|14| F L A S H B A C K

128 14 6
                                    

8 tahun yang lalu, Jakarta.

Lian berjalan berkeliling, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang melewati mejanya dalam diam. Dia tak menanti siapapun. Tak juga dengan Dimas yang kerap kali mematikan ponselnya dan selalu beralasan sibuk saat memintanya untuk menemani. Meski mendapat libur pendek sehari di tengah kesibukannya kuliah, nyatanya liburan seperti ini terasa kosong tanpa seorang pun menemani. Kalau sudah begini, apa manfaatnya? Rasanya dia ingin kembali disibukkan oleh tugas-tugas kuliah dan UAS dibanding duduk sendirian, mengamati manusia-manusia yang asyik dengan dunianya.

Dia benci merasa sendiri di tengah keramaian.

Lian merogoh tote bag dan menemukan benda pipih berlayar kecil dari sana. Senyumnya merekah saat nada sambung kini berganti dengan sapaan.

"Assalamualaikum, Halo?"

"Waalaikumsalam. Dimas, kamu ada waktu hari ini."

"Eh ... kenapa?"

"Aku sendirian, nih. Mau menemani?"

"Sorry, Li. Aku tidak bisa."

Lian menggenggam erat ponsel ditangannya. Ekspresinya berubah panik. No! Dia tidak ingin mendapat penolakan! Setidaknya untuk sekali ini saja.

"Please, i need you. Aku benar-benar membutuhkan teman curhat. Semua akan meledak kalau ku tahan terlalu lama, Dimas!!" dengan suara memelas, dia kembali memohon. Bahkan, kakinya menghentak-hentak lantai frustrasi.

Ini serius. Dia memang benar-benar membutuhkan seseorang untuk sekedar mendengar keluh kesahnya. Masalah datang bertubi-tubi menimpanya hanya dalam kurun waktu tiga hari ini. Rasanya mau gila bila dipendam seorang diri.

Lian kembali diam. Menggigiti bibir bawah saat terdengar hening panjang diantara mereka. Baru setelah beberapa saat, Dimas kembali mengatakan, "Maaf, Li. Aku pusing sekali. Tubuhku lemas. Flu mungkin."

"Eh? Kamu sakit? Di rumah sendirian?"

"Mhmmm, iya."

"Apa aku perlu ke rumahmu antar obat?"

"Eh, jangan. Jangan. Ada Si Mbok kok," tolaknya cepat. Sempat Lian mengerutkan keningnya, namun kembali tenang begitu Dimas kembali berkata, "aku takut kamu tertular."

Menghela napas berat, Lian mengangguk samar. Menelan kekecewaan. Padahal ini waktu yang sudah dinantikannya. Dia butuh teman hanya untuk sekedar mencurahkan semua keruwetan di dalam kepala. Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang membuatnya risau. Mulai dari persoalan uang kuliah yang nunggak hingga dirinya terancam cuti, sampai masalah panti-- tempat tinggalnya dulu akan ditutup karena kurang donasi. Lagi-lagi karena uang! Lantas bagaimana nasib semua teman-teman dan keluarganya disana?

Karma. Kalau dulu dia yang sering sekali tak acuh pada Dimas, sekarang ia menyesal disaat dirinya membutuhkan teman, pria itu tak bisa datang. Apalagi sejak seminggu yang lalu dia sulit sekali ditemui. Alasannya macam-macam. Sibuk lah, apalah padahal dia tahu pria itu tengah semangat-semangatnya mendekati Paris. Lian pura-pura saja tak tahu. Toh dia bukan siapa-siapa meski merasa agak jengkel. Bagaimanapun juga Dimas memiliki kehidupan sendiri yang tidak mungkin setiap menit dan detik berada di sisinya. Sadar untuk kesekian kalinya, Lian tahu posisinya lama-lama tersingkir oleh Paris.

"Oke. Istirahat ya." katanya kembali mengingatkan.

"Hmm."

"Benar nih aku tidak perlu ke rumah?"

"Tidak usah. Maaf, ya, Li!

Belum sempat Lian bicara kembali, sambungan telepon sudah lebih dulu terputus.

[1st #TT] - The Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang