|25| G O Y A H

123 14 0
                                    

G O Y A H
♧ ♧ ♧ ♧ ♧

Gemerlap lampu kerlap-kerlip, sinar bulan yang terang menghiasi malam, juga bintang yang tertabur di angkasa, pesona malam yang indah seolah tak menenangkannya. Tepat disana, di balik jendela sebuah apartemen mewah yang bisa untuk melihat menara jam Big Ben, Dimas terdiam mengamati semuanya. Pikirannya melayang, jauh pada kejadian siang tadi saat dirinya tak sengaja bertemu dengan sosok yang amat dikenalnya. Ternyata benar, sudah lama sejak mereka terakhir bertemu tiba-tiba wanita itu muncul dengan kabar yang mengejutkan. Dia telah menikah dengan Ivan.

Dia meruntuk. Kenapa selalu seperti ini!? Sial, sungguh sial! Lagi-lagi perasaannya berkecamuk melihat wanita itu kembali. Ia melupakan semuanya, tak terkecuali dirinya sekaligus seluruh kenangan mereka selama 15 tahun ini. Mungkin dirinya bisa bersyukur. Itu artinya, Lian tak lagi mengingat kenangan-kenangan mentakitkan karena dirinya. Jujur dia lega saat Lian bisa mendapat kebahagiaannya sendiri.

Tentu saja bersama Ivan.

Hahaha ... kenapa menyebut namanya saja terasa menyakitkan?

"Mas, makan malam sudah kusiapkan."

Dimas menoleh,memandang sekilas Nahda yang sudah berdiri di ambang pintu.

Sambil melangkah dan melepas jam tangan, dia berkata, "Aku mandi dulu. Kamu duluan saja sama Angkasa."

"Angkasa sudah tidur," sahutnya pendek. Ditatapnya lekat Dimas yang sibuk memilah baju tanpa menoleh padanya sedikitpun. Diusapnya kedua lengan menyalurkan kehangatan. Tubuhnya merinding. Setahun lebih menikah, nyatanya kekakuan Dimas sama sekali tidak berubah. Mereka tampak seperti keluarga normal di depan orang-orang. Bermain, bercanda dengan Angkasa dengan senyuman. Namun, jika hanya berdua seperti ini, salahkan Nahda menganggap ada yang ganjil di dalam hubungan mereka? Sesuatu yang cacat. Tak sempurna.

"Kita sudah menikah, Mas," sahut Nahda lirih.

Seketika Dimas menghentikan gerakannya. Hening melingkupi keduanya selama beberapa saat. Dimas kemudian membalikkan badan seraya menatap heran pada sang istri. Kedua alisnya bertaut, membentuk kerutan dalam pada dahi.

"Apa maksudnya?"

Nahda menghirup dalam-dalam napasnya lantas mengembuskannya perlahan.

Dia menggeleng, menampakkan wajah datar. Sedatar triplek. "Tidak apa-apa. Cepatlah mandi," katanya cepat.

Namun, belum selangkah Nahda melangkah, Dimas segera menghampiri dan menarik tangannya.

"Kamu bilang apa?"

"Cepat man...."

"Sebelum itu!"

"..."

Hening, tak ada jawaban.

"Da, kamu masih ragu?"

Ditepisnya tangan Dimas keras, lepas dari genggamannya. Dia kembali mendongak, menatap Dimas lekat-lekat hendak mencari kepastian melalui dua mata pria itu. Mata yang selalu dikaguminya, mata yang membuatnya terpaku, terdiam lama dan berdebar kala menatapnya, juga mata yang misterius bak lautan samudra yang tak mampu ia selami.

Kembali ia tertunduk."Benar," ujarnya mengangguk seraya mengusap sesuatu di wajahnya. Mungkinkah air mata?

"Untuk kesekian kalinya aku ragu, Mas. Selama ini aku mencoba berpikiran positif, tapi tampaknya itu hanya akan menjadi ilusi saja. Kamu tidak benar-benar melihatku, Mas... Kamu menipuku!!"

"Da," Dimas kembali maju, mencoba meraih tangan Nahda lagi, namun dengan cepat, ia menepisnya lagi dan lagi.

"Stop. Biarkan aku bicara, Mas! Semua ini memuakkan, kita seperti berada dalam drama murahan! Aku tidak sanggup lagi bersandiwara!! Selama ini senyummu palsu! hubungan ini palsu! Semua palsu! Namun, saat kamu melihatnya tadi... Jadi terlihat semakin jelas... aku merasa..."

[1st #TT] - The Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang