|24| K E N A N G A N

125 16 2
                                    

K E N A N G A N
♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧

Harum roti panggang menguar, terus menggelitik hidung dan terus mengusik tidur nyenyaknya. Bahkan tak hanya bau harum roti panggang yang tercium, aroma khas nasi goreng pun kini bergantian memenuhi indra pembauan tajamnya. Hmm, sangat kuat dan penuh bumbu, khas masakan Indonesia kebanyakan. Menciumnya, seolah dirinya dibawa terbang ke negeri yang telah lama dirindukannya itu. Ia tiba-tiba saja ingat saat ibu pantinya menghidangkan nasi goreng telur ayamnya yang spesial. Tapi...apakah dia bermimpi sekarang? Mungkin karena terlalu kangen dan ingin pulang ke Indonesia dia jadi bermimpi dan berfantasi. Namun, sesungguhnya ia juga menikmatinya. Harum itu semakin dekat dan semakin jelas berikut dengan langkah kaki seseorang.

"Lian,"

Suara seorang pria membangunkannya. Perlahan ia membuka mata dan menemukan sosok Ivan yang telah berdiri dengan nampan berisi nasi goreng dan susu putih. Ia tersenyum, membuat gadis itu membalas senyumannya.

Aliana bangkit dan memposisikan tubuh bersandar pada tumpukan bantal. Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi sejak sebulan ia menikah dengan Ivan. Rutinitas yang terus berulang yang tak mampu ia ubah. Selalu saja pria itu keukeuh untuk memasak sesuatu setiap pagi dan malam. Sementara di waktu makan siang, giliran Lian yang memasak karena Ivan bekerja. Merasa tak enak? Pasti! Padahal seharusnya dia yang menyiapkan seluruh kebutuhan Ivan, kenapa sekarang malah terbalik? Alasannya saat Lian memintanya berhenti pun selalu sama. Jangan kecapaian, kamu kan sudah bekerja keras di toko...

"Hari ini nasi goreng." Ivan duduk di tepi ranjang, meletakkan nampan di pangkuan Lian. "Kutambahkan sosis dan ayam seperti kesukaanmu."

Gadis itu tersenyum lebar. Setelah berdoa, ia segera melahap hidangan di depannya dengan lahap.

"Enak," katanya dengan wajah sumringah. "Aku jadi kangen dengan ibu panti dan anak-anak. Sudah lama aku tidak pergi berkunjung."

Satu lagi kemajuan pesat pada ingatannya. Kini, Lian telah sepenuhnya mengingat masa lalunya. Dia tak pernah marah pada Ivan yang mencoba menutupi apapun tentang Dimas dulu. Ia yakin, semua itu demi dirinya. Ivan tidak ingin melihatnya sedih dan kepikiran.

Dan soal Dimas... Lian memutuskan untuk berdamai dan menerima keadaan. Tak lagi terpikir olehnya perihal sosok yang dulu sangat dicintainya. Biarlah ia bahagia dengan kehidupan barunya dimana pria itu telah memiliki istri dan seorang putra yang lucu. Perasaan yang dulu seolah menggebu, perlahan terkikis dengan sendirinya. Itu membuatnya amat berterima kasih pada waktu.

"Mau roti panggang sekalian?" tawar Ivan seraya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya.

Lian menggeleng, "Nggak," tolaknya.

"Aku sedang belajar merajut."

"Dengan Ny. Hudson?"

Gadis itu mengangguk. "Yap!"

Ivan tertawa. "Semoga dia selalu sabar mengajarimu. Kamu kan susah sekali diajak fokus." kelakarnya mengundang decakan Lian.

"Masalah konsentrasi, aku pakarnya tahu! Lupa, ya sudah berapa lukisan yang telah kubuat?"

Pria itu tak berniat menghentikan tawanya. Bahkan melihat wajah cemberut Lian saja sudah lucu hingga membuatnya terpingkal. Merasa kesal, wanita itu memukul lengannya pelan.

"Ish!"

"Hahaha... maaf," katanya mengintrupsi. Saat tawanya berhenti, ia kembali mengatakan, "hari ini tidak sibuk, kan?"

"Tidak."

"Jangan lupa check-up dan terapi, ya?"

Lian yang saat itu sedang serius mengunyah makanan, hanya mengangguk sambil memberi gestur 'ok'. Oke. Tidak apa-apa. Ini sudah kali keempat ia keluar masuk rumah sakit untuk konsultasi dan terapi. Sudah biasa. Bukankah sejak awal dia berusaha untuk menerima semua takdir yang diberikan?

[1st #TT] - The Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang