Penyair Bertopeng

1K 64 0
                                    


Di Kampus, aku nggak sengaja melewati sebuah mading, dan disana sudah terpajang berbagai macam pengumuman. Ada selembar kertas kecil yang membuatku tertarik, lembar dimana isinya adalah kutipan kecil yang tertulis seperti ini;
Banyak yang berkata bahwa 'tak ada yang tak mungkin di dunia ini'
Bagiku, banyak yang tidak mungkin di dunia ini.
Berhenti mencintaimu, salah satunya.
Bagiku, sebagai pecinta sastra, kutipan itu terdengar singkat, tapi maknanya benar-benar menyentuh. Di bawah kanan kertas itu tertulis "Roman 632", Aku mengernyit. Setahuku, 632 itu adalah kelas Roman. Tapi, masa sih? Masa Roman yang nulis ini? Ih, lagi-lagi dia bikin aku penasaran! Selalu saja ada hal yang bikin aku penasaran sama dia.
Saat jam kosong, aku pergi ke kantin seorang diri untuk mencari keberadaan Roman tanpa di buat pusing oleh Ria dan Jani.
Tepat! Tepat sekali timing-nya, aku menemukan Roman yang sedang duduk bersama temannya yang kemarin itu juga ada di Cafe. Salah satu dari tiga orang bertatto itu. Aku heran, sebenarnya siapa pria bertatto ini? Bisa seenaknya masuk wilayah kampus. Aku menghampiri mereka.
"Man? Boleh gabung nggak?" Kutanya Roman.
"Tentu." Jawab Roman lalu mempersilakan aku duduk.
"Siapa ini Man? Pacar lo?" Tanya temannya Roman.
"Bukan Bang, kawanku, Nadya." Kata Roman.
"Gue Roby."
"Aku Nadya." Akupun berjabat tangan dengan Roby.
"Man, yaudah deh gitu aja, tar gue cari tenaga tambahan." Kata Roby pada Roman.
"Siap, Bang." Kata Roman.
"Gue pamit ya. Nad, duluan ya." Roby pamit lalu pergi meninggalkan meja yang kini hanya diisi olehku dan Roman.
"Tumben sendiri?" Tanya Roman memecah hening. "Masih belum kenal banyak orang juga?" Lanjutnya.
"Di kelas lagi pada diet massal, nggak ada yang ikut ngantin." Kataku. "Kamu juga, kok sendiri?"
"Tadi berdua sama Roby, sekarang sama kamu."
"Yang tadi itu siapa?" Kutanya.
"Oh... Dia itu preman sini, preman baik, jaga keamanan disini, istrinya juga buka kantin disini. Aku punya urusan bisnis sama dia, aku ambil sebagian anak buahnya buat kerja di project aku." Kata Roman. Suatu hari, aku baru tahu kalau Roman adalah seorang project manager di sebuah perusahaan kontraktor milik pamannnya. Jadi, ternyata selama ini dia kuliah sambil bekerja juga.
"Kamu nggak takut bergaul sama preman kaya gitu?" Kutanya.
"Nggak, sama sekali nggak. Aku sih berkawan dengan siapa aja, golongan apa aja. Selama orang itu baik, dan saling membimbing untuk terus lebih baik, aku sih percaya aja." Kata Roman.
"Maaf ya, jangan tersinggung, aku nggak bermaksud buat nilai teman kamu itu bukan orang baik." Kataku.
"Aku mengerti."
"Oh, iya... Tadi aku lihat mading, ada nama kamu disana."
"Oh, jadi udah lihat?" Tanya Roman.
"Tulisan kamu bagus, kenapa nggak masuk sastra?" Kutanya.
"Harusnya sih gitu, harusnya aku ada di fakultas yang sama dengan kamu." Jawab Roman.
"Terus? Kenapa nggak?"
"Pamanku, Ayahku, mereka nggak kasih aku ijin buat ambil kuliah seni, ataupun sastra, padahal jiwaku disana. Jadi, aku ini diminta untuk masuk manajemen, karena suatu hari aku akan dipercaya sebagai pemegang perusahaan pamanku, karena ketiga anaknya perempuan semua dan mindset nya pun nggak sejalan." Jawab Roman.
"Jadi, kamu masuk manajemen dengan terpaksa?" Kutanya.
"Bisa dibilang gitu, nggak tahu deh sampai kapan aku kuat. Aku bisa di manajemen, cuma bisa, nggak cinta." Kata Roman.
"Kamu sempet lawan keputusan mereka?"
"Iya, tapi nihil, nurut aja sih, buat keluarga juga." Katanya.
"Tapi, meskipun kamu masuk manajemen, kamu masih tetap bisa berkarya di dunia sastra, kan?" Kataku mencoba mendukung.
"Iya, Alhamdulillah, sejauh ini masih bisa." Kata Roman.
Banyak hal baru yang aku tahu tentang Roman, ternyata dia juga pecinta sastra seperti aku, malah dia terlihat lebih cinta, meski akhirnya ia harus lepas cita-citanya hanya karena ego keluarganya. Pantas saja, dari cara ia bicara itu memang terdengar baku, aku yakin itu efek dari keseringan baca buku. Dari tulisan dan ilustrasi yang terpajang di mading itu, aku bisa tahu bahwa Roman benar-benar cinta sastra, dan kupikir dia sudah sangat terlatih tentang sastra. Akupun merasa kalah jauh darinya, karena selama ini aku hanya suka membaca, bukan menulis. Suatu hari, Roman pernah berkata "Cobalah menulis, jangan terus membaca, jadilah sesuatu yang dibaca." Itulah sebabnya aku menulis buku ini. Bukan karena aku ingin memenuhi keinginan Roman, tapi ini adalah caraku berterimakasih karena dia telah mengubah pola pikirku tentang sastra. Aku mulai mencoba menulis.
"Yang sabar ya, Aden." Aku mencoba memberi semangat pada Roman.
"Eh? Kok, manggil Aden? Tahu dari siapa?" Tanya Roman sambil tertawa.
"Haha, ada deh, gosip-gosip tetangga." Kataku. "By the way, kenapa dipanggil Aden sama teman kelas kamu?"
"Entahlah, akupun nggak tahu, itu semacam keinginan mereka saja ingin panggil aku apa, nggak ada alasan." Katanya.
"Kalau aku ikut panggil kamu Aden, boleh?" Kutanya.
"Akan terdengar aneh kalau kamu panggil aku seperti itu, nanti orang mengira kalau kamu itu pembantuku." Kata Roman, lalu dia tertawa lagi.
Aku benar-benar dibuat kagum dengan kepribadiannya Roman. Santai, tapi pembawaannya asyik dan elegan. Banyak sekali kejutan dibalik sifat pendiamnya. Aku dibuat bengong lagi oleh pesonanya.
"Kamu ada pulsa?" Tanya Roman.
"Ada, kenapa?"
"Boleh pinjem? Nanti kuganti pulsanya." Kata Roman.
Akupun memberikan handphoneku setelah kubuka kunci polanya. Roman nggak menggunakan handphoneku untuk menelpon, tapi ia menambahkan kontak bbmku menggunakan barcode. Setelah itu, Roman kembalikan handphoneku.
"Aku mau balik ke kelas." Kata Roman, lalu dia berdiri dan pergi.
Ih! Aku senang sekali. Aku jadi bisa berkabar kapanpun dengannya. Aku dibuat senyum-senyum sendiri, aku nggak bisa sembunyikan rasa bahagiaku. Mungkin sekarang sudah pasti, aku memang "Suka" pada Roman.
Kulihat kontak Roman di BBM-ku, kulihat foto profilnya, lalu aku simpan. Sejak memiliki kontak Roman, aku selalu menyimpan fotonya yang baru saja dia gunakan sebagai foto profil.
Aku pernah BBM Roman jam dua belas malam karena dia baru saja menulis status, dan saat itu aku sedang insomnia.
"PING!!!"
"Lagi ronda di daerah mana?" Aku nggak tahu kenapa Roman chat aku seperti itu.
"Hah? Ronda? Aku nggak lagi ronda." Kubalas.
"Lalu mengapa belum tidur selarut ini?" Tanya Roman.
"Nggak tahu, susah tidur, masih belum ngantuk." Kataku.
"Cukuplah bintang sebagai penerang malam, kamu nggak perlu. Istirahatlah, tidurlah." Balas Roman. Aku merasa dibuat melayang oleh balasan itu, aku pun jadi senyum-senyum sendiri sambil berpikir akan membalas apa.
"Apa itu? Kamu sedang berpuisi? Atau menggombal?" Kubalas. Aku merasa bahwa aku sudah terbawa gaya Roman berbahasa.
"Aku sedang jatuh cinta." Balas Roman.
"Pada siapa?" Kutanya.
"Mana nomor telepon kamu? Aku mau telepon." Aku nggak tahu apa Roman sedang mengalihkan pembicaraan, atau dia akan menjawab pertanyaanku di telepon. Aku langsung memberikan nomor teleponku. Dan nggak lama kemudian, Roman benar-benar menelponku. Seketika jantungku berdegup kencang.
"Halo." Kusapa.
"Kamu tahu beberapa pasangan yang jadi sejarah?" Tanya Roman.
"Maksud kamu, seperti Romeo dan Juliet?" Kutanya.
"Iya, tepat, bisa juga Habibi dan Ainun." Kata Roman.
"Lalu, ada apa dengan mereka?" Kutanya.
"Aku akan tidur, dan semoga di mimpiku malam ini, aku dan kamu akan jadi pasangan bersejarah yang akan di kenang banyak orang."
"Hah? Ngg...."
"Selamat malam, Nadya." Kata Roman, lalu dia menutup teleponnya.
Ah, Roman itu, lagi-lagi dia bikin jantungku dag dig dug nggak karuan. Tadi, dia bilang bahwa dia sedang jatuh cinta, lalu di telepon dia bilang bahwa dia ingin bermimpi berpasangan denganku. Maksudnya apa? Aku belum sempat bertanya maksud dari pembicaraan dia, kenapa dia selalu bikin aku jadi manusia paling penasaran?!
Ah, mungkin dia hanya menggombal, aku sudah tahu dia adalah lelaki yang pandai merangkai kata. Dia itu seperti seorang penyair bertopeng. Dia berseragam manajemen, tapi hatinya untuk sastra.
Tentang pembicaraannya tadi, aku mencoba untuk tidak terlalu terbawa perasaan. Aku belum tahu perasaan dia seperti apa, dan aku juga belum tahu keseriusan dia dalam berbicara sejauh apa. Meskipun aku sudah punya rasa tertarik pada Roman, aku tetap harus bisa mengendalikan diri, agar aku nggak terjebak pada ruang harapan kosong.
Sebelum tidur, dalam hati aku berucap; Selamat tidur, Komentator, Penyair bertopeng, Roman.

Tentang Seseorang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang