"Namaku Muzammil. Ahmad Muzammil."
Hingga detik ini, aku masih terngiang akan teriakan itu. Dan hingga saat ini pula aku masih belum bisa mempercayainya. Ternyata mereka orang yang sama. Lelaki bersenyum manis itu ternyata adalah Emyl, si pria bersuara emas. Aku sungguh tak menduganya.
Selama ini aku berfikir kedua lelaki itu adalah orang yang berbeda. Selama ini pula aku menaruh kekaguman lebih pada Emyl. Tapi, ternyata Emyl adalah Si pria bersenyum manis itu. Oh Ya Allah, ada apa ini? Kenapa setelah mengetahui hal ini hatiku menjadi sangat gembira. Seperti ada kembang api yang siap meledak di dalamnya. Apa karna dua sosok yang ku kagumi itu adalah orang yang sama? Atau karna aku tak harus bimbang memilih diantara keduanya.
Tapi, kenapa aku harus bimbang? Dan kenapa pula aku harus repot-repot memilih diantara mereka? Apa, apa karna aku menyukainya?
Benar kah itu?
Ahh, tapi rasanya Tidak. Aku hanya menganguminya. Yahh, aku hanya kagum padanya. Itu saja!
"Nisa."
Teriakan itu menghentikan lamunanku. Dari suaranya aku sangat tahu siapa yang telah memanggilku."Kak Hafidz."
Begitu ku menggumamkan namanya, sosoknya Tiba-tiba saja muncul diambang pintu dan mengejutkanku.
"Astagfirullah, kak Hafidz." Pekik ku setengah tak percaya. Tapi tetap saja aku berlari menghampirinya.
Ku peluk tubuh tinggi tegap itu dengan sangat eratnya. menumpahkan rasa rindu yang kian membuncah. "Jadi ini benar kak Hafidz. Alhamdulillah, Ya Allah. Aku pikir, hari ini aku nggak akan ketemu kakak."
Kak Hafidz tertawa seraya membalas pelukanku. "Mana mungkin kakak melewatkan sehari tanpa menjaili adik kakak yang tersayang ini." Dia menarik hidungku setelah pelukan kami terlepas.
Aku tertawa menerima perlakuannya itu. "Ihh. Kakak mah menih tega."
Ku lihat kak Hafidz terkejut dengan ucapanku. "Lho, kamu belajar bahasa itu dari mana?"
"Dari Husnah lah Kak. Siapa lagi." Aku tertawa, setelahnya ku ajak kak Hafidz duduk bersamaku diatas tempat tidur.
"Ini. Titipan dari Husnah. Ole-ole buat kakak, katanya." Ku serahkan bingkisan yang Husnah berikan padaku sebelum kami berpisah di Terminal. Kak Hafidz cukup heran menerimanya.
Aku yang merasa lucu dengan ekspresi yang ditampilkan Kakakku itu tak mampu lagi menahan Tawa. Kesempatan ini tak mungkin aku sia-siakan begitu saja.
"Ciee. Yang dapat pengagum baru." Aku mulai menggodanya.
Kak hafidz nampak malu. "Ahh, apa sih kamu ini."
"Ciee, ciee, jadi ceritanya Ustadzah Ayda bakal punya saingan nih."
Aku semakin tertawa melihat wajah Kak Hafidz mulai memerah. Ahh, kakak ku ini sungguh menggemaskan. Dia yang dulunya sangat anti dengan yang namanya Wanita dan Cinta. Tapi sekalinya jatuh cinta, dia malah tak mampu mengutarakannya. Duhh, gimana sih. Aku jadi gemas sendiri melihatnya.
Kak Hafidz kini menatapku dengan tatapan protesnya. Gerakan matanya menyuruhku untuk diam. Tadinya sih aku tak mau menurutinya, tapi karna tak tega, akhirnya ku hentikan tawaku. Lantas aku beralih mengambil bingkisan yang satunya lagi. Kali ini adalah hadiah dariku.
Kak Hafidz tentu saja senang sekali menerimanya. Dia mengelus lembut kepalaku seraya mengucap terima kasih. Rasanya bahagia sekali melihatnya bisa tersenyum gembira seperti itu. Ekspresi yang ditunjukkannya sama persis dengan yang ditunjukkan Abah dan Umi. Mereka semua tampak bahagia. Dan aku juga merasa sangat bahagia melihat mereka semua bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Diam
AcakTim Author : Hasna_Anna Jawara Indonesia Arena-1 Tim Rabu Berawal dari suara Hati ini bergetar untuk pertama kalinya Saat dimana bait-bait adzan itu dikumandangkan Dan saat dimana ayat-ayat suci itu dilantunkan dengan begitu merdunya Disitulah hati...