Overdose

159 8 0
                                    

Twinzy sedang berdiri di depan pintu kamar mama. Ia ingin sekali mengetuk pintu itu, sekadar melihat bagaimana kondisi mama yang sudah berhari-hari sering mengurung diri di kamar, hanya sesekali keluar. Tetapi di satu sisi ada keraguan di hatinya. Bagaimana kalau mama tidak ingin diganggu, apalagi olehnya. Ia takut kalau bukannya mendingan, kondisi mama malah lebih parah jika melihat dirinya.

"Kenapa berdiri di situ? Kalau mau masuk, masuk aja," ucap Twinza dari arah belakang.

Tengkuk Twinzy meremang karena Twinza berdiri tepat di belakangnya.

"Twinza! Lo hobi banget sih bikin gue kaget. Sumpah, gue kira tadi ada mbak Kunti di belakang gue," ucap Twinzy sambil memegangi dadanya.

"Sori... sori.... makanya jangan sering ngelamun."

"Eh Za, nggak ada perkembangan tentang mama?"

Twinza menggeleng lemah. "Udah berhari-hari mama nggak mau ngomong sama aku. Udah aku coba untuk minta maaf dan coba ngomong, tapi ya gitu deh. Mama nggak ngasih aku kesempatan ngomong."

"Gimana kalau mama sampe sakit? Duuh, gue jadi khawatir."

Twinza hanya tersenyum melihat Twinzy.

"Kamu itu beneran unik, ya. Mungkin kalau aku jadi kamu, aku nggak bakal sekhawatir kamu. Yah, mengingat bagaimana memperlakukan kamu selama ini."

"Gue juga sering mikir kayak gitu Za, ngapain sih gue mesti capek-capek mikirin mama, sementara mama aja nggak pernah mikirin gue." Twinzy mendesah pelan "....... tapi cuma ini keluarga yang gue punya. Gue nggak bisa bayangin bakal kayak gimana hidup gue nanti kalau kalian nggak ada. Meskipun mama nggak pernah sayang ke gue, tapi dengan ngelihat mama, ngelihat kalian, gue udah seneng. Setidaknya gue merasa nggak sendirian."

{{{{{

Beberapa hari terakhir, hubungan Twinza dan Twinzy memang lebih dekat. Entah itu di sekolah atau di rumah, mereka jadi lebih sering mengobrol bersama. Bahkan teman-teman Twinza –yang memang lebih banyak daripada teman-teman Twinzy– jadi lebih akrab dengan Twinzy. Cewek-cewek yang sering mengerubungi Radive juga jadi tidak seheboh dulu.

Twinzy harusnya senang. Ya, dia memang senang. Tapi ada sesuatu yang masih mengganjal hatinya. Selain karena kondisi mama, juga karena Radive. Bahkan nama terakhir itu mengisi hampir separuh isi kepala Twinzy. Kembali ia merasakan sesuatu yang aneh, sama seperti ketika Radive dekat dengan Angel. Ralat, bukan dekat, tapi pura-pura dekat.

"Za, rasanya jatuh cinta tu gimana sih?" tanya Twinzy, secara tiba-tiba, saat keduanya berada di ruang keluarga.

Twinza menaikkan sebelah alisnya. "Kok tiba-tiba nanya itu?"

"Hmm..... ya gue pengin tau aja. Gue udah mau 17, tapi masa iya gue nggak tau rasanya jatuh cinta tu kayak gimana?"

"Emm..... gimana ya, rasanya tuh kamu kayak melayang di udara saking senengnya, kepikiran dia terus, sering senyum-senyum nggak jelas, jadi sering kangen sama dia, sering deg-degan gara-gara dia, emm... gitu deh pokoknya."

"...... emang kamu lagi jatuh cinta?" tanya Twinza setengah menggoda.

"Ap.... apaan... sih... Za... Siapa... juga.... yang... lagi... jatuh... cinta...?"

"Tu, muka kamu jadi merah. Ciyeee.... adikku udah gede rupanya."

"Twinza, udah dong........." Twinzy jadi salah tingkah sendiri.

{{{{{

Mau tak mau Twinzy jadi kepikiran kata-kata Twinza. Kalau rasanya jatuh cinta itu seperti yang Twinza katakan, kira-kira apa dirinya pernah mengalami hal itu? Lamunannya buyar manakala ada seseorang mencubit hidungnya.

TWINZYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang