◐ D e k a t e s s e r a

4K 249 3
                                    

Keluarga Geovano datang paling awal di rumah Ali, disambut dengan senyuman dan pelukkan hangat.

Andara hampiri Ali di halaman belakang, "Alwan kemarin kemana?"

"Main ke rumah makan punya Om Alwan, deket TMII," jawabnya tanpa menoleh.

Gadis itu mengangguk, "Devan kemarin sampai telpon gue karena nanyain Alwan kemana," jelasnya buat Ali terdiam sebentar.

Laki-laki itu menoleh dengan dahi mengernyit bingung, "Ngapain nyariin Alwan? Biasanya juga gak pernah ditanyain."

Andara setuju. Untuk apa? Keduanya berteman dari taman kanak-kanak, jelas sudah paham sifat dan karakter masing-masing, tapi kenapa Devan kekhawatir itu kemarin?

"Dia khawatir kemarin."

"Mungkin bukan Alwan yanh dikhawatirin," tebak Ali buat Andara terdiam.

Keduanya kompak menoleh kearah pintu dapur saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah.

"Alwan?" Andara mengedikkan bahu tanda tidak tau.

Tebakkan Ali benar, Alwan muncul dari dapur. Berlari kecil menghampiri keduanya yang berdiri di bawah pohon rindang ketika matahari sedang panas-panasnya.

"Panas," keluh Alwan.

Ia mendudukkan diri diatas rumput, mendongak menatap kedua sahabatnya.

Andara menjambak rambut Alwan, menariknya hingga wajah laki-laki itu menghadapnya.

"Kenapa pelipis lo?"

Ya, Alwan coba tutupi lebam dengan rambut depan yanh mulai panjang, tapi mata Andara terlalu elang.

Tidal berhenti, gadis itu mencengkeram rahang Alwan, menekan tulang pipi dan mengusapnya kasar.

Andara menghempas kasar, "Niat banget sampai pakai foundation," katanya sambil mengelap tangan yang kotor di kaos Ali.

"Berantem sama siapa lo?" tanya Ali—tenang.

Andara duduk disamping Alwan diikuti Ali disisi yang lain. Hari ini benar-benar cerah, tanpa awan malah. Matahari sedang senang-senangnya.

"Tapi Wan..." Alwan dan Ali menoleh kearah Andara.

"Yang tonjok lo dapat lebih banyak luka, kan?" tanyanya balas menoleh.

Padahal Alwan sudah siap dimaki gadis cerewet ini, tapi siapa yang tau pemikiran Andara bagaimana?

Alwan tertawa canggung, ia kembali menatap lurus kedepan, lalu mengangguk, "Udah gue pastiin itu."

"Ra," panggil Ali.

Andara mendeham, meluruskan kaki berbalut baggy pants berwarna abu-abu gelap. Ia menggulung lengan kemeja cream polos hingga siku sebelum bersandar pada pohon.

"Gimana lo bisa kenal sama Devan?"

Pertanyaan Ali mengingatkan dua tahun lalu, "Gue sama Devan dulu jadi lawan lomba Karya Ilmiah sepuluh besar SMA sederajat DKI Jakarta."

"Dia dateng ke stand gue waktu pameran," lanjutnya.

Andara terkekeh pelan, "Emang dasarnya Devan tuh bobrok dari awal, gak punya malu langsung minta nomor Whatsapp gue."

Alwan mengangguk setuju, dari kecil memang tidak punya malu, tapi pintar kalau pura-pura malu.

Awal pertemanan juga Devan yang memperkenalkan diri, tanpa salam tiba-tiba mengambil permen susu digenggaman Alwan, hampir saja ia pukul kalau tidak buru-buru mengajak berteman.

DevandaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang