Berbaikan

235 12 0
                                    

Untuk kali kedua, Radive kembali menyelamatkan Twinzy dari tingkah absurd Rednan. Untuk kali kedua juga, jantung Twinzy jumpalitan tak tentu arah dan pipinya memanas.

Oh, apa sih yang sedang dipikirkannya?

Tadi, Radive buru-buru pergi setelah mengantar Twinzy sampai di depan rumah. Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibir cowok itu. Hanya senyum simpul yang tersungging dari bibirnya. Sebuah senyum—yang entah mengapa—membuat Twinzy tak nyaman. Seolah ada makna lain dari senyum itu.

Itu membuat Twinzy diserang suatu perasaan anonim yang membuat hatinya tak tenang. Entah mengapa, firasat Twinzy tidak enak soal Radive. Seperti ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi pada cowok itu.

Bukannya Twinzy mau sok-sokan menjadi cenayang. Hanya saja, terkadang firasat seorang wanita tidak bisa dianggap remeh, kan?

Merasa kepalanya akan meledak sebentar lagi jika terus-menerus memikirkan hal yang tidak-tidak, Twinzy memutuskan untuk pergi ke dapur—sekadar meneguk air dingin supaya kepalanya tidak memanas.

Saat keluar dari kamar, Twinzy melihat Bi Nia berjalan menuju kamar Twinza sambil membawa nampan berisi makanan dan obat-obatan.

"Twinza kenapa, Bi? Sakit?"

Bi Nia menghentikan langkahnya. "Iya, Non. Sejak kemarin nggak mau makan," sahut Bi Nia. "Kerjaannya nangis terus. Bibi jadi khawatir sama kondisi Non Twinza."

Twinza sakit? Apa ini semua gara-gara kejadian waktu Rednan—

"Aku ikutan masuk deh," kata Twinzy, yang langsung dicegah Bi Nia.

"Bukan maksudnya Bibi menghalangi Non, tapi...." Bi Nia tampak ragu. "Di dalam lagi ada Nyonya, Bibi takut kalau...."

Takut kalau ada perang dunia ketiga? Takut kalau monster itu kembali mengamuk?

Sebuah pemahaman melintasi pikiran Twinzy. Benar juga apa yang dikatakan Bi Nia. Sesuatu yang buruk pasti akan terjadi kalau sampai Twinzy masuk ke kamar itu di saat si Monster masih di sana.

Sudah untung beberapa hari ini hidup Twinzy damai, tanpa mendengar polusi suara dari monster tersebut. Twinzy tidak ingin merusak momen langka tersebut. Karena itu, Twinzy berbalik arah.

"Nanti kabari Twinzy, ya, Bi soal Twinza."

"Baik, Non."

***

Tidak tahan dengan kecemasan tak beralasan yang melandanya seharian ini, Twinzy akhirnya memutuskan untuk mengunjungi rumah Radive. Sepanjang perjalanan, Twinzy berdoa semoga ini hanyalah dia yang terlalu parno—bahwa kondisi Radive baik-baik saja.

"Eh, Non Twinzy." Bi Ida, asisten rumah tangga Radive, menyapa Twinzy ceria.

"Radive ada, kan, Bi?"

Raut wajah Bi Ida mendadak berubah gelisah. Perasaan Twinzy jadi makin tidak enak. "Eh, itu Non, emm.... anu... aduh, Bibi jadi bingung gimana ngomongnya."

"Radive kenapa, Bi?"

Bi Ida masih berusaha menyusun kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan Twinzy ketika cewek itu berkata, "Dia di kamar, kan? Twinzy langsung masuk, ya?"

"Emm... ya udah deh Non, masuk aja."

Twinzy bergegas menuju kamar Radive. Semoga tidak terjadi apa-apa, begitu kalimat yang selalu dirapalnya dalam hati. Lalu, saat memasuki kamar Radive—yang kebetulan tidak terkunci—Twinzy menemukan Radive terbaring di kasurnya sambil memegangi kompres di pipinya.

TWINZYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang