Pagi-pagi sekali, Devan sudah datang. Ia mengganggu Andara yang baru terlelap dua jam. Gadis itu terduduk di kursi bar dengan tatapan kosong lurus kedepan.
Kelvin datang, menepuk kepala adiknya dua kali sebelum berlalu mengambil apel di lemari pendingin.
"Loh, kok sipit?" tanya Kelvin setelah mencuci apel sebelum digigit.
Andara diam, matanya terasa berat, kepalanya pusing. Devan bilang, Alwan dan Ali akan menyusul.
Laki-laki itu sedang membantu ayah di kebun belakang dekat outdoor kitchen. Entah kenapa Devan sedang dalam mode rajin. Bahkan tadi sempat bantu bunda menata buku-buku baru di perpustakaan.
"Mau ke mana lo?" tanya Andara.
"Nganterin Bunda ke Gereja."
Kelvin meninggalkan dapur, memanaskan mobil dan bersiap mengantarkan bunda yang sedang memakai sepatu.
"Bunda berangkat, Ra!"
"Iya, Bun!"
Bersamaan dengan perginya bunda dan Kelvin, Alwan dan Ali datang bersamaan. Seperti biasa, masuk sebelum dipersilakan.
"Devan mana, Ra?" tanya Alwan berhenti di living room.
Andara menoleh, lalu beranjak menghampiri keduanya, "Bantu Ayah di belakang."
"Tumben," gumam Alwan lalu duduk di sofa diikuti Ali dan tuan rumah.
Gadis itu menyalakan televisi, merasa bahwa kehidupan akhir-akhir ini membosankan.
"Suntuk banget muka lo, Ra," kata Ali.
Andara setuju, setelah mandi tadi ia tidak menggunakan produk perawatan kulit. Malas karena yang ia butuhkan sebenarnya adalah tidur.
Gadis itu menidurkan diri di atas sofa panjang, tidak peduli hari ini punya teman, mereka tidak bisa buat kantuk Andara hilang.
Ia tidur dengan mudah, Alwan dan Ali diam—canggung. Pemilik rumah terlihat lelah dan mereka malah datang tanpa memberitahu.
"Loh, ada tamu ternyata."
Alwan dan Ali kompak menoleh ke arah belakang, pintu kaca dekat dapur terbuka. Ayah dan Devan masuk lewat sana.
"Andara tidur?" tanya Devan.
Ali mengangguk.
"Pasti nanti bangun tambah pusing kepalanya," kata ayah sembari mengelus kepala sang putri.
"Kok gitu, Yah?" tanya Alwan.
Devan bergabung, duduk di antara Ali dan Alwan, sedangkan ayah duduk di dekat kepala Andara.
Ayah menggeleng tanda tidak tau, Andara memang selalu mengeluh sakit kepala setelah tidur siang, hanya tidur siang.
Sebab itu Andara tidak pernah tidur siang, jika ia tidur siang maka artinya Andara sakit.
"Alwan udah kirim berkas ke universitas?" tanya ayah. Alwan mengangguk dengan senyum lebar.
"Makasih ya, Yah." Ayah mengangguk, beralih menatap Ali dan Devan.
"Kalian kuliah kemana?"
"Mereka ke pindah benua, Yah." Alwan yang menjawab.
Devan menatap Alwan, "Yang ditanya gue." Alwan tersenyum lebar.
"Aku ambil Social science and management di Cambridge, Yah."
"Kalau aku ke University of Sydney, Yah."
Senyum ayah semakin lebar, "Hebat kalian."
"Berarti Alwan sering-sering main ke sini, ya?" lanjutnya
Mereka tertawa, paham jika Alwan satu-satunya yang paling dekat. Sadar juga mereka akan saling meninggalkan untuk pendidikan.
"Orang tua kamu gak kesepian, Dev? Anak tunggal belajar ke luar negeri."
Devan terkekeh pelan, "Katanya gapapa, Yah. Cuma dibawa Indonesia, deket," katanya buat semua tertawa.
Mereka terdiam ketika dengar suara mobil masuk ke halaman, "Kenapa diem, itu Kelvin yang datang," kata ayah.
Alwan terbahak, "Gue kira tamu," gumamnya.
Bunda membuka pintu, menahannya sebentar untuk Kelvin yang masuk membawa dua tas belanja dikedua tangan.
Ali berdiri, mengambil satu tas dari Kelvin, "Thanks, Al," kata Kelvin.
Ali mengangguk, mengikuti Kelvin ke meja makan, "Ayo makan dulu," ajak bunda setelah meletakkan tas di atas meja.Ya, bunda pulang bawa makanan. Mereka berjalan ke ruang makan, kecuali Andara yang masih terlelap. Bunda pisahkan makanan untuk Andara dan menyimpan ke lemari.
Enam kursi penuh, orang-orang yang tidak tau pasti akan anggap ayah dan bunda sebagai pasangan dengan empat putra dan satu putri.
Ayah dan bunda akan menyayangi orang-orang yang juga menyayangi Andara, memaafkan orang-orang yang menyakiti putri mereka.
Ponsel Devan berdering, ia pamit menjauh untuk mengangkatnya.
"Hai," sapa Devan.
"Hari ini bisa ke rumahku, gak?" Devan terdiam sebentar, melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan.
"Bisa, tapi nanti jam dua," jawabnya.
"Gapapa kok." Devan mengangguk walau tau seseorang diseberang tidak dapat melihatnya.
"Aku tutup, ya! Love you!"
Devan menutup sambungan telepon tanpa menjawab. Ia kembali ke meja makan mendapati Andara sudah bangun dan tempati kursinya.
Gadis itu membungkuk hingga kepalanya sejajar dengan jantung.
"Kenapa?" tanya Devan mengelus punggung kekasihnya.
"Pusing katanya," kata Kelvin.
"Gapapa kok, Dev. Emang biasanya kalau dia tidur siang jadi pusing," kata bunda.
Tapi kenapa menurut Devan, Andara tidak baik-baik saja?
Andara menegakkan punggung, menatap Devan yang berdiri di sampingnya, ia memegang bahu Devan erat, jadikan tumpuan untuk berdiri.
"Anemia?" tanya Ali.
Semua terdiam, Kelvin menoleh ke arah orang tuanya, "Andara punya Anemia?" tanyanya.
Andara menggeleng samar, "Gue gapapa kok, ini karena subuh baru bisa tidur terus bangun jam enam, tadi."
"Ini juga tambah pusing pasti karena tidur siang," lanjutnya.
Andara menepuk bahu Devan dua kali sebelum menaiki tangga ke lantai dua, masuk ke kamarnya.
Devan kembali duduk walau matanya belum lepas memandang lantai dua.
Are you okay, Ra?
◑◑◑
Direvisi pada
19042020eunoiaelpis
KAMU SEDANG MEMBACA
Devandara
Подростковая литература"I know, i'm not enough. So i let you go, because it hurts to be half loved." ... Written in bahasa [#151 in Teen Fiction 20.07.17]