Sang Perawat Dan Kecupan Manisnya

936 55 2
                                    


Kondisi kesehatanku menurun, karena akhir-akhir ini aku susah tidur, makan telat, dan aktifitas berlebihan. Akupun tumbang, sampai akhirnya aku harus check ke dokter.
Dokter membuatkanku surat rujukan, katanya aku  harus dirawat karena aku terkena penyakit tifus.
Aku dibawa ke rumah sakit jam sembilan malam. Aku di antar Ayah, Ibu, dan Bi Ntin. Mereka semua terlihat panik. Dalam keadaan sakit seperti ini, aku masih bisa bersyukur karena bisa hidup di tengah orang-orang yang menyayangiku.
Aku nggak tahu kabar Roman gimana. Saking lemasnya, aku nggak sempat menyentuh handphone sejak dua hari terakhir. Kini aku hanya bisa terbaring lemah di rumah sakit.
Kalau Roman tahu aku dirawat di rumah sakit, apakah Roman akan menjengukku? Menemaniku? Aku sih berharap begitu. Aku memang nggak berhak mengemis perhatian dari dia. Tapi, kurasa dia akan selalu memberi, tanpa harus kuminta.

***

Pagi itu, aku bangun dari tidur, disana ada Ibuku, dan... Roman. Nggak tahu kenapa dia bisa ada disini sepagi ini, padahal belum masuk jam besuk. Ah, aku yakin dia itu selalu punya cara. Dia tersenyum manis sesaat setelah aku membuka mataku. Aku merasa malu, karena aku yakin saat itu wajahku sangatlah pucat dan kusam. Aku yakin bahwa aku nggak terlihat cantik saat itu. Semoga itu nggak jadi masalah untuk Roman.
"Tahu darimana aku disini?" Kutanya Roman.
"Dari Ayah kamu." Jawab Roman. "Ngapain sakit? Kaya orang aja." Ledek Roman.
"Ih, emang aku orang kaliiii!!!" Kataku.
"Oh, kukira bidadari." Jawabnya begitu dingin, padahal disana ada Ibuku, dan Ibu pun dibuat tersenyum menatap wajahku. Aku juga tersenyum, dan aku merasa yakin bahwa saat itu wajahku memerah.
"Orang lagi sakit, malah digodain." Keluhku.
"Bukan godain, itu semangatin." Kata Ibu membela Roman.
"Bener banget, Bu!" Roman semakin merasa diatas angin karena Ibu membela dia.
Senyum itu, senyum yang kuharapkan hadir di tengah lemahnya kondisi kesehatanku, hadir di depan mataku. Aku senang Roman ada disini, aku seperti lupa bahwa aku sedang sakit, dia itu selalu tahu bagaimana cara agar aku bisa bersemangat. Ah, Roman itu, seperti punya sihir.
"Kamu nggak kuliah?" Kutanya.
"Ini hari minggu." Jawab Roman. Aku sampai lupa bahwa hari ini adalah hari minggu.
"Aku sampai lupa."
"Lupa apa?" Tanya Roman.
"Lupa kalau sekarang hari minggu."
"Aku juga lupa." Kata Roman.
"Lupa apa?"
"Lupa, nggak bawa apapun buat kamu." Kata Roman.
Aku hanya tersenyum. Hey, Man, dengan adanya kamu disini, aku sudah merasa bahwa kamu membawakanku sebuah dunia.
Saat itu, suster masuk ke ruanganku membawakan sarapan untukku.
"Nggak apa-apa, Man, kan disini sudah tersedia." Kataku.
Saat Ibu akan menyuapiku, tiba-tiba Roman berkata; "Biar aku aja, Bu." lalu ia mengambil makanan itu dari tangan Ibu. Dan dengan penuh kepercayaan, Ibu menyerahkannya pada Roman. Lalu Ibu dan Roman bertukar tempat duduk.
"Giliran aku yang suapin kamu." Kata Roman. Aku nggak tahu harus gimana, aku merasa malu dan salah tingkah karena disana ada Ibu. Jujur, ini pertama kalinya aku terlihat begitu dekat dengan lelaki, di hadapan Ibu. Sesekali kutatap Ibu, tapi dia hanya tersenyum. Dan senyuman itu seperti menggodakuyang sedang dibuat salah tingkah sama si Roman.
Akupun menerima suapan demi suapan yang Roman berikan. Dia terlihat santai sekali, meski di hadapan Ibuku sendiri. Dia memang lelaki yang santai dan penuh percaya diri. Dan aku senang, karena Ayah dan Ibuku juga menyukai Roman. Suatu hari, Ibu pernah berkara bahwa Roman itu terlihat seperti pemuda yang baik dan bertanggung jawab. Kurasa, penilaian Ibu benar.
Saat itu, Ibu terlihat sangat ngantuk, dia hampir saja tertidur di sampingku.
"Ibu, lebih baik Ibu pulang aja, istirahat." Kata Roman kepada Ibuku.
"Eh, Ibu nggak apa-apa kok, nggak capek." Kata Ibu.
"Ibu tenang aja, saya yang jagain Nadya, sampai Nadya sembuh juga saya siap." Kata Roman. Aku yakin Roman serius dengan ucapannya. Ibu menatapku, aku memberinya anggukan sebagai tanda pemberitahuan bahwa Roman adalah orang yang bisa dipercaya.
"Iya deh, Ibu pulang dulu, mau mandi dan sedikit istirahat. Beneran nggak apa-apa? Nggak ngerepotin?" Tanya Ibu pada Roman.
"Nggak sama sekali, Bu. Nanti siang, temen-temennya Nadya mau kesini juga, jadi yang jagain kan banyak." Kata Roman.
"Iya udah kalau gitu, makasih ya sebelumnya, Ibu titip Nadya." Kata Ibu.
"Iya, Bu. Ibu hati-hati di jalannya." Kata Roman. Ibu mencium keningku, lalu pulang. Lalu Roman mencium punggung tangan Ibuku. Sungguh, itu pemandangan yang sangat indah.
Kini, hanya ada aku dan Roman, tanganku ada pada genggamannya, seluruh perasaanku, ada pada dirinya.
Sungguh, skenario Tuhan memang tak pernah sedikitpun bisa ditebak. Berawal dari rasa penasaranku saat dia mengomentari puisi Pak Hendri, dilanjut oleh Ria yang lebih dahulu berkenalan dengan Roman, lalu dibuatkan prolog dimana Roman mengantarku ke kelas, hingga akhirnya semua berjalan begitu cepat tanpa terasa sampai akhirnya tiba di hari ini. Meski Roman belum jadi siapa-siapa, aku begitu menyayanginya, dan sungguh aku tak ingin kehilangan dia. Roman sudah jadi bagian berarti di hidupku. Semoga, dia akan selalu ada di sampingku.
"Kamu ngapain nginep disini sih? Kenapa nggak di Raja Ampat? Kan enak sambil liburan..." Kata Roman.
"Kamu kok jadi nyebelin sih?" Kataku kesal.
"Kamu tuh yang nyebelin, dua hari ngilang nggak ada kabar, bikin panik aja." Kata Roman.
"Kamu bisa panik juga?" Aku tersenyum.
"Tentu, aku akan jadi orang paling panik kalau kamu hilang."
"Lalu, kenapa sekarang kamu nggak terlihat panik?"
"Karena aku sudah menemukanmu." Kata Roman. "Disini." Lalu dia menyentuh hidungku dengan telunjuknya. Saat itu, aku dan Roman kembali hening, saling bertatap mata, beradu senyum.
Saat itu, aku sedang berusaha menyembunyikan rasa bahagiaku yang hampir saja meledak. Aku tak mau kelepasan, karena bagaimanapun juga, aku harus tetap menjaga gengsi di hadapan Roman.
Apa sekarang aku sudah jadi orang yang berarti bagi Roman? Kalau nggak, kenapa dia begitu panik?
Apa sekarang aku sudah jadi orang yang disayangi Roman? Kalau nggak, kenapa dia begitu peduli?
Apa sekarang aku begitu penting bagi Roman? Kalau nggak, kenapa dia begitu rela menjaga dan menemaniku disini?
Untuk saat ini, aku nggak berani buat nanya Roman tentang perasaan dia buatku seperti apa. Aku masih takut, takut jika jawabannya akan membuat kita berjarak. Biarlah seperti ini dulu, aku bahagia. Biarlah seperti ini dulu, meski aku tahu seperti apa resikonya nanti.
Roman terlihat sepenuh hati menjagaku disini. Setelah aku minum obat, aku merasa ngantuk sampai akhirnya tertidur. Mungkin ini efek dari obat yang kuminum.
"Kalau aku ketiduran, gimana?" Kutanya Roman.
"Kamu akan berjumpa lagi denganku_ di mimpimu." Kata Roman. "Tidurlah." Lanjut Roman. Lalu dia mengusap lembut kepalaku.
Nggak lama setelah itu, aku pun tertidur. Dan benar saja apa yang Roman bilang. Dalam tidurku, aku memimpikannya. Aku lupa jalan cerita di mimpiku seperti apa. Yang pasti, aku dan Roman ada di sebuah tempat yang kurasa seperti di Puncak Bogor.
Aku terbangun karena Ria dan Jani yang baru saja datang. Dan saat aku terbangun, ternyata Roman sedang tidur. Aku menyimpan telunjukku di depan bibirku sebagai permintaan agar Ria dan Jani nggak berisik. Aku nggak mau ganggu Roman yang tertidur, dengan tangannya yang masih menggenggamku.
"Gimana keadaan kamu?" Tanya Jani berbisik.
"Aku udah baikan." Kujawab berbisik juga.
"Nad, kalian udah jadian ya?" Tanya Ria.
"Hah? Belum, kok!" Kujawab.
"Terus itu?" Ria menunjuk tanganku dan tangan Roman yang saling genggam.
"Pegangan tangan nggak berarti pacaran kan?" Kataku.
"Dari jam berapa Roman disini?" Tanya Jani.
"Dari pagi." Kujawab. Sekarang sudah jam satu siang.
"Ih, bikin iri deh, enak ya kamu, punya orang yang peduli kaya gini." Kata Jani.
Ria dan Jani terus tersenyum mengejekku, mereka benar-benar tahu bahwa aku sangat bahagia dengan adanya Roman disini, juga dengan segala tindakan yang dia lakukan selama ini. Aku sampai lupa, benar-benar lupa bahwa saat ini aku ada di ruang rawat di rumah sakit. Roman membuatku lupa akan keadaanku saat ini, Roman seperti obat dari rasa sakitku. Roman adalah penguatku.
Aku terus ngobrol dengan Ria, dan Jani, tapi dengan suara seperti berbisik. Roman terlihat tidur dengan nyenyak. Nggak boleh ada yang ganggu Roman, kalau ada yang berani, maka urusannya denganku!
"Kamu cepet sembuh deh ya, aku pengen jalan nih." Kata Ria.
"Iya, aku juga." Kata Jani.
"Aamiin, aku pasti cepet sembuh, kan ada obat yang manjur disini." Kataku menunjuk Roman dengan tatapan mata.
"Ciye, iya udah, pokoknya cepet sembuh, cepet jadian juga." Kata Ria.
Ria dan Jani nggak lama berada disini, katanya mereka masih ada urusan. Mereka juga bilang bahwa mereka merasa tenang dan nggak khawatir karena disini aku ditemani Roman meski sampai saat ini masih tertidur. Entah apa saja yang dikerjakan Roman sampai dia kelelahan seperti itu.
Beberapa saat setelah Ria dan Jani pulang, Roman terbangun. Roman menatapku dengan mata yang masih menyipit.
"Kamu siapa?" Tanya Roman.
"Hah? Ih, apaan sih." Ketusku.
"Kamu siapa?" Roman bertanya lagi.
"Romaaaannnn... Udah deh...." Kataku tertawa.
"Kamu siapaaa?!" Roman jadi sering bertanya seperti itu, selalu mengulang tanya disaat nggak puas dengan jawaban. Mau nggak mau aku harus ikut permainannya.
"Nadya Maharani." Kataku tersenyum.
"Hah? Nadya? Kok, cantik?" Kata Roman, lalu dia berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi. Akupun hanya menggerutu kesal.
"Kamu mau kemana?" Kutanya.
"Cuci muka."
Setelah kembali dari kamar mandi, kini wajahnya terlihat lebih segar. Lalu dia kembali ke sampingku, menggenggam kembali tanganku. Lalu tatapan kami kembali beradu. Entahlah, hanya dengan saling tatap begitu saja, aku seperti melihat banyak hal indah. Hanya dengan tatapan mata, sesederhana itu, tapi imaji dan angan-anganku yang membuat segalanya menjadi mewah.
"Cepetan sembuh ya." Kata Roman dengan nada datar tapi egitu menyentuh perasaanku.
Aku mengangguk dan memberinya senyum yang melambangkan banyak terimakasih.
"Jaga kesehatan, tidur teratur, jangan telat makan. Jangan cuek sama kesehatan." Roman menceramahiku. Lalu dia bangkit, setengah berdiri, mendekatkan wajahnya padaku. Dan wajah itu... terus mendekat, sampai akhirnya, bibirnya menyentuh bibirku. Bibir kami bertemu, mata kami sama-sama terpejam.
Aku nggak tahu bagaimana perasaanku saat itu, jantungku berdegup cepat, hati bergetar hebat, semua menjadi tak beraturan. Saat Roman melepas ciumannya itu, aku benar-benar gugup, salah tingkah dan nggak tahu harus bagaimana. Sedangkan Roman, dia terlihat begitu dingin dan santai. Ah, Roman itu... selalu seperti itu.
Jam lima sore, Ibu baru kembali ke rumah sakit. Ibu datang bersama Ayah.
"Roman, maaf ya Ibu lama." Kata Ibu ke Roman.
"Nggak apa-apa kok Bu." Jawab Roman.
"Kamu belum makan kan? Ini Om bawain makanan, masakan Ibunya Nadya nih..." Kata Ayahku.
"Wah... terimakasih banyak Om, Bu." Kata Roman. Lalu Roman membuka makanan itu, dia tersenyum. "Kok Ibu tahu kalau aku suka ayam kecap?" Tanya Roman.
"Haha, Nadya cerita banyak tentang kamu." Kata Ayah.
Aku tahu Roman suka ayam kecap dari salah satu puisi buatannya yang ada di buku catatannya. Puisinya seperti ini;
"Menikmati senja, bersama teh hangat, dan ayam kecap, bagaikan Surga Dunia. Menikmati semuanya bersamamamu, bagaikan Surga yang sesungguhnya."
Roman menghabiskan makanan yang dibawakan Ayah dan Ibu. Lalu, setelah itu dia pamit ke Mushola untuk shalat.
"Ayah baru tahu kalau perawat di Rumah Sakit ini ganteng, tapi kamu jangan betah dan berlama-lama disini, kamu harus sembuh." Kata Ayah. Maksud Ayah, perawat ganteng itu adalah; Roman.
"Ih, Ayah ngeledek Nadya terus." Keluhku.
"Ayah nggak ngeledek sayang, dia senang ngelihat ada orang yang sayang sama kamu." Kata Ibu membela.
"Siapa emang?" Aku pura-pura nggak tahu.
"Roman lah, siapa lagi?" Kata Ibu. "Kalian udah pacaran?"
"Ih, nggak kok, Bu, aku nggak pacaran sama Roman." Kataku.
"Kalau emang pacaran juga nggak apa-apa kok Sayang, asal jangan macem-macem, nggak tinggalin pelajaran di Kampus. Kalau pacarannya bikin kamu jadi orang yang lebih baik, Ibu sih setuju aja. Sejauh ini, Ibu percaya sama Roman." Kata Ibu. Aku tersenyum malu menatapnya.
"Terimakasih, Ibu, udah percaya sama Roman." Kataku.
Aku, Ayah, dan Ibu segera mengganti topik pembicaraan karena saat itu Roman sudah kembali ke ruanganku.
"Hey, Roman, tadi Nadya ngomongin kamu." Kata Ayah. Aku kaget dan agak kesal mendengar Ayah bicara seperti itu.
"Ngomongin apa Om?" Tanya Roman.
"Katanya, kamu ganteng, haha." Ayah tertawa. Aku sangat tahu sikap Ayah. Dia itu sangat selektif, dan galak sepertiku. Dia akan sangat memilih siapa saja yang boleh berteman denganku. Tapi, entah mengapa dia begitu mudah menaruh kepercayaan pada Roman.
"Ih, kan yang tadi bilang gitu Ayah!" Kataku lalu cemberut karena aku malu pada Roman.
"Nadya juga sama, Om." Kata Roman.
"Sama apa? Ganteng?" Tanya Ayahku.
"Iya, hahaha." Kata Roman lalu dia tertawa bersama Ayah. Ibu juga ikutan tertawa.
"Nadya itu sayang sama kamu." Ayah seperti berbisik pada Roman, tapi aku masih bisa mendengarnya. Aku semakin malu pada Roman.
"Aku juga, Om." Kata Roman.
"Kamu juga apa?" Tanya Ayah.
"Sayang sama Roman." Kata Roman.
"Ah, kau ini, haha." Ayah tertawa begitu senang, dia merangkul pundak Roman. Mereka terlihat begitu dekat.
Setelah menghiburku dengan segala canda dan tawa, jam delapan malam, Roman pamit untuk pulang. Ayah dan Ibu berterimakasih pada Roman karena sudah menemaniku seharian. Ayah dan Ibu senang, karena selain mereka, ada orang yang begitu sayang dan peduli padaku. Aku juga sangat senang, melihat Roman begitu disambut baik oleh Ayah dan Ibu.
Mungkin, apa yang jadi pertanyaan di hatiku ini, sudah sedikit terjawab. Kurasa, aku nggak perlu tanya Roman apakah dia menyayangiku, atau nggak. Karena, apa yang dia lakukan hari ini, sudah menjawab semuanya. Dia sayang aku!
Malam itu, aku nggak tahu apakah Roman sudah sampai ke kostnya atau belum. Dia mengirim pesan melalui BBM.
"Sudahi redupmu, kembalikan sinarmu. Lekas sembuh, Nadyaku, Bintangku."
Ya ampun, Romaaannn... selalu saja membuatku meleleh. Terimakasih, untuk kepedulianmu hari ini. Dan juga... Ciuman pertamamu. Aku takkan lupakan itu.

Tentang Seseorang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang