Pemeran Utama Wanita

852 50 0
                                    

Aku sudah sembuh total. Bukan karena obat-obat yang diberikan rumah sakit, melainkan karena seseorang yang selalu punya waktu luang untuk menemani dan manjagaku. Siapa lagi kalau bukan Roman?
Akhir-akhir ini, Ibu sering tersenyum meledekku dan menyebut nama Roman. Mungkin Ibu mengira bahwa ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta. Karena dulu, aku nggak pernah memperkenalkan dua mantanku pada Ibu. Dulu, Ibu nggak mengijinkanku berpacaran. Tapi, saat Ibu melihat Roman dengan sejuta kebaikannya, sepertinya aku sudah diijinkan.
"Jadi... sejak kapan kamu pacaran sama Roman?" Tanya Ibu dengan senyum mengejeknya.
"Hah? Apa sih Bu? Aku nggak pacaran sama Roman. Aku kan udah pernah bilang, waktu di Rumah Sakit." Aku mengelak.
"Masa sih Nad? Kok Ibu yakin kalau kalian udah pacaran?"
"Belum Ibuuu...." Kataku.
"Ya terserahlah, kalaupun pacaran ya silakan, tapi jangan macem-macem." Kata Ibu. Aku mengangguk.
Aku memang sering juga dibuat penasaran tentang "Siapa aku di mata Roman?"
Roman selalu ada di ingatanku, hampir setiap waktu. Aku juga nggak pernah kehilangan kabar darinya. Aku tahu, selain dia sibuk kuliah, dia juga sibuk mengurus projectnya, tapi dia selalu sempat memberiku kabar, bersifat nyebelin, dan membuatku tersenyum senang. Roman juga sering menulis puisi untukku. Kalau memang Roman sudah mencintaiku, lalu kenapa dia tidak menembakku? Mengungkap perasaannya padaku, atau setidaknya mengungkapkan kejelasan perasaannya. Aku mulai mengumpulkan niat dan keberanian untuk mencari kejelasan tentang itu.
Minggu pagi, aku mencari Roman, dan katanya dia masih "Mager" di Kostnya. Aku tahu dimana letak Kostnya karena dulu dia pernah menunjukkannya. Akupun segera pergi kesana. Tak lupa kubawakan sarapan untuknya.
Aku sudah sampai di Kostnya dan segera menuju kamarnya yang ternyata tidak di kunci, dan di dalamnya ada Roman yang masih tertidur.
"Bangun, Aden, udah siang." Aku membangunkannya dengan mencubit pipinya.
Roman malah menunjuk pipinya dengan telunjuk, tapi matanya masih terpejam. Tapi, sepertinya dia tahu bahwa yang datang adalah aku.
"Ih, apaan sih? Bangun cepeettt...." Kataku. Tapi, Roman menunjuk pipinya lagi.
Roman itu, memang terkadang nyebelin, selalu memaksaku untuk ikut ke permainannya. Aku pun mencium pipinya dengan sangat lembut. Setelah itu, dia memintaku untuk mencium pipi satunya lagi. Ah, dia itu, selalu nggak merasa puas.
Akhirnya dia membuka mata, lalu tersenyum padaku.
"Rajin banget pagi-pagi udah kesini, jangan ngajak jogging ya." Kata Roman.
"Nggak kok." Kujawab.
"Terus ada apa? Kangen?" Tanya Roman. Aku sempat terdiam, lalu mengangguk disertai senyum manja. "Aku mandi dulu." Lanjut Roman langsung beranjak dari tempat tidurnya.
Saat Roman mandi, aku membereskan tempat tidurnya. Lalu kulihat handphonenya tergeletak di atas meja kerjanya.
Kuambil handphone itu, tapi terkunci. Aku pernah mencuri pandang saat Roman membuka kunci handphonenya itu. Aku masih ingat kodenya, angka "8510". Saat kucoba, berhasil terbuka. Di detik itu juga, aku menyadari sesuatu tentang kode angka itu. Itu seperti tanggal. Mungkin, 8 Mei 2010. Aku ingat, bahwa itu adalah tanggal hari jadimya Roman dengan wanita yang diceritakannya di novel itu.
Aku sangat penasaran pada wanita itu, aku mencoba untuk membuka BBM-nya, karena mungkin saja Roman masih berhubungan dengan wanita itu.
Di kolom chat bbmnya, hanya ada dua wanita, sebagiannya lelaki. Dua wanita itu adalah aku, dan entah siapa. Kubuka chat dari wanita itu yang bernama "Mira". Aku baca seluruh chatnya. Dari chat itu, Roman dan Mira cukup dekat. Tapi aku merasa nggak ada tanda kecocokan dengan wanita di novel itu. Kurasa, Mira bukanlah orangnya.
Setelah itu, aku membuka galeri. Di folder yang dinamai "Hujan", aku menemukan banyak foto wanita. Dia cantik, sebagian berjilbab, sebagian lagi tidak. Ada sebagian foto yang membuatku tahu bahwa dia itu adalah perawat. Dan entah kenapa aku sangat yakin bahwa wanita ini adalah yang diceritakan Roman di novelnya. Jantung dan perasaanku kembali berdebar tak menentu. Aku langsung mengirim beberapa foto itu ke handphoneku.
Sekembalinya Roman dari kamar mandi, dia melihatku sedang memegang handphonenya. Tapi, dia tidak panik, tidak bereaksi apapun seperti lelaki pada umumnya yang merasa takut jika handphonenya dipegang oleh wanita. Roman hanya menatapku sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Siapa Mira?" Kutanya tanpa menatap wajahnya.
"Kawan, orang Bogor." Jawab Roman santai.
"Kalau ini?" Kutanya lagi dengan menunjukkan foto wanita dari galerinya tadi.
"Oh, itu, yang kusebut Dilla di novelku." Jawab Roman masih sangat santai. Aku bingung harus berkata apa, disisi lain hatiku terasa ditusuk oleh nada bicara Roman yang begitu dingin.
Nggak terasa, aku meneteskan air mataku sambil terus melihat foto itu. Roman menghampiriku. Mengangkat wajahku yang tertunduk, lalu kita saling tatap.
"Kamu masih sayang dia?" Kutanya.
"Aku nggak bisa bilang iya, tapi aku juga nggak bisa bilang nggak." Jawab Roman.
"Kamu tahu? Gimana perasaan aku ke kamu?" Kutanya lagi dengan nada yang terdengar menahan tangis.
"Aku tahu, Nad..."
"Lalu kenapa kamu bersikap manis sama aku, tapi kamu nggak ada sedikitpun niat buat ngelepas mantan kamu ini?!" Aku mulai memakai nada kesal.
"Gini, Nad..." Roman mencoba menjelaskan.
"Kenapa?!" Aku terus memotong pembicaraan Roman. Tangisku hampir meledak, kucoba pukul Roman dengan segala kekuatanku. Dia mencoba menangkap tanganku, dan nggak perlu waktu lama dia sudah berhasil, lalu dia memelukku.
Aku menangis tersedu dalam pelukan Roman, dia mengelus kepalaku, mencoba menenangkanku.
Aku merasa begitu sakit hati. Entah apa maksud Roman dengan ribuan tindakannya yang membuatku jatuh hati, tapi perasaannya masih untuk wanita lain! Mengingat tentang wanita itu saja aku sudah cemburu, dan kini aku telah melihat wajah itu! Aku benci cemburu! Roman memang belum pernah berkata bahwa dia sayang padaku, kukira semua yang sudah dia lakukan untukku benar-benar menunjukkan bahwa dia sayang padaku, tapi kenapa mulutnya berkata lain?! Kalau Roman masih begitu sayang pada wanita itu, kenapa dia tidak pergi menjauh dariku sejak dulu? Kenapa dia malah membuatku semakin jatuh hati?! Tuhan... aku benar-benar dibuat hancur.
"Udah siap denger penjelasan aku?" Tanya Roman. Aku hanya diam, dan tangisanku kini sudah nggak bersuara. Roman melepas pelukannya.
"Bayangkan kalau aku itu punya penyakit. Penyakitnya disini, dan disini." Kata Roman menunjuk kepala dan hatinya. "Ada masalah sama ingatan dan perasaan aku yang terus nunjuk mantan aku itu. Kamu tahu apa yang diperlukan buat sembuhin penyakit? Obat." Roman menjawab pertanyaannya sendiri.
"Jadi yang selama ini kita lakuin, yang selama ini aku perjuangin, nggak sedikitpun bikin kamu lupa sama wanita itu?" Kutanya dengan kesal.
"Kamu...."
"Aku gagal? Aku yang udah berjuang semampunya kamu bilang gagal?" Aku memotong Roman lagi.
"Aku nggak bilang kamu gagal, tapi belum berhasil! Kamu nggak berjuang sendiri, akupun sama! Aku juga ingin lupa sama wanita itu! Aku senang dengan adanya kamu di hidup aku, perjuangan aku buat lupain dia jadi lebih mudah! Tapi aku juga nggak bisa bilang kalau aku sudah berhasil! Aku masih terus berjuang sampai aku benar-benar lupa!" Kata Roman.
Aku merasa nggak tahan lagi, aku bangkit lalu keluar dari kamar Roman menuju mobilku untuk pulang. Roman coba mengejar.
"Nadya! kalau kamu bener-bener sayang sama aku, kamu akan tetep disini bantu bikin aku lupa sama mantanku itu! Kalau kamu pergi, berarti kamu nggak pernah tulus!" Kata Roman berteriak. Aku sempat menghentikan langkahku, tapi saat ini aku nggak sanggup menahan pedih yang kudapat dari dia hari ini.
Saat aku sudah di perjalanan pulang, aku melihat Roman berada di belakangku bersama motornya. Tapi dia tidak mengejarku, dia hanya mengatur kecepatan agar tetap di belakangku. Tapi aku tidak mempedulikannya.
Saat aku sampai di rumah, Roman pergi lagi entah kemana. Entah apa maksudnya, mungkin dia ingin memastikan aku benar-benar pulang. Tapi sumpah, untuk saat ini aku tak sedikitpun tersentuh dengan yang dilakukannya.
Aku masuk ke kamar. Aku bersyukur karena Ibu dan Ayah tak ada di rumah, aku tak mau mereka melihatku menangis. Di kamar, kubenamkan wajahku di bantal agar suara tangisku meredam.
Aku nggak tahu harus bagaimana, aku nggak tahu harus cerita ke siapa, dan aku juga nggak tahu kenapa aku harus jatuh hati sama si Roman itu!
Di tengah rasa pedihku ini, aku teringat ucapan Roman. Kalau aku bener-bener sayang sama dia, harusnya aku bantu bikin dia lupa sama mantannya itu. Kalau aku jauhin dia, berarti aku nggak pernah tulus. Tapi, entahlah, langkahku terhenti disini, entah sementara entah seterusnya. Saat ini, aku benar-benar tak tahu harus melakukan apa.
Ada perdebatan di dalam diriku, ada yang meminta untuk tidak meninggalkan Roman, tapi ada juga yang meminta untuk meninggalkannya, menjauhinya, melupakannya.
Sisi baik di diriku berkata bahwa Roman selalu mencoba jujur, bahkan dia nggak keberatan menceritakan wanita itu meskipun dia tahu bahwa itu akan membuatku sakit hati dan bisa saja pergi dari hidupnya. Roman juga mencoba jujur, bahwa dia butuh seseorang yang bisa membuatnya bisa lupa pada mantannya itu. Roman itu butuh aku, harusnya aku tidak pergi. Harusnya aku memikirkan cara untuk mempertajam perjuanganku agar bisa membuat Roman sayang padaku dan akhirnya lupa pada mantannya itu. Roman sudah berbuat banyak untukku, tapi dia tak menuntut balasan apapun, bahkan dia tidak memaksaku untuk tidak pergi. Sedangkan aku, dibalik perjuanganku, masih saja menuntut balasan. Aku tak pantas berkata bahwa perasaanku ini tulus.
Sisi lain di diriku berkata bahwa Roman hanyalah menjadikanku pelarian, hiburan, pelampiasan. Karena jika memang Roman sayang padaku, dia akan menghapus semua tentang mantannya itu. Mulai dari hal kecil saja, seperti foto di handphonenya itu, harusnya sudah dia buang dan dia gantikan dengan fotoku. Kalau Roman sayang padaku, dia pasti bilang. Sepertinya Roman hanya main-main, dia hanya butuh pengisi kekosongan disaat dia nggak bisa kembali pada mantannya itu. Ya, mungkin memang benar, bahwa aku hanyalah pelampiasan.
Aku nggak tahu harus mengikuti yang mana, aku nggak tahu harus menuruti sisi baikku, atau lawannya. Yang pasti, saat ini, aku butuh tenang, dan sendiri. Aku merasa bahwa aku masih menjadi figuran di cerita hidupnya Roman. Pemeran utamanya, masih Dilla.

Tentang Seseorang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang