◐ O k t w

4.5K 297 0
                                    

"Membahagiakan tipis bedanya dengan mengorbankan kebahagiaan"
◑◑◑

Devan duduk di bangku panjang depan kelas, melihat adik yang sedang bermain basket. Ia memikirkan hubungannya dengan Andara yang terasa berjarak padahal sedang berjalan ke tujuan yang sama.

Akhir-akhir ini Devan disibukan dengan tugas sekolah dan mengurus berkas-berkas untuk beasiswa, membuat keduanya jarang bertemu.

Hari ini Devan akan bertamu, menemui Andara yanh barangkali rindu. Sebelum pulang sekolah, Devan buat janji dengan Alwan dan Ali, bersama-sama kunjungi rumah Andara.

Alwan juga jadi jarang ke rumahnya, padahal rumah mereka berhadapan.

Mereka janjian di rumah Andara selepas sekolah, Devan sampai paling akhir karena sekolahnya lebih jauh dari Alwan dan Ali yang satu sekolah tapi beda jurusan.

Ia melangkah ke dalam tapi disambut keheningan. Ada mobil Ali di halaman, tapi kenapa sepi di dalam rumah.

"Baru dateng, Dev?"

Devan terkejut mendengar suara Alwan yang keluar dari kamar Andara.

Wait...

"Kenapa lo dari kamar Andara?"

Alwan terdiam hingga berhenti melangkah, menatap Devan yang mengernyit heran.

"Loh, Andara sakit dari Sabtu kemarin, tadi aja dia gak masuk sekolah."

Devan melangkah lebar, masuk ke kamar Andara, ada bunda yang ditemani Ali dan Andara yang berbaring dengan kiri terdapat infus.

"Sini Dev," ujar Ali sambil menepuk sofa disampingnya.

"Andara sakit apa, Bun?"

"Magh sama kekurang cairan."

Sedari tadi tidak hiraukan kedatangan Devan, ia sibuk memahami materi pembelajaran menjelang ujian kelulusan.

"Istirahat dulu, Sayang." Andara menoleh, menatap bunda yang duduk di tepi ranjang.

Ia merubah posisi menjadi bersandar pada kepala ranjang, "I'm okay, Bun."

"Pacar!"

Andara menoleh cepat, "Ngapain kesini? Cari makan lagi?"

Bibir Devan mengerucut, "Ketemu pacar, lah. Gak kangen lo sama gue?"

"Gak," sahut Andara.

Devan mendecak pelan, "Tengil."

Bunda tertawa kecil, "Andara biar istirahat, ya. Kalian kalau masih mau main, mending ke kamar Kelvin, dia lagi main game."

"Game?!" seru Alwan yang di depan pintu kamar, lalu berlari ke kamar Kelvin tanpa pamit.

"Permisi, Bunda," pamit Ali menyusul Alwan.

Devan menggeleng, "Parah banget," gumamnya.

Bunda beralih menatap Devan, "Gak gabung mereka, Dev?"

"Ah, Bunda kode Devan biar keluar kamar, ya?" Devan beranjak mendekat.

Mengusap lembut kepala kekasihnya, "Cepet sembuh, ya."

Andara tersenyum sembari mengangguk kecil, mata bunda memicing.

"Aduh, udah dilihatin induknya. Permisi Bunda, mau nyusul ke kamar Kak Kelvin."

Devan langsung berlari ketika Bunda sudah siap mencubit walau tau hanya bercanda.

"Pacar kamu, Ra."

Bunda menggeleng pelan ketika Andara hanya tertawa pelan. Usai meminum obat, bunda keluar dan menutup pintu kamar setelah Andara kembali dipeluk mimpi.

"Awas jangan deket-deket, nanti diaduin sama Ayahnya."

"Anak pungut!"

"Gak punya temen!"

"Pantes gak punya temen, diem gitu!"

Tapi kenapa yang memeluk mimpi buruk?

Andara terduduk di ranjang kamar, dilihatnya jam dinding yang menunjukkan tengah malam. Mimpi buruk terus terputar walau ia tidak sedang terlelap. Air mata rembas basahi pipi. Ia mencabut jarum infus sesuai arahan dokter, lalu menutup dengan kamar yang diberi alkohol.

Kepalanya mendongak, menatap langit-langit kamar yang indah tapi kali ini gagal buat ia merasa nyaman.

Andara merasa sendirian walau tau banyak orang yang sayang. Ia seperti terlempar ke lima tahun lalu, masa dimana ia masih putih biru.

Bunda tidak akan tau jika tidak ada bekas sepatu di punggung seragam. Untuk luka setiap pulang sekolah, membuatnya bertingkah jadi remaja ceroboh.

Ia berjalan, menarik selimut menutupi tubuhnya. Andara membuka pintu balkon kamarnya, angin malam membelai wajah yang sedikit pucat.

Dia duduk di kursi rotan gantung berbentuk telur, mengeratkan selimut hingga seluruh tubuh tertutup, menyisakan wajah yang samar tertutup rambut hitam panjang yang berantakan.

Langit malam bersih namun netranya masih bisa menangkap awan-awan tipis hiasi langit.

"Bintang aja gak mau nemenin," gumamnya.

Kenapa jadi menyedihkan begini?

Apa salahnya jadi seorang introvert? Mereka juga masih manusia yang butuh teman walau terlihat lebih senang sendirian. Walau pendiam pasti ada orang-orang yang buat nyaman hingga buat introvert seperti ekstrovert.

Andara memeluk kaki, menyadarkan kepala pada lutut, "Kenapa mereka bilang aku anak pungut? Sampai buat aku gak percaya sama keluargaku sendiri dan maksa buat cek darah," gumamnya.

"Emang kenapa kalau gak cantik? Semua orang cantik dengan cara mereka sendiri. Siapa yang buat standar cantik itu harus putih, langsing, tinggi, tirus?"

"Aku dulu kurus malah di bully." Andara menenggelamkan wajah di lutut. Memejamkan mata karena kepalanya terasa berat.

"Siapa bilang jadi orang kaya enak? Ayah dan Bunda punya banyak uang tapi anaknya jadi korban perundungan," lirihnya.

A

ndara meringkuk seperti janin dalam rahim, "Berapa taun selalu bilang gapapa ke diri sendiri yang lagi kenapa-napa? Sampai kapan mau pura-pura sembuh padahal aku makin rapuh?"

Ia menghela napas berat, "Walau sembilan bulan di rahim Bunda tapi yang ngelahirin aku aja gak bener-bener tau keadaanku."

"Yang tau diriku ya cuma aku, yang rasain sakit ya cuma aku. Gak ada yang tau udah sehancur apa aku, mereka cuma seolah paham."

"Tapi mereka gak merasakan," gumamnya sebelum benar-benar lelap dalam gelap.

◑◑◑
Direvisi pada
4 April 2020

eunoiaelpis

DevandaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang