Roman dan Novelnya

1K 58 0
                                    

Hari jumat ini, kuliahku libur, dan aku nggak punya satupun acara. Jadi, aku bermalas-malasan saja di rumah sambil berkabar dengan Roman yang saat itu sedang pulang ke Bandung. Aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang Roman, tapi tanpa aku meminta darinya. Aku mencari seluruh akun media sosialnya, dan yang pertama ku temukan adalah; instagram.
Di instagramnya, aku melihat dia mencantumkan link sebuah akun wattpad. Aku malah tertarik pada akun wattpad itu. Aku tahu wattpad, semacam tempat dimana seseorang bisa menulis atau membaca.
Di akun wattpad Roman itu, ada dua karya milik Roman. Satu selesai, dan satunya lagi masih dalam proses pengerjaan. Aku terlebih dahulu membaca karya yang sudah ia selesaikan. Aku berterimakasih pada Roman karena di hari libur ini aku jadi punya kegiatan.
Setelah selesai membaca, aku benar-benar dibuat semakin kagum pada Roman. Novel yang ia buat sungguh bagus, benar-benar diluar dugaanku. Cerita yang ia tulis membuatku terbawa suasana. Aku jadi ikut menyesalkan, kenapa keluarganya tidak mengijinkan Roman masuk sastra. Padahal, bakatnya sungguh bagus dan di atas rata-rata.
Tanpa berlama-lama, aku segera membaca karyanya yang satu lagi.
Di novel yang satu lagi, yang belum dinyatakan selesai oleh Roman, aku benar-benar merasa bahwa Novel itu adalah kisah nyatanya. Aku bisa menilai seperti itu karena cara dia bercerita terdengar seperti diary, dan setiap kejadian hampir selalu dibuat detail seperti jam, tanggal, tempat. Aku dibuat berpikir, karena entah mengapa aku jadi takut. Aku takut kalau Roman masih mengharapkan seseorang seperti yang diceritakannya di buku itu. Tapi, aku nggak boleh terlalu cepat ambil kesimpulan. Bisa saja novel itu adalah cerita fiktif, namun karena pintarnya Roman yang membuat cerita itu seperti nyata. Aku tak mengendurkan harapanku dari dia. Ya, sejak kemsrin, aku memang sudah menanam harapan agar suatu saat nanti aku dan Roman akan saling memiliki.
Aku rindu suara Roman. Perasaanku semakin telak, dia benar-benar mencuri hatiku!
Aku menelpon Roman.
"Hey, Roman." Kusapa.
"Iya, Nad."
"Lagi dimana? Ngapain? Sama siapa?" Kuserang Roman dengan tanya bertubi-tubi.
"Harus aku jawab jujur?" Tanya Roman.
"Tentu." Kujawab.
"Aku di studio musik, sama kawan-kawanku." Jawab Roman.
"Beneran?" Kutanya lagi.
"Iya. Kamu kenapa Nad? Baik-baik aja kan?" Tanya Roman.
"Eng... Iya aku baik-baik aja, lagi bete aja ga ada kerjaan." Kataku. "Ya udah kalau gitu, maaf ganggu ya Man." Akupun menutup telponnya.
Perasaanku saat ini sangat rumit. Padahal, Roman siapanya aku? Aku siapanya Roman? Sejak tadi membaca novelnya, aku menumbuhkan rasa takut dan gelisah yang berlebihan. Aku mencoba mencari kesibukan agar aku tak terus memikirkan Roman. Dia sedang bersenang-senang bersama temannya di Bandung, dan aku nggak boleh berpikir macam-macam tentang Roman.

***

Sabtu malam, aku masih belum tahu mau kemana. Banyak temanku yang mengajak untuk jalan bareng. Tapi aku masih bingung untuk pergi sama siapa.
Handphoneku berdering, Roman menelponku.
"Kamu dimana?" Tanya Roman.
"Aku di Rumah, ada apa Roman?"
"Temenin aku jalan ya, jangan nolak, kirim alamat kamu sekarang." Kata Roman yang langsung menutup telponnya. Dia bahkan tak memberiku waktu untuk menerima atau menolak ajakannya. Tapi, tentu saja aku tak akan menolak. Dengan senang hati pasti aku mau. Akupun mengirim alamatku pada Roman lewat bbm. Aku memberi kabar pada teman-temanku karena aku tak akan pergi bersama mereka, aku akan pergi dengan si komentator, si pencuri hati, si Roman.
Akupun segera mandi, lalu aku mengeluarkan seluruh pakaian untuk kupilih mana yang akan kupakai di malam minggu ini. Aku harus berdandan secantik mungkin.
Seseorang mengetuk pintu kamarku, dan itu Bi Ntin, pembantu di rumahku.
"Kenapa, Bi?" Kutanya.
"Ada tamu, namanya Roman." Jawab Bi Ntin. Aku kaget, kok cepet banget sih Roman jemputnya. Akupun segera menghampiri Roman yang duduk di ruang tamu.
"Hey." Kusapa dia. "Kok cepet banget?"
"Kebetulan aja, nggak lagi macet." Kata Roman. "Mau berangkat kapan?" Tanya Roman.
"Duh, aku belum minta ijin sama Ayah, aku coba telpon nggak di angkat. Tapi sih kayanya bentar lagi pulang. Kalau setengah jam lagi belum dateng juga, kita berangkat aja. Nggak buru-burukan?" Kataku.
"Nggak, santai aja." Kata Roman.
"Silakan di minum." Kata Bi Ntin yang tiba-tiba datang membawa minuman.
"Makasih, Bi." Kata Roman. Roman pun meminumnya. Setelah itu, Roman melirik ke arah piano yang ada di ruang tengah.
"Kamu bisa main piano?" Tanya Roman.
"Nggak, itu punya Ibuku." Kujawab.
"Boleh aku main?" Tanya Roman.
"Tentu."
Roman berjalan ke arah piano itu, aku mengikuti langkahnya dari belakang. Roman lalu duduk di kursi panjang yang ada di depan piano itu. Dia bergeser memberiku tempat.
Roman mulai mengadu jarinya dengan tuts piano itu, dia memainkan lagu Bunda milik Melly Goeslaw. Aku tak menyangka bahwa dia adalah lelaki yang multi talent, serba bisa! Aku sering mendengar Ibu main piano. Tapi, entah kenapa melihat dan mendengar Roman memainkan piano itu secara langsung, aku benar-benar hanyut dalam pembawaannya. Roman tak hanya main piano, dia juga bernyanyi. Suaranya sebenarnya biasa saja, tapi enak didengar. Diatas rata-rata deh, meski nggak sebagus Afgan, kalau diminta memilih, aku tetap memilih Roman. Sisi lain dari Roman yang baru aku tahu lagi, makin dibuat kagum saja aku padanya.
Nggak lama kemudian, Ayah pulang. Romanpun beranjak menghampiri Ayahku.
"Ayah, ini Roman, teman kuliahku." Kataku.
"Saya Roman, Om." Kata Roman yang langsung mencium punggung tangan ayahku.
"Oh, iya. Kamu bisa main piano juga?" Tanya Ayah. "Ajarin dong Nadya." Lanjutnya.
"Saya cuma bisa dikit, Om, boleh deh nanti kapan-kapan belajar bareng sama Nadya." Kata Roman.
"Ngomong-ngomong mau pada kemana? Udah pada rapi gini." Tanya Ayah.
"Oh, iya Om, saya mau minta ijin ajak Nadya jalan-jalan." Kata Roman.
"Jalan kemana?" Tanya Ayah lagi.
"Paling nonton, makan malem, nyari yang deket aja kok." Kata Roman.
"Iya, silakan, tapi Om titip Nadya ya, jangn kemaleman pulangnya." Kata Ayah.
"Siap, Om."
Setelah ijin didapat, aku dan Romanpun pamit pada Ayah. Roman terlihat santai sekali ketika berbicara dengan Ayah. Aku kagum.
Aku dan Roman pergi dengan motor Roman. Menelusuri padatnya Jakarta di akhir pekan.
"Kamu nggak akan meluk?" Tanya Roman saat aku diboncengnya.
Aku nggak menjawab, tapi aku langsung memeluknya. Melingkarkan tanganku di tubuh seorang lelaki yang berhasil mencuri hati dan perasaanku. Tuhan selalu mempersiapkan jalan cerita yang tidak pernah bisa disangka siapapun. Aku nggak nyangka akan sedekat ini dengan Roman.
Aku dan Roman masuk ke sebuah Mall ternama di Jakarta Selatan. Dari tadi aku nggak nanya Roman mau ajak aku pergi kemana, karena bagiku itu nggak perlu, kemanapun Roman mengajakku pergi, aku akan dengan senang hati bersamanya.
"Mau nonton dulu? Atau makan?" Tanya Roman.
"Aku belum laper." Kataku.
"Oke, kita nonton dulu." Kata Roman.
Aku dan Roman menonton sebuah film. Aku nggak begitu dibuat fokus pada film yang aku tonton, tapi aku fokus kepada lelaki yang ngajak aku nonton. Kalian tahu apa yang aku rasakan? Gugup setengah mati! Dapet setengah lagi, aku benar-benar mati.
Selama di bioskop, aku nggak banyak bicara karena nggak mau mengganggu Roman yang lagi nonton, meskipun aku nggak tahu apakah Roman menikmati film itu. Andai saat itu Roman adalah pacarku, ingin sekali aku menggenggam tangannya dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Mungkin, itu adalah tempat ternyaman di dunia.
Setelah film selesai, aku dan Roman berbelanja. Belanja pakaian, aksesoris, apapun yang kami suka. Saat mulai merasa lelah dan lapar, kita berhenti di sebuah cafe di mall itu untuk makan malam.
Sebenarnya, aku ingin sekali bertanya tentang novel yang Roman tulis di wattpad. Tapi aku urungkan, aku takut sakit dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Biarlah aku tak perlu tahu, setidaknya jangan sekarang.
"Bandung seru nggak sih?" Kutanya Roman.
"Tentu, nggak ada tempat seindah disana." Jawab Roman.
"Lalu kenapa kamu pilih Jakarta?"
"Akan terus jadi pemalas kalau aku terus disana, Bandung itu zona nyaman buat aku." Kata Roman.
"Novel kamu di wattpad bagus deh, seru, bikin baper." Kataku. Aku kaget mengapa aku mengalihkan topik pembicaraan kesitu. Seperti keluar begitu saja, padahal tadi aku berniat untuk nggak bahas itu hari ini.
"Kamu baca? Kok tahu aku punya wattpad? Wah, kamu stalking aku ya?" Kata Roman dengan nada mengejek.
"Tahu dong, he he." Aku sedikit tertawa. "Jadi, siapa wanita itu? Yang kamu sebut Dilla di novel itu?" Aku bertanya lebih jauh. Entah mengapa aku berani, mungkin karena aku sudah merasa tanggung.
"Itu kan cuma novel, cerita, kok kamu nanya gitu?" Roman terlihat kaget dan bingung.
"Cerita aja kali, Man. Itu kisah nyata kamu kan?" Kuserang lagi dengan pertanyaan.
"Harus aku jawab jujur?" Tanya Roman mencoba jadi berbelit.
"Jujur itu akan selalu jadi keharusan, jadi nggak perlu tanya." Kataku.
"Okay, iya... Itu... Kisah nyata aku." Jawab Roman. Perasaanku jadi tak tentu, ada rasa takut, bimbang, dan sedih yang berbaur menjadi satu. Aku takut harapan yang kutanam sejak kemarin akan menjadi kehancuran untukku.
"Jadi perasaan kamu ke cewek itu..."
"Udahlah, nggak usah dibahas, itu masa lalu aku, itu cerita yang sedang aku cari epilognya." Kata Roman memotong masih dengan nada yang lembut.
"Maaf, aku kepo terlalu jauh." Kataku.
"Nggak apa-apa, wajar, kamu berhak tahu." Kata Roman.
"Berhak? Aku kan bukan siapa-siapa kamu." Kataku.
"Memang."
"Kalau gitu... Aku berhak nanya lagi dong, gimana perasaan kamu sekarang sama cewek itu?"
"Entahlah, semua semu, nggak ada kejelasan, akupun nggak tahu."
"Kalau ternyata cewek itu masih punya rasa yang sama denganmu, apa kamu akan kembali buat dia?" Kutanya.
"Belum tentu, ada rasa takut di balik sisa harapanku. Kalaupun aku kembali sama dia, nggak sedikitpun ngejamin aku akan bahagia. Lagi pula, aku sangat tahu perasaan dia, dan dia juga bilang kalau waktuku sudah habis, nggak ada ruang lagi untukku agar bisa kembali. Yang ingin kuceritakan di novel itu, aku ingin ada seseorang yang bisa menggantikan mantanku itu, aku ingin lupa, juga membuka hati dan lembaran baru dengan wanita lain. Aku butuh epilog yang menceritakan bahwa aku bahagia dengan wanita baru." Kata Roman.
Aku nggak tahu harus bicara apalagi. Tapi aku tetap berterimakasih pada Roman, karena dia selalu mencoba bersikap jujur. Aku nggak tahu gimana perasaan Roman, tapi aku sangat yakin kalau di tahu bahwa aku cemburu, dan harusnya dia tahu bahwa aku benci cemburu! Tapi aku nggak bisa salahin siapapun, karena wanita yang diceritakan di novel itu sudah hadir di kehidupan Roman sejak tujuh tahun lalu. Siapalah aku yang baru saja kenal Roman. Tapi begitulah perasaan, enggan diatur dan selalu saja sulit dipahami. Saat ini seperti ada perasaan takut, takut bahwa Roman masih berharap pada wanita itu. Dan kalian tahu kenapa aku takut? Karena aku sudah menyayangi Roman! Aku merasa yakin bahwa dia itu peka, dia tahu bahwa aku sedang menanam bibit cemburu, tapi Roman bersikap seolah nggak tahu, mungkin dia nggak tahu harus berbuat apa.
Jalan-jalan kita malam minggu ini hampir menuju akhir, Roman mengantarku pulang. Sejak pembicaraan tadi, aku jadi lebih banyak diam, Romanpun begitu. Ini semua salahku yang terlalu mengagungkan rasa ingin tahu. Setelah Roman pulang, aku mengirim pesan melalui BBM. "Roman, maafin yang tadi ya, aku nggak bermaksud bahas itu." Tak lama, Roman membalas. "Nggak apa-apa, lupain aja. Kamu istirahat ya, makasih udah nemenin jalan." Balas Roman.
Apapun yang terjadi nanti, kuharap takdir berpihak padaku, dan kebahagiaan selalu bersamaku. Aku menyayangimu, Roman, entah sejak kapan, dan entah juga karena apa.

Tentang Seseorang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang