|16| B E R S I N G G U N G A N

117 16 8
                                    

B E R S I N G G U N G A N
♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧

Jakarta, 8 tahun lalu.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...

"Argh!!" Pria itu hampir saja membanting ponselnya kalau tidak sadar bahwa dirinya masih berdiri tepat di depan kos Lian.

Dia meringis. Mengangguk canggung, menyapa orang-orang yang melewati pekarangan dan masuk kedalam sambil memandanginya skeptis. Ini memang kos-kosan wanita, pantaslah seorang Dimas menjadi objek perhatian saat dirinya terus berdiri di depan pintu tapi tidak bertemu dengan siapapun. Lebih tepatnya tidak bisa bertemu.

Kini, dirapatkan jaketnya sambil terus melirik arloji, sementara sebuah kantong plastik masih tergenggam erat di salah satu tangannya. Tampak sekali sosok itu telah menyiapkan semuanya, bahkan beberapa coklat dan kue untuk di makan bersama Lian guna merayakan kepindahannya besok ke Amerika, juga sebagai tanda perpisahan.

Tapi semua usahanya mungkin sia-sia karena kesalahannya tempo hari yang lalu. Dia tidak menyangka kebohongannya bisa berdampak besar pada Lian hingga gadis itu menjadi semarah ini dan sampai menghindar hingga berhari-hari lamanya. Meski dia sadar, sekecil apapun sebuah dusta, memang tak dapat dibenarkan.

Drett...

Sempat matanya berbinar begitu terdengar getar dari ponselnya. Namun, napasnya terembus panjang, seolah putus asa. Bukan Lian yang balik meneleponnya, tapi orang lain.

"Halo? Paris?"

"Dimas, kamu sedang apa?" Terdengar suara di seberang sana. Lumayan lirih hingga membuat Dimas menajamkan indra pendengarannya.

"Sedang ... beres-beres untuk besok." Oke, dia bohong. Tidak mungkin, kan mengatakan bahwa dirinya sedang menemui Lian?

"Yah, kenapa sih berangkatnya harus malam tahun baru begini ... aku padahal ingin merayakan denganmu...."

"Sorry, ya, Ris. Aku masih ribet sekali."

"It's ok." ucapnya lirih. Terdengar sekali dia kecewa.

Hening untuk sesaat. Sebenarnya tidak ingin melanjutkan lagi, hanya saja Dimas merasa ada sesuatu yang ingin dikatakan Paris.

"Dim,"

"Ya?"

"Yakin kita sanggup LDR nantinya?"

Pria itu hanya tersenyum simpul. "Mau bagaimana lagi, Ris? Ayahku ingin aku tinggal di sana. Dan aku tidak dapat menentangnya."

"Tapi, Dim...."

"Tenang saja, Paris. Kirim email kan bisa."

"Setiap hari?"

"Setiap jam kalau perlu."

Terdengar suara tawa renyah dari Paris. Dimas lega. Rasanya merasa bersalah sekali membiarkan kekasih barunya cemas dan panik sendiri. Dia mengerti kalau sebagian besar pasangan akan menjadi paranoid jika dihadapkan pada hubungan semacam ini. Long distance relationship, tentu tidak mudah jika saling merindu. Tapi yang penting bukankah kepercayaan yang penting.

Yah, meski diakui dirinya dapat menggenggam penuh kepercayaan yang Paris serahkan padanya. Seperti saat ini saja dia sudah banyak berbohong.

"Aku sudah yakin, Dim. Jangan kecewakan aku, ya?"

Dimas hanya diam, tak menjawab. Dengan cepat dirinya memanuver, berbelok dengan membahas yang lain. Kurang lebih tiga menit setelahnya telepon ditutup, dan Dimas masih tetap pada posisinya.

[1st #TT] - The Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang