23. Pasar

103 12 1
                                    

Lisa berniat untuk pergi ke teras sambil menunggu Reza, temannya yang akan mengantarkan motor. Beruntung semalam ia telah menghubungi sahabat lamanya itu untuk meminjamkan motor.

Tepat waktu. Baru saja Lisa membuka pintu villa, matanya menangkap sosok Reza yang baru saja turun dari motor maticnya. Seorang cowok dengan motor yang berbeda mengikuti Reza dari belakang.

"Lisa!" sapa Reza antusias. "Apa kabar lo?" Lisa terkekeh lalu ber toss ala-ala dengan Reza.

"Baik gue mah. Lo?"

"Sama."

"Mau kemana emang?" tanya Reza. "Ke pasar. Beli keperluan lah, makanya gue minjem motor lo."

"Giliran ada butuhnya aja ya," canda Reza sambil terkekeh.

"Itulah gunanya teman. Dimanfaatkan."

"Parah anjir!" Reza tergelak. "Nggak pernah berubah lo, Sa."

"Dikata gue power rangers kali berubah"

"Nggak gitu lah haha. Lo pergi sendiri ke pasar?"

"Iya."

"Iyalah kan jomblo."

"Kaga anjir!" Lisa memukul lengan Reza.

"Tapi gue nggak buru-buru sih. Kalo lo mau mampir dulu, gue kenalin sama temen-temen gue." Ajak Lisa yang disambut gelengan oleh Reza. "Gue yang lagi buru-buru. Banyak urusan."

"Idih sok," ejek Lisa.

"Udah ya, cabut dulu. Nih kuncinya." Ujar Reza seraya menyerahkan kunci motor pada Lisa. "Jangan lecet motor gue! Belom lunas"

"Bangke lo. Gue pinjem beberapa hari doang."

"Ya udah. Pergi dulu ya, bye Sa!" Reza menaiki motor cowok yang tadi. Dan mereka berdua pun lenyap dari pandangan Lisa.

Lisa menaiki motor matic milik Reza. Lisa termenung sebentar, lalu kembali turun dan berlari ke dalam villa. Entah mengapa sekarang ia menuju kamar Angga.

Lisa mengetuk pintu kamar Angga. Tak lama, Angga membuka pintu kamarnya dengan keadaan setengah sadar.

Angga mengerjapkan matanya beberapa kali, akhirnya ia pun sadar bahwa kini Lisa sedang ada di hadapannya.

"Baru bangun, Ga?" tanya Lisa. Hanya berbasa basi, tentu saja Lisa tahu bahwa Angga baru bangun. Terlihat jelas dari penampilan kucelnya sekarang.

"Iya. Lo mau kemana?" Angga bersandar pada kunsen pintu, "Mau belanja ke pasar. Beli kebutuhan buat ntar malem," Lisa menelan ludahnya kasar. Kalimatnya masih gantung, belum mencapai titik. Mengapa sangat susah untuk hanya mengajak Angga pergi?

Keduanya terdiam, Angga masih bertanya-tanya di dalam hati mengapa Lisa menghampirinya.

Lisa menarik napas dalam-dalam, "Lo mau ikut nggak?"

"Gue boleh ikut nggak?"

Kedua kalimat itu terlontar dari mulut mereka masing-masing di waktu yang sama. Lisa terkekeh,tak menduga hal itu.

"Tumben ngajakin gue. David mana?" kata Angga setengah bercanda setengah serius. Lisa pun menanyakan hal yang sama di dalam hati, mengapa ia tidak mengajak David? Entahlah.

"Ya udah gue ajak David." Ujar Lisa tak dapat menyembunyikan wajah kecewanya. Ia pun membalikkan badannya, berniat pergi dari hadapan Angga. Namun sesuai dengan perkiraannya, Angga mencegat Lisa pergi.

"Bercanda, nyong. Bentar gue ganti baju dulu." Kata Angga lalu menutup pintu kamarnya dari dalam. Lisa memegang dadanya, detak jantungnya tidak beraturan. Mengapa bisa seperti ini? Tidak biasanya Lisa merasa seperti ini hanya karena Angga. Lisa menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Ia harus tenang, dan mencoba untuk bersikap se-normal mungkin.

DiseasedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang