22. Move On?

118 14 1
                                    

"Udah tenang?" Tanya Vano. Ia duduk di kursi teras bersama Vina. Secangkir kopi susu mengepulkan asapnya di udara dingin. Vina mengangguk perlahan. Matanya masih sembab.

"Thanks Van."

"Mau cerita?" Vina menarik nafas dalam dalam. Sesak rasanya saat mengingat kejadian tadi. Lebih tepatnya perkataan Rizki tadi

"Rizki bakal pindah ke Aussie dan kemungkinan menetap di sana." Ujar Vina pelan, bahkan nyaris berbisik.

"Hah?!" Vano terlihat terkejut. Ditambah amarah yang tiba-tiba saja merasuki dirinya.

"Bukan itu masalahnya." Vina menarik nafas sebentar. Sesak di dadanya menyiksanya begitu dalam. "Dia nggak bisa LDR-an. Alasannya karena dia takut kayak Lisa ama David." Setetes air mata kembali turun. Vano mengusap air mata itu dari pipi Vina. Ia mengerti persis maksud Vina.

"Oke gue emang pernah selingkuh. Tapi itu dulu. Gue nggak mau ngulangin lagi karena itu nggak enak. Harus sembunyi sembunyi ketemu selingkuhan karena takut ketauan, apalagi kalo udah ketangkep basah. Gue nggak mau lagi kayak gitu. Tapi dia nggak percaya sama gue. Kalo dia sayang sama gue, dia harusnya percaya sama gue." Vano menghela nafas pelan, ada rasa sesak yang terselip di hatinya saat Vina menceritakan cowok lain di depannya. Tapi dia bisa apa? Toh dia bukan lagi pacar Vina. Namun sejujurnya Vano senang saat tahu Vina putus dari Rizki. Tapi tetap saja, dia harus menjaga perasaan Vina.

"Gue kecewa sama dia Van." Vano terdiam. Ia tak pernah melihat sosok Vina yang sesedih ini. Biarpun Vina cewek yang terlihat cengeng dan terlihat rapuh, tapi Vano tau Vina lebih kuat dari keliatannya. Namun sekarang, sepertinya Vina sudah tak sanggup menahan rasa sakit.

Dengan perlahan, Vano menarik Vina ke dalam pelukannya. Membiarkan hangatnya tubuh Vina berada dalam dekapannya. Tangan Vina ikut bergerak memeluk Vano. Rasa nyaman di dalam pelukan Vano membuat Vina tenang.

"Makanya jangan cari gara gara. Kena kan lo selingkuh dari gue." Ujar Vano sambil terkekeh. Vina melepas pelukan lalu memukul lengan Vano pelan. "Tai lo." Dengus Vina. Vano terkekeh pelan.

"Langit lagi nggak mendukung perasan gue nih. Coba aja hujan." Vina bekata lesu.

"Dasar cewek baper."

"Lu mau gue siram beneran sama kopi kayaknya."

"Disiram kopi cinta boleh."

"Gombal gembel." Vina mendecih.

"Tapi gue yakin Vin. Ini yang terbaik buat kalian. Mungkin suatu saat kalian bisa bersatu lagi. Tergantung yang di atas. Percaya aja. Kalo nggak bersatu mungkin Tuhan bakal nunjukin cara buat move on." Vano menatap Vina tepat di manik mata, lalu tersenyum. Vina membalas senyuman itu, sekektika beban berat itu sedikit terangkat.

"Lo rukiyah di mana sampe bisa bijak gini?"

"Di acara jamaaah ooh jamaaah, Alhamdulillah."

"Bego," Vina terkekeh. Sepertinya ia terhibur dengan candaan Vano. Yang pasti ia colong dari grup idiotnya.

"Thanks Van."

"Buat saran?"

"Buat semua yang udah lo kasih ke gue." Vina menatap Vano tepat di manik mata. Sejenak Vano seakan lupa cara bernafas.

"Santai aja kali. Kek ngomong sama guru bp lu."

"Yee, orang bilang makasih malah dibercandain." Dengus Vina kesal. Vano terkekeh perlahan.

"Eh gue keinget sesuatu deh." Ujar Vano tiba-tiba.

"Inget apaan?" Tanya Vina penasaran.

"Inget pas pertama kali kita dikenalin Angga sama Lisa." Vano berujar.

DiseasedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang