[10]

8.9K 1K 126
                                    


Musim gugur telah tiba. Ditemani hembusan angin di sore hari, Draco terus memandangi pohon harapan. Daunnya berguguran. Tapi anehnya, tidak ada pohon kering di tanah. Mungkin benar kalau dewa telah mengambilnya dan menyampaikannya pada yang maha pencipta.

Hah, kenapa Ia jadi terpengaruh dengan hal-hal picisan seperti itu? Itu hanya dongeng.

Draco hanya berdiri mematung. Entah apa yang harus Ia lakukan. Semenjak Hermione pulih dan, err.. dirinya yang menghapus ingatan gadis itu, Draco jadi tidak punya kerjaan lagi.

Tidak ada yang harus Ia antar di ke kamar mandi atau perpustakaan. Ia juga sudah tidak menjadi guru privat karna sekarang otak Hermione sudah kembali.

Draco tersenyum pedih. Ia tahu tindakannya menghapus ingatan gadis itu tentang kebersamaan dengannya adalah salah. Tapi Ia bisa apa? Ia tak sanggup hanya menjadi teman Hermione sedangkan hatinya bilang kalau Ia mencintai gadis itu.

Teman berarti akan selalu mendukung. Dan Ia tak sanggup dan tak sudi mendukung hubungan Hermione dan Ron.

Waktu sekarang berlalu dengan cepat. Rasanya baru beberapa menit Ia terpaku di tempat itu, namun sekarang langit sudah berwarna keemasan menandakan sebentar lagi sang malam akan tiba.

Segera saja kaki panjangnya melangkah pergi. Entah, apa yang harus dia hadapi lagi nanti di kastil. Semoga semuanya baik-baik saja. Khususnya untuk hatinya ini.

[.]

Ternyata doa memang tak selalu terkabul dengan cepat. Baru saja Ia masuk kedalam kastil. Ia melihat beberapa murid gryffindor tengah asik mengobrol di ujung koridor.

Seperti magnet, atensinya langsung mengarah pada hazel cokelat berkilau yang kini pemiliknya sedang tertawa-tawa sambil mendekap buku tebalnya.

Matanya menyipit saat bibirnya melengkung. Pipinya merah seakan mengundang Draco untuk menciumnya.

Ah, Draco rindu tawa itu.

Setelah cukup lama, Draco kembali melangkah menuju asramanya. Ia sekarang memang sering sendirian. Ia ingin menjernihkan pikirannya. Menguatkan hatinya yang kalau Ia lengah sedikit, sudah dipastikan akan lebih retak bahkan hancur berkeping-keping.

Kalau boleh jujur, Ia sangat merindukan Hermione. Bahkan rasa rindunya sudah sampai di titik dimana Ia akan merasa sesak jika mengingat gadis itu. Tapi Ia harus menahan diri. Mungkin tidak akan mudah menghapus rasa cintanya, tapi Ia akan berusaha untuk meng-kebalkan hatinya.

Draco sampai di depan lukisan yang terhubung dengan asramanya. Setelah mengucapkan kata kunci, dan lukisan itu terbuka, Draco segera merangkak naik ke dalam.

Di ruang rekreasi, Ia melihat Blaise dan Theo sedang bermain catur sihir. Karna merasa malas untuk naik ke kamar, akhirnya Draco memutuskan untuk bergabung dengan kedua temannya itu.

"Skak mat!" Theo berseru. Blaise mendengus kesal.

"Kau beruntung. Karna aku sedang baik, jadi aku selalu mengalah untukmu."

Theo  mencibir, "Akuilah kekalahan, mate. Tidak selamanya kalah itu buruk. Karna kekalahan adalah awal dari kemenangan. Tapi kalau tidak menang-menang sih, ya.. nasib." Theo terkekeh di akhir kalimat.

"Nasihat yang sangat menyentuh." Sinis Blaise.

Draco tidak terlalu mendengarkan kedua orang itu. Ia lebih memilih duduk di sofa dengan kepala yang Ia sandarkan pada sandaran sofa itu.

Blaise dan Theo yang merasa ada yang aneh dengan Draco akhirnya tak tahan untuk bertanya.

"Kau kenapa?" Tanya Blaise.

My STUPID Girl [DRAMIONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang