"Minggu depan, kita semua harus ke Bandung. Abah dipindah tugaskan ke sana. Jadi mau tidak mau, kita semua harus menetap di sana."
Keputusan Ayahku seminggu yang lalu cukup membuatku kesal. Aku tak begitu suka tempat yang baru, suasana yang baru apalagi harus kembali beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Aku sudah terlanjur nyaman dengan keadaanku sekarang ini. Orang-orang yang sudah cukup lama ku kenal, tetangga-tetanggaku yang sangat ramah juga sahabat dan teman-teman sepondokku yang sudah begitu akrab denganku.
Tapi kini, tepatnya hari ini. Aku harus kembali rela melepaskan segalanya. Tak ada lagi suasana yang membuatku nyaman. Tak ada lagi canda gurau teman-teman baikku yang selalu saja mengacau ketika aku sedang serius membaca buku-bukuku. Tapi itulah yang membuatku nyaman berada di tengah-tengah mereka.
Dan kini yang tersisa hanyalah aku juga keluargaku yang terasing di tempat ini. Sebuah desa kecil yang masih sangat asri, jauh dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan yang sudah sangat akrab dengan keseharianku.
"Hahh." Ku hela nafas ini begitu berat. Walau Tak seburuk yang ku pikirkan, tapi tetap saja, tempat ini masih membuatku tak nyaman.
"Sudahlah Nisa. Jangan berdiam diri terus seperti itu. Kakak sudah memasukkan kopermu. Ayo, sekarang masukkan baju-bajumu ke lemari itu."
Seruan lembut itu mengalihkan perhatianku. Pandanganku yang semula hanya terfokus pada pemandangan dari balik jendela kamar kini teralihkan pada sesosok pria manis berkaca mata yang saat ini sedang menatapku dengan senyuman khasnya. Perlahan matanya menunjuk ke arah lemari besar di sebelahnya.
Kembali ku hela nafas ini. "Memang harus yah kak kita tinggal di sini."
Senyumnya mengembang. Dia melangkah menghampiriku lalu duduk disebelahku.
"Kakak tau kamu paling susah beradaptasi dengan lingkungan baru. Tapi mulai sekarang kamu harus terbiasa, Dek."
"Tapi Kak. Baru saja tiga tahun yang lalu kita pindah ke Medan. Terus setahun kemarin kita ke Jakarta. Masa iya sih Sekarang kita harus pindah ke tempat ini. Dan pasti, ini tidak akan lama."
Dia tertawa mendengar keluhanku. Sebelah tangannya terangkat mengusap kepalaku yang terbalut jilbab.
"Sabar, Dek. Yah inilah resiko kita kalau memiliki ayah seperti Abah. Mau tidak mau, suka tidak suka. Kita harus menerimanya."
Dia tersenyum semakin lembut dan itu membuatku merasa sedikit nyaman. Namanya Abdul Hafidz, Kakak yang teramat ku sayangi. Dialah satu satunya kakak yang ku punya. Dia sangat perhatian dan selalu saja membuatku nyaman berada didekatnya.
Dan aku sendiri..
Aku adalah Annisa Nurul Namirah. Gadis belia yang kini berusia 17 tahun. Aku seorang gadis biasa, sama seperti kalian. Aku tidaklah manja, Sama sekali tidak. Yang tadi itu hanyala'Sedikit' bentuk kekesalanku dengan kehidupanku yang selalu saja berpindah-pindah tempat semenjak Abah menjadi Pegawai Negeri. Dan kini beliau di tugaskan untuk menjadi Lurah di desa ini.
Yah itulah sedikit cerita tentangku. Tak begitu banyak dan tentunya masih sangat abu-abu. Tapi ku rasa, cukup sampai di sini dulu perkenalannya. Aku harus membantu kak Hafidz yang kini sudah berkutat dengan Koperku.
~~♡☆♡~~
'Dari Mata Turun Ke Hati'
Judul buku ini cukup menarik perhatianku. Rasa penasaran itu semakin menggebu saat ku mulai membaca Sinopsis dibalik sampulnya
"Cinta Pada Pandangan Pertama."
Aku semakin tertarik untuk membacanya. Segera ku langkahkan kaki ini ke salah satu bangku yang telah tersedia di perpustakaan pondok.
"Itu buku apa, Myl?" Seseorang disebelahku bertanya, ku alihkan pandangan ke arahnya.
"Ini novel, Wan." Jawabku, kembali ku lanjutkan bacaanku.
"Wih, tumben sekali sobatku ini baca Novel. Judulnya cinta-cintaan lagi."
Ku dengar tawanya mulai menggema. Tapi tak berlangsung lama sebab dia langsung mendapatkan teguran juga pelototan khas dari Ustadzah Halimah, penjaga perpustakaan kami. Aku hanya tersenyum.
"Ehh, Emyl."
"Hmm."
"Liat gue dong."
Aku tak menggubrisnya. Tetap ku lanjutkan saja bacaanku tadi. Tapi ku yakin, setelah ini dia pasti berulah. Dan betul dugaanku, kini dia mengambil buku yang tadi asyik ku baca dan menatapku dengan penuh kekesalan.
Aku mendesah pelan. "Ada apa sih, Ridwan?"
Perlahan raut wajahnya berubah. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku dan mulai berbisik. "Loe udah tau belum kalau besok akan ada Santriwati baru di pondok sebelah."
Keningku bertaut. Kembali ku rebut buku ku darinya. "Ternyata hanya itu. Aku kira apaan, Wan." Aku menanggapinya dengan malas.
"Ya elah ni nggak peduli amat sih. Itu berita bagus tau. Coba bayangin gimana cantiknya wajah Santriwati baru itu. Juga bentuk tubuhnya yang-"
"Astagfirullah hal Adzim, Wan. Sadar. Jangan berfikir yang aneh aneh." Aku yang mulai bosan mendengar celotehannya yang sudah sangat sering ku dengar keluar dari mulutnya itu segera melangkah meninggalnya.
"Myl. Emyl. Loe mau kemana?"
Aku tak menanggapinya dan justru bentakan dari ustadzah Halimah lah yang menyahuti teriakannya. Dari kejauhan, ku dengar dia kembali mendapat omelan dari penjaga perpustakaan kami itu. Dan aku hanya tertawa sambil geleng kepala mendengarnya.
Muhammad Ridwan Firmansyah. Itulah namanya. Maknanya Sangatlah bagus tapi kelakuannya terkadang melengser sangat jauh dari itu. Dia yang sudah tiga tahun ini sekamar denganku memang wataknya seperti itu. Konyol, biang rusuh dan terkadang pecicilan. Tapi dia tipe sahabat yang sangat bisa dipercaya. Selain sisi negatifnya tadi, tentu saja dia memiliki sisi positif yang bahkan jauh lebih banyak hingga aku merasa nyaman bersahabat dengannya.
Dan aku sendiri 'Emyl'. Ahmad Muzammil.
==☆==☆==☆==
Terima kasih sudah mau mampir di lapakku ini 😊
Semoga story ini dapat menghibur yah..
Jangan lupa meninggalkan jejak (Comment & Voute) 😆Salam Manis
^Hasna^
[REVISI]
Makassar,
22 Oktober 2017
20:54
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Diam
RandomTim Author : Hasna_Anna Jawara Indonesia Arena-1 Tim Rabu Berawal dari suara Hati ini bergetar untuk pertama kalinya Saat dimana bait-bait adzan itu dikumandangkan Dan saat dimana ayat-ayat suci itu dilantunkan dengan begitu merdunya Disitulah hati...