan, manusia yang memulai hidup baru berdua, membangun peradaban di tempat baru, masih mengikuti putaran bumi namun dibulan jauh lebih baik daripada dibumi.

Kami keluarga pertama disini, kisah kami tanpa campur tangan peraturan yang mengikat kami dalam ketidak bebasan, kami sepasang kekasih yang membentuk keadilan dalam sebuah garis cinta di tiap cahaya yang bulan pancarkan, keadilan yang tak pernah kami temukan dalam bumi yang kental dalam gengsi, budaya, dan adat yang tak semuanya benar.

Gadis - Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang