♦"Jangan mematahkan harapan gue, Ad. Nafas gue berasa sesek waktu lu ngomong nggak yakin sama cinta. Gue emang orang yang nggak percaya sama cinta, tapi gue selalu yakin suatu saat nanti, gue bakal nemu cinta yang pas buat diri gue. Gue gak pernah bilang ini ke siapapun. Tapi jujur, gue beneran ngerasa sayang sama elo."
*****
BLAK
"Dham! Khafid mo ngom---ng... EHEM!!" suara Dean yang berdehem langsung bikin Adham gelagapan. Apalagi di depan pintu kamar kost itu nggak hanya ada Dean juga Khafid, tapi ada anak kost lain yang lagi ngintip.
Buru-buru Adham mendorong tubuh Valdes menjauh darinya.
"Wah, kayaknya kita ganggu momen-momen bermesraan nih cuy. Fid, lo liat sendiri kan, Adham itu doyannya sama yang batangan. Jadi lo nggak perlu khawatir si Isa di embat sama dia."
Buk
Bantal mendarat tepat di muka Dean, "Sembarangan lo, De! Ngapain kalian pada disitu. Mau jadi satpam gue?"
Dean langsung menjeblak pintu kamar kost Adham lebar-lebar. Dia sendiri masuk sambil nyengir diikuti Khafid, Oky dan Radit.
Semuanya duduk lesehan seperti biasanya. Valdes memilih berbaring di kasur lantai Adham dan menjadikan paha pemuda itu sebagai bantalnya.
"Yaelah. Ada bantal juga. Ngapain sih lu pakai acara nyepam paha gue." Valdes cuek aja, sementara anak-anak kost yang lain pada cengegesan.
"Lu lagi semuanya. Kenapa nggak pada belain gue sih? seneng apa kalau gue ntar jadi belok beneran." Dean langsung ngakak, Khafid dan yang lainnya malah senyam senyum bikin Adham tambah jengkel. Lagian, teman-teman kostnya ini pada aneh. Bukannya nge-bully atau maki-maki, ini malah pada ngegodain gara-gara Valdes yang PDKT sama Adham. Memang cowok-cowok sinting nih yang pada ngekost di sini.
"Udah, bikin happy aja punya yayang cowok. Kalian mah cocok-cocok aja kok." Lagi Adham mendengus, pandangannya lantas beralih ke Khafid. Cowok itu dari tadi cuma senyam senyum liat Dean meledek Adham. "Lo mau ngomong apaan Fid? Kalau soal Nissa, lo tenang aja. Gue nggak bakal lah nusuk elo dari belakang. Secara, Nissa sendiri masih ada hubungan saudara ama gue. Ntar dia juga ngerti sikonnya kalau gue udah nggak disini lagi."
Semua orang terkesiap. "Lo mau keluar dari kost, Dham?" Oky langsung mencerca dan diangguki Radit maupun Dean.
"Dham, apa gara-gara gue?" Khafid bahkan ngerasa bersalah. Baru aja Adham mau angkat bicara, Valdes sudah bangkit dan duduk lalu membekap mulut cowok itu.
"Yo'i. Adham mau tinggal bareng gue. Dan bentar lagi kita juga mau ke Belanda."
PLAK
Satu geplakan bersarang di kepala Valdes. "Ngaco lo. Nggak, bukan begitu. Sebenernya emang dari seminggu lalu gue mau ngomong sama lo semua. Eyang gue mau datang dari Turki, dan gue wajib buat balik ke rumah. Kata Padhe sama Budhe kamar kost gue juga bakal ada yang nempati. Jadi lo semua bakal ada temen baru."
Valdes mengernyitkan keningnya.
Kok alasannya beda dari apa yang diceritakan Adham tadi. "Lho katanya tadi lo nggak mau silaturahmi sama Pakmmph.." gantian Adham yang bekep mulut Valdes.
Sambil nyengir, Adham menatap teman-teman satu kostnya. "Ya udah ya. Gue udah pamitan nih. Ntar kalau pada mau main ke rumah gue, gue bagi alamatnya. Lusa gue bakal pindah dari kost. Jangan pada nangis!Haha.."Dean dan yang lainnya hanya bisa mencibir, apalagi melihat Adham yang dari tadi mesranya kebangetan sama Valdes. Mereka serentak bangkit dan berlalu dari kamar kost Adham.
"Dham, selamat menempuh hidup baru ya." Ujar Oky.
"Dham, jangan lupa makan-makannya ya..." sahut Khafid.
"Dham, siapin buat kita-kita juga ya tiket ke Belanda buat ntar jadi saksi kalian." Radit menaik turunkan alisnya.
Dean memamerkan senyumnya, "Eh, jangan lupa lu berdua pakai pengaman! Hahaha.."
BLAM
"Kampret ya lu pada! Awas lo semua." Adham hampir saja mengejar teman-teman kostnya kalau saja tubuhnya nggak ditarik Valdes hingga terjatuh di atas kasur. "Eits. Mau kemana? Udah disini aja, Ad. Gue kan mau nginep sini, ntar lo temenin gue bobok." Adham yang mau bergerak sampai nggak bisa. Tubuhnya udah dibekep Valdes dengan erat.
"Eh, kunyuk! Masih sore. Minggir, gue mau sholat Ashar."
"Hmm.. besok pagi bangungin gue ya? Gue pengen denger suara Adzan lo." Adham terkesiap. Dia bahkan nggak lagi meronta. "Kenapa?" tanyanya.
Valdes melontarkan senyumnya, didekatkannya bibirnya ke telinga Adham. Kemudian berbisik di sana.
"Karena kamu Asmara Subuhku, Adham Tsabit Al Siddiq."
Kemudian Valdes melepaskan rengkuhannya di tubuh Adham. Dia telentang dan memejamkan matanya, masih dengan bibir yang tersungging sebuah senyuman. Sementara Adham sibuk dengan sesuatu yang tiba-tiba menerobos masuk dan menjeblak pintu hatinya. Membuat detakan-detakan tak diundang memenuhi seluruh ruang di dadanya. Dia menelan ludahnya sebelum bangkit berdiri, mengambil sajadah yang tersampir di kursi meja belajarnya. Kemudian berlalu meninggalkan Valdes yang sudah melelapkan matanya.
*****
Adham masih memegang dadanya yang dari tadi nggak mau berhenti bedetak terlalu kencang.
Ini semua ulah Valdes. Cowok yang udah lancang minta izin pdkt dengannya itu selalu saja melakukan hal-hal berbahaya yang berhubungan dengan perasaan.
Adham menelan ludah. Dia nggak mungkin mulai terserang virus-virus tentang asmara kan? Memukul kepalanya pelan, cowok yang mengaku bukan ahli agama itu akhirnya memilih mengabaikan pikiran ngawurnya.
"Dek Adham!" Adham menghentikan langkah kakinya saat mendengar namanya baru saja di serukan seseorang. Dia menoleh dan melihat Mas Ibam sedang menatapnya sambil mengeryit.
Nama sebenarnya Ibrahim Permana. Tapi Adham lebih nyaman panggil Mas Ibam. Lelaki yang menjadi kakak kelas dua tingkat di atasnya. Rumahnya pun nggak jauh dari kediaman Pak Haji Zhaifudin. Kalau sholat juga sering ke masjid. Karena itulah, mereka jadi saling kenal.
"Iya, Mas? Ada apa ya?" Tanya Adham dengan muka bodoh. Mas Ibam malah ketawa sambil menunjuknya.
"Kamu mau kemana emang? Bukannya sholatnya ke masjid? Kok malah jalan lurus. Mau ke warteg Mpok Tuti? Kok bawa sajadah?" Mas Ibam malah tergelak saat melihat Adham dengan muka linglung melihat bergantian antara pintu ke masjid yang sudah lewat dan warteg Mpok Tuti yang jaraknya hanya 100 meter dari masjid.
"Apaan sih Mas. Cuma kebablasan dikit kok." Adham malu sumpah. Dia berbalik dengan salah tingkah lalu berjalan menuju masjid. Mas Ibam menepuk punggungnya masih dengan tergelak.
"Ntar pahalanya berkurang lho. Kalau niat ibadahnya juga terbagi." Ujar Mas Ibam yang kali ini sudah mengubah tawa gelaknya jadi senyum ringan.
Adham milih menghela napas. Lagi-lagi benaknya menyalahkan Valdes. Memang siapa lagi yang patut jadi kambing hitam selain cowok itu.
Gara-gara Valdes, Adham jadi orang linglung. Gara-gara Valdes juga Adham jadi malu tadi, dan gara-gara Valdes, mungkin benar seperti kata Mas Ibam kalau nanti pahala ibadahnya bakal berkurang, karena nggak dipungkiri sholat Adham pun nanti bisa buyar gara-gara kepikiran tindakan serta ucapan Valdes di kamar kostnya tadi.
'Karena kamu Asmara Subuhku, Adham Tsabit Al Sidiq.'
Bagaimana Adham harus menanggapinya.. Kata-kata itu sedikit banyak telah membuat dadanya berdebar lebih cepat di atas batas normalnya. Membuatnya mendadak khawatir sekaligus penasaran.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Subuh
RandomSuatu ketika Tuhan menulis sebuah takdir. Seorang yang nggak percaya sama keyakinan bertemu dengan seorang yang nggak percaya sama cinta. Valdes itu manusia laknat dan tersesat. Nggak punya agama apalagi motto dan tujuan hidup. Sayangnya, Tuhan tib...