|26| H U K U M A N

115 14 2
                                    

H U K U M A N
♧ ♧ ♧ ♧ ♧ ♧

Dua bulan terlewat begitu saja. Dan apa kalian tahu, satu bulan lalu Lian akhirnya keluar dari rumah sakit. Kondisinya dikatakan membaik meski harus selalu di temani dengan kursi roda dan rutin dengan yang namanya terapi. Seperti sekarang ini. Dengan usaha keras, Lian mencoba menapaki langkah demi langkah dengan berpegangan pada dua besi sepanjang tiga meter.

Langkah pertama, tak begitu menyulitkan.

Langkah kedua, dia masih bisa.

Langkah ketiga, cukup mampu meski harus sekuat tenanga

Dan pada langkah keempat, ia tak sanggup lagi bertahan. Ia pasrah saat tubuhnya menyentuh ubin dan tubuhnya tak mau merespon otaknya lagi. Terlalu lelah. Yang dapat dilakukannya hanya memandang nanar kearah kedua kaki kurus yang kini terbujur lemah di lantai.

"Mrs. Lian," Panggilan itu mengejutkannya. Dia mendongak, menatap dokter wanita yang bicara padanya. Mrs. Sienne, panggilannya.

"Anda bisa istirahat dulu kalau sudah lelah," tangannya terulur, "mari saya bantu berdi...."

Belum sampai ia menyentuh tubuh Lian, Lian lebih dulu menepis tangannya.

"Saya ingin mencoba sendiri."

"Tapi anda..."

"Saya bilang, pergi!"

Senyumnya terulum tipis. Senyuman yang terkesan kaku dan terlalu dipaksakan. Alih-alih meninggalan Lian, dia tetap berdiri seraya memantau wanita yang kini masih berusaha keras menggapai besi dan mencoba berdiri meski beberapa kali gagal. Mencoba sabar, tangannya tergenggam erat tak mampu lagi melihat pasiennya yang seperti sudah diambang keputus-asaan. Dia tahu wanita itu lelah hingga terlampau keras memaksakan diri sebagai bentuk penyaluran amarah pada dirinya sendiri.

Di pihak lain, Lian masih berkutat dengan sikap keras kepala. Perasaan jengkel, kesal, muak bercampur jadi satu, bentuk protes pada segala ketidakberdayaannya.  Sisa tenaganya lenyap, napasnya tidak teratur saking kerasnya ia berusaha. Mencoba lagi, namun gagal lagi. Begitupun seterusnya hingga dirinya benar-benar menyerah sekarang.

Ia berdecak kesal. Ingin berdiri saja, tak mampu melakukan. Sudah capek duluan. Cih! Mereka pembual. Apanya yang jadi lebih baik? Nyatanya kondisinya tetap sama. Sama artinya tidak ada yang berubah!

"Lian," Ivan berlari menghampiri, "sudah jangan dipaksakan," Katanya seraya membantu Lian berdiri. Namun begitu, tetap saja mendapat penolakan.

"Aku ingin mencobanya sekali lagi! Aku yakin tadi sudah mau bisa!!"

Gagal lagi, gagal lagi. Merasa terapi kali ini sia-sia saja.

Tanpa menunggu kembali, Ivan langsung meraih tubuh Lian, membopongnya dan mendudukkannya kembali ke kursi roda.

"Sudah, jangan dipaksa. Kamu bisa pingsan nanti." peringatnya kemudian menoleh kearah si dokter, "thank you, Dr. Sienne."

Dokter muda itu tersenyum dan mengangguk membalas ucapannya.

Keduanya beranjak pergi. Berada di ruangan besar serba putih namun kosong itu, benar-benar tidak baik untuk psikis seseorang. Apalagi Lian. Kini ia merasakan betul arti kekosongan itu. Saat keinginannya harus terkubur dalam-dalam dan berpura-pura tak peduli dengan itu semua.

"Kita mau kemana?"

Ivan menunduk begitu mendengar pertanyaan Lian.

Dia menjawab, "Kamu jalan-jalan dengan Ms. Hudson dulu, ya?"

***

Maka, saat itu juga Lian yang ditemani Ms. Hudson pergi dengan menaiki taxi menuju Tower Bridge, Jembatan yang menjadi salah satu Landmark kota London. Dan benar kata orang-orang. Jembatan ini memang menakjubkan dengan pemandangan sungai Thames di sekelilingnya. Seperti nostalgia. Sepertinya dulu dia pernah merasakan suasana nyaman seperti ini.

[1st #TT] - The Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang