Aku Dan Stef

746 49 0
                                    

Stef, semakin hari, semakin gencar dia melakukan serangan untuk mencuri hatiku. Kini, dia tak hanya mengungkapkan perasaannya untukku, tapi sekarang dia mulai meminta jawaban dariku. Tapi, aku masih saja belum bisa jawab. Jika harus kuterima, aku kan belum punya rasa. Jika harus kutolak, aku nggak tega karena dia itu baik sama aku. Jadi, aku meminta pada Stef untuk memberiku waktu lebih banyak lagi untuk memikirkannya.
Kukira, setelah acara seminar itu, dimana Roman membacakan dua puisinya untukku, akan membuat Stef mundur. Tapi, nyantanya tidak, Stef tetap pada tujuannya untuk mendapatkanku.
Tentang lelaki lain, Roman, kini dia jadi dikenal banyak orang sejak acara seminar itu. Dia menjadi incaran banyak wanita di kampus. Entah yang mana yang akan dipilihnya. Tapi, aku enggan masuk ke daftar wanita itu.
Kini, Roman jadi bersikap dingin, dia menjauh. Dia nggak pernah menyapaku lagi, dia nggak pernah memberiku puisi lagi, dia nggak pernah mengirim chat bbm lagi. Itu semua terjadi sejak dia melihatku bersama Stef di Cafe itu. Dan sepertinya dia merasa bahwa dua puisinya di acara seminar itu tidak merubah sikapku sedikitpun. Aku masih jaga jarak dari dia.
Aku dan Roman, benar-benar semakin jauh. Tak lagi saling menyapa, tak lagi beradu senyum dan tatap mata. Dunia berputar begitu cepat, sangat cepat.
Aku mendengar banyak gosip. Katanya, Roman sudah berpacaran dengan mahasiswi keperawatan. Entah berasal dari mana gosip itu, begitu cepat tersebar, mungkin karena nama Roman sudah terkenal di Universitas ini. Sejujurnya, aku belum percaya pada gosip itu. Tapi, andai Roman benar-benar sudah punya pacar, aku benar-benar harus mundur, aku harus berhenti berharap pada kisah semu itu. Belum tuntas rasa takutku tentang mantannya itu, sekarang ditambah lagi dengan gosip itu. Aku harus berhenti berharap, aku harus menghentikan langkahku, dan mengganti arah kemana harusnya aku melangkah.
Aku harus membuka hati dan menurunkan posisi Roman yang selama ini merajai hatiku. Untuk siapa aku buka hati? Stef? Mungkin. Karena selama ini dialah yang selalu ada disampingku dikala mood dan semangatku hancur karena Roman. Stef memang baik, tampan, bersikap dewasa. Kalau saja aku nggak pernah punya rasa untuk Roman, pasti sedari dulu aku terima Stef. Yang jadi penghalang itu Roman, tapi aku nggak bermaksud salahkan dia.
Pagi itu, aku meminta Stef menjemputku untuk ke kampus. Aku sedang malas mengemudi. Stef, selalu dengan senang hati mengikuti permintaanku. Sebenarnya aku ada niat lain, aku ingin menjawab apa yang selama ini Stef pertanyakan, karena aku merasa ini sudah waktunya.
Di perjalanan, aku bicara langsung ke titik perbincangan.
"Tembakan kamu itu, ungkapan perasaan kamu itu, apa masih berlaku?" Kutanya.
"Tentu, kalau harus aku ulang pertanyaan itu lagi, aku siap." Jawab Stef.
"Nggak usah, aku udah siap jawab." Kataku.
"Kamu mau jawab apa? Maukan jadi pacar aku?" Stef bertanya dengan nada semangat.
Aku mengangguk, sebagai tanda bahwa aku bersedia jadi pacarnya Stef. Aku memberinya sedikit senyum yang kubuat setulus mungkin.
Di hari ini, hari dimana aku dan Stef memulai kisah baru, status baru, membentuk komitmen. Stef terlihat sangat bahagia. Aku? Entahlah, rasanya hambar, nggak tahu kenapa. Semoga aku nggak salah langkah.
Dengan resminya aku berstatus pacarnya Stef, itu berarti aku sudah menciptakan jarak lebih jauh lagi antara aku dan Roman. Andai Roman tahu, gimana ya perasaan dia? Apa dia peduli? Apa dia sakit hati? Aku nggak tahu. Aku berani bersumpah, aku menerima Stef bukan karena ingin membuat Roman cemburu lalu menyesal. Aku juga nggak punya sedikitpun niat buat jadiin Stef pelarian. Aku mencoba untuk tidak sejahat itu, Stef orang yang baik.
Aku sedang mencari posisi yang bisa membuatku nyaman. Aku berharap, semoga dengan adanya Stef sebagai pacarku, lambat laun aku akan melepaskan Roman, dan melupakannya, seperti aku tidak pernah mengenalnya. Semoga Stef mampu membantuku.
Terjadi kemacetan di depan pintu gerbang kampusku. Bukan karena terjadi sesuatu, tapi memang biasanya seperti itu. Di tengah kemacetan, aku melihat Roman dengan motornya, dia membonceng seorang wanita berjilbab dan berpakaian serba putih khas anak keperawatan. Mungkin gosip itu benar. Saat itu, Roman berada tepat disamping mobilnya Stef. Aku mencoba untuk tidak panik seperti saat di Cafe itu. Aku sedang berusaha tenang, aku nggak mau Stef curiga.
Roman tiba lebih dulu di parkiran kampus. Tapi, seperti biasa, dia nggak langsung turun dari motornya. Dia sibuk dengan handphonenya. Sedangkan wanita tadi entah kemana, mungkin sudah turun.
Saat aku turun dari mobil, Roman melihatku, benar-benar melihatku. Tatapan tajam itu menuju pada diriku. Untung saja, aku bisa bersikap dingin dan cuek, seolah nggak ada Roman disana. Kalau Roman marah, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak peduli.
Stef mengantarku ke kelas. Ria sudah ada disana. Kebetulan, ada sesuatu yang ingin kuceritakan. Aku langsung duduk di samping Ria.
"Aku mau cerita." Kataku pada Ria.
"Kenapa? Roman lagi? Stef?" Tanya Ria.
"Stef."
"Kenapa si Stef?"
"Aku udah jadian, sama Stef." Kataku.
"Hah? Serius kamu? Kok?" Ria kaget.
"Aku serius." Kujawab.
"Sejak kapan?" Tanya Ria.
"Setengah jam yang lalu." Kujawab dengan tatapan kosong.
"Kamu ada rasa sama si Stef? Bukannya kamu belum bisa lupain Roman?"
"Aku juga nggak tahu sih perasaan aku kaya gimana ke si Stef, lagian Roman juga kan udah punya pacar." Kataku.
"Ah, kamu Nad, salah terus deh." Kata Ria terdengar kesal.
"Salah gimana sih?" Kutanya heran.
"Nad! Kamu itu belum tahu pasti apa Roman punya pacar atau nggak, yang selama ini nyebar tuh masih gosip!" Kata Ria.
"Aku udah lihat sendiri, dia tadi bonceng anak keperawatan. Lagian, mau dia punya pacar atau nggak juga kan sama aja, aku sama dia kan udah saling ngejauh."
"Yang pegangan tangan aja nggak berarti pacaran, apalagi cuma boncengan! Siapa tahu cuma nebeng." Kata Ria. Ria menyindirku tentang kejadian di Rumah Sakit saat aku dirawat. Disana Roman menggenggam tanganku.
"Hm... Iya sih." Aku tak bisa mengelak.
"Yang bikin jarak itu kamu! Roman nggak pernah ngejauh dari kamu! Enak banget kamu bilang saling ngejauh!" Kata Ria. Ria terlihat kesal padaku.
"Kamu nggak ngerti perasaan aku kaya gimana sih!" Kataku.
"Aku ngerti banget perasaan kamu! Disini yang tersakiti itu bukan kamu! Tapi Roman, Stef Juga!"
"Hah? Stef kan nggak kenapa-kenapa, aku salah apa sama dia?" Kutanya.
"Kamu udah salah besar Nad, cuma karena denger kalau Roman punya pacar, terus kamu terima Stef. Kamu mau jadiin Stef pelampiasan? Pelarian? Secara nggak langsung kamu itu bikin lebih banyak lagi orang yang sakit hati! Aku juga yakin kalau kamu nggak akan pernah bisa bohong kalau kamu masih sayang Roman." Ria terdengar kesal padaku. Dia bukan marah, tapi memang seperti itu cara dia memberiku masukan.
"Terus aku mesti gimana?" Kutanya.
"Ah, terserahlah! Percuma ngasih tahu kamu, kamu nggak pernah bisa mikir panjang, selalu aja ikutin ego sama emosi kamu! Mau kapan benernya? Mau kapan bahagianya? Asal kamu tahu, Nad, yang ngerusak hidup semua orang itu adalah egonya masing-masing." Kata Ria. Lalu dia pergi begitu saja keluar kelas.
Aku terdiam, mencerna seluruh masukan dari Ria. Ria memang benar, aku akui kalau aku belum punya rasa untuk Stef. Aku menerima dia hanya karena dia baik, bukan karena aku ada hati dan menyayangi Stef. Aku juga akan jujur tentang perasaanku yang berkata bahwa aku masih menyayangi Roman. Andai Stef tahu, dia pasti sakit hati. Ria benar, aku sedang mengukir luka baru, untukku sendiri, dan orang lain.
Aku kesal, kenapa harus aku yang terjebak di cerita seperti ini?!
Aku takkan malu jika kalian menilai bahwa aku menjadikan Stef sebagai pelarian. Aku juga rela jika kalian ingin memakiku dengan berbagai macam sumpah serapah. Jika kalian menjadi aku, aku yakin kalian akan tahu bagaimana rasanya berdiri di posisi yang nggak bagus untuk berpikir.
Aku sudah telanjur berada di posisi ini. Mau nggak mau aku harus coba jalanin sama Stef. Nyaman nggak nyaman, aku nggak boleh tinggalin Stef. Semoga aku bisa.
Suatu hari, Stef datang ke rumahku membawa coklat dan bunga. Entah dalam rangka apa, yang pasti ini bukan hari valentine.
"Apa kamu sungguh menyayangi aku?" Stef bertanya padaku.
"Kenapa kamu tanya gitu?" Kataku.
"Hanya ingin memastikan." Kata Stef.
"Hm... Iya, aku sayang sama kamu." Kataku dengan berat.
Aku sadar, mungkin Stef bertanya seperti itu karena dia merasa bahwa aku nggak berbuat banyak untuk membahagiakannya. Selama ini aku selalu cuek, kurang memberi perhatian. Semua itu terjadi karena Stef belum bisa membuatku melepaskan Roman.
Hari demi hari berlalu, hubunganku dengan Stef berjalan biasa, sangat biasa. Nggak ada sedikitpun getaran yang bisa sedikit saja mengubah perasaanku untuknya. Makin hari, cara becandanya Stef makin garing. Dia sudah jarang memberiku puisi karena sepertinya dia sudah kehabisan sumber darimana dia bisa salin.
Di sisi lain, kulihat Roman baik-baik saja. Sering kulihat dia berkumpul bersama teman-temannya, dan dia tampak bahagia. Dia seperti nggak merasa kehilangan aku, seperti yang dia bilang di puisinya.
Aku kesal, bingung, marah, karena masih saja si Roman yang duduk manis di hatiku ini. Dia benar-benar nggak mau pergi! Apa yang diberikan Stef selama ini nggak berasa, semuanya hambar. Stef nggak mampu menyingkirkan Roman. Sebenarnya ingin sekali aku sudahi hubungan tanpa arah ini, tapi aku begitu kasihan pada Stef.
Roman benar-benar mengurungku, aku dibuat buta langkah, buta arah. Nggak tahu  dimana lagi aku bisa tenang, nggak tahu siapa lagi yang bisa bikin aku senang, nggak tahu apa lagi yang bisa bikin aku sejenak lupain Roman.
Aku semakin hancur, melebur tanpa berkeping!

Tentang Seseorang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang