3. Keyakinan & Kepercayaan

8K 1.1K 61
                                    

Emang dasarnya kesialan itu nggak pernah pandang orang. Mau menghindari, kalau sudah takdir tetap aja kena sial.

Adham nggak berhenti mengernyit sambil celingukan. Tangannya juga gonta-ganti pegang helm dari tadi.

Gara-gara Valdes dia jadi harus korban tenaga dan pikiran. Masalahnya, nenteng helm sambil berdiri nunggu angkutan umum itu bikin lelah. Dia juga mikir angkutan apa yang bisa membawanya pulang ke kosan dengan cepat.

Kasur lantai di kamar kost Adham jadi bahan pikirannya sekarang.

Tapi Allah memang Maha Mengetahui. Disaat Adham lagi pusing mikir kendaraan, seperti sudah terencana. Di depan gerbang kampus, mendadak muncul anak Pak Haji yg punya tempat kost Adham.

Annisa Septiana Maulida. Cewek cantik berhijab itu tiba-tiba memanggil Adham yang lebih mirip anak hilang di tengah pasar.

Mereka akhirnya berdiri bareng di halte dekat kampus.

"Dham, kamu mau naik angkot? Apa bus?"

"Yang nggak ribet aja deh Sa. Yang bisa duduk, biar gue nggak usah berdiri sambil nenteng-nenteng helm." Annisa tersenyum. Baru kali ini ia pulang bareng Adham. Tadi awalnya Nisa hanya berjalan di belakang cowok itu sambil berbincang dengan Dessy, begitu menyadari kalau Adham nggak menuju tempat parkir melainkan langsung keluar gerbang kampus, Annisa buru-buru menghampiri.

Dasarnya Adham emang buta angkutan umum, sempat terbesit syukur waktu ketemu Annisa. Jadilah mereka nunggu angkutan umum berdua.

"Ya udah kita naik angkot aja kalau gitu. Ongkosnya 5 ribu Dham, kasih uang pas aja. Suka nggak di kembaliin ama abang tukang angkotnya."

"Kenapa nggak dikembaliin? Minta kembalianya dong Sa."

"Gimana mau minta, angkotnya keburu jalan. Makanya aku selalu ngasih uang pas kalau bayar angkot. Kalau nggak ada 5 ribuan, biasanya aku nyari penumpang lain yang mau diajak patungan bayar berdua."

"Wah ribet ya? Kenapa lo nggak nebeng gue aja sih Sa? Kan lumayan."

Pengennya Annisa begitu. Tapi kalau ingat Abah dan Umi bisa kena ceramah dia. Bukan muhrim, ntar kalau motornya ngerem mendadak, mau nggak mau pasti harus pegangan. Mendadak Annisa memerah membayangkan di bonceng Adham naik satrianya. Tau sendiri motor satria jok belakangnya seperti apa.

"Kaya kamu nggak tau Abah sama Umi aja, Dham."

"Iya juga sih. Lagian bisa kena semprot Khafid ntar."

Annisa bingung, "Kok Khafid sih? apa hubungannya sama Khafid?"

"Emang lo nggak tahu Sa, Khafid kan naksir lo dari pertama ngekost dulu."

"Ya, tapi aku nggak suka sama dia." Annisa merengut, seandainya Adham sadar kalau gadis disampingnya sudah menjatuhkan pilihan pada dirinya. "Dham, angkotnya udah ada tuh."

Adham tersenyum dan mengangguk. Siap-siap naik kendaraan umum serupa angkot untuk yang pertama kalinya.

Annisa naik terlebih dahulu disusul Adham. Tapi sayangnya, belum juga kakinya menginjak angkutan umum itu, tas ranselnya ditarik dari belakang. Membuat Adham ikut tertarik dan akhirnya gagal naik angkot karena angkotnya keburu jalan.

"Ngapain lo naik angkot? Gue dari tadi nungguin di parkiran." Suara itu. Adham menggeram kesal sebelum membalikkan badannya dan mendapati wajah Valdes dihadapannya.

"Lo lagi! gue jadi ketinggalan angkot kan. Lo ngapain narik-narik tas gue?" Adham kesel sampai terbesit di pikirannya pengen jambak rambut cepaknya Valdes. Apalagi waktu lihat orangnya malah senyum simpul sekarang.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang