Chapter 5 - Love or Admiration?

408 22 4
                                    

Cantik...
Tak ada yang tampak selain wajahmu
Indah...
Tak ada lantunan selain namamu
Menawan...
Tak ada lukisan selain senyummu
Dan Cinta...
Adalah kau, Bidadari penggetar hati..

Kembali ku teringat pada salah satu bait puisi dari Novel yang ku baca kemarin. Entah kenapa, puisi itu terlintas begitu saja. Aku tersenyum, sketsa wajah gadis jelita itu kembali membayang-banyangi mataku. Dan tanpa sadar, aku terbuai akan keindahannya.

Dia gadis tercantik yang pernah ku temui selama ini. Wajahnya yang imut, bola matanya yang indah. Dan senyum itu, aku tak pernah melihat senyum semanis dan setulus itu. Dan senyum itulah yang pertama kalinya mampu menggetarkan hati ini.

Sungguh, Aku tak pernah merasa seperti ini. Aku pun tak mengerti apa yang terjadi pada diriku ini. Namun satu yang ku pahami, aku Mengaguminya. Yahh, aku sangat-sangat mengagumi ciptaanmu yang satu ini Ya Allah.

"Myl. Emyl."

Seruan itu lagi-lagi membuyarkan khayalanku.

"Loe itu kenapa sih. Dari tadi bengoooong aja. Mikirin apa sih loe?"

Kembali, Sahabatku Ridwan mengeluarkan pertanyaan itu. Dan lagi-lagi aku hanya menjawabnya dengan senyuman.

"Lah ni anak. Senyum doang kali yah bisanya." Gerutunya.

Aku kembali tersenyum dan mulai ku langkahkan kakiku meninggalkannya yang masih terdiam di depan pintu mesjid.

"Myl. Emyl.. Tunggu napah."

Teriakannya sungguh memekakkan telinga. Aku mendesah, menghadapinya betul-betul harus dengan kesabaran yang ekstra. Aku berbalik menatapnya yang tengah kebingungan mencari-cari sesuatu di depan pintu mesjid. Sendalnya pasti hilang.

Aku berbalik menghampirinya. "Kenapa, sendalmu hilang lagi?"

Dia menatapku lalu mengangguk. "Gue heran. Tiap minggu sendal gue pasti hilang. Masa iya sih dalam sebulan gue harus beli empat pasang sendal."

Aku tertawa. "Mungkin memang sudah nasibmu seperti ini, Wan."

Dia mendengus. "Ya kali nasib gue sekonyol itu."

Ya bukannya kamu memang konyol?

Aku semakin terkekeh dan dia tampak semakin kesal saja.

"Jangan ketawa mulu dong. Bantu gue nyarinya Napah."

"Iya. Iya."

Hampir 20 menit lamanya kami mencari-cari sendal itu. Tapi tak ketemu juga. Yang kami temukan malah Ustadz Ihwan yang baru saja keluar dari Mesjid dan menatap kami heran.

"Loh. Kalian masih ada di sini? Kenapa belum pulang? Ini sudah lewat dari jam dua malam loh." beliau menghampiri kami.

"Begini Ustadz. Sendalnya Ridwan hilang. Jadi kami masih di sini karna mencari sendal itu."

Ustadz Ihwan terdiam sejenak. Beliau seperti mengingat-ingat sesuatu. "Ohh iya. Sendal Eig*r warna hitam yah yang kalian maksud?"

Dengan cepat Ridwan mengangguk. "Iya ustadz, itu sendal saya."

Ustadz Ihwan terkekeh. "Tadi saya yang memakai sendal itu." Beliau lalu berjalan ke sisi samping mesjid. Kami mengikutinya.

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang