Chapter 8. Surat dari Bachalania

4.6K 726 263
                                    

"Sehun...," Irene terharu diperlakukan dengan begitu manis dan ia merasa luar biasa bahagia hingga rasa rasanya tak rela jika tautan jemarinya dengan Sehun terlepas dengan singkat.

"Bagiku, berkomunikasi tidak harus selalu dilakukan dengan kata-kata atau pun ucapan, melainkan juga dapat melalui sebuah sentuhan," Sehun menunduk membiarkan gadis yang ada di hadapannya mendengar tentang kekecewaan  hatinya selama ini. "Dan aku melewatkan begitu banyak waktu tanpa menyentuh siapapun karena kutukan dalam tubuhku. Aku kecewa, aku bersedih, aku menangis. Bagaimana tidak, sentuhan merupakan bahasa pertama yang manusia semua pelajari saat kita baru dilahirkan, saat dimana kita belum mengerti apa itu  bahagia dan belum mengenal apa itu dunia, lalu aku kehilangannya."

Irene menatap wajah Sehun dengan nanar, ia mengerti betul bagaimana sengsaranya lelaki itu melewati hari harinya.

"Sejak kapan kau menyadari bahwa kau bisa menyentuhku?" Irene bertanya, raut wajahnya kentara sekali jika ia sangat penasaran.

"Sejak semalam," jawab Sehun pendek, ia tidak mau repot-repot  menjelaskan secara detail kejadian itu saat awal Baekhyun membicarakan tangannya hingga sampai dirinya menyadari bahwa hanya Irene satu satunya orang yang bertahan tanpa sedikitpun terluka.

Irene mengingat ingat kembali tapi kemudian ia mengabaikannya karena yang jelas saat itu kondisinya tak begitu baik dan ia lebih memilih untuk mengemukakan kecanggungannya.

"Aku tidak tahu apa yang membuatmu bisa menyentuhku, tapi jujur saja jika kau terus memegang tanganku seperti ini, aku merasa aneh~ maksudku ada sesuatu yanh sepertinya ingin meledak hebat di dalam sini," Irene menunjuk dadanya.

Perlahan Sehun melepaskan genggamannya dan tersenyum merasa bodoh. Ayolah, mereka bukan sepasang kekasih jadi untuk alasan apa mereka sedekat itu? Dan kenapa pula Irene selalu mengucapkan kalimat dengan gamblang seolah olah ia sedikitpun tidak memiliki urat syaraf malu.

"Apa kau tak ada kelas lagi hari ini?" Sehun bertanya untuk menepis rasa malu yang tiba tiba mendera hatinya. Ia berjalan keluar dari deretan rak buku dan mengambil duduk untuk mengenakan pelindung tangannya kembali.

"Aku sudah bebas," jawab Irene seraya mengikuti pergerakan Sehun, gadis itu juga menarik kursi yang ada di samping lelaki itu dan duduk. "Biar kubantu."

Dengan telaten Irene melilitkan kain hitam ke telapak tangan Sehun, sedikit lebih lambat dari yang biasa Sehun lakukan tapi sepertinya itu tak jadi masalah. Sehun terus memperhatikan bagaimana Irene yang  jadi salah tingkah karena ia terus menatapnya tanpa jeda.

Kecantikan yang dimiliki Irene memang alami, garis dan lekuk wajahnya begitu sempurna dan juga dua bola mata besar yang selalu berbinar itu semakin menambah kesan menarik bagi siapa saja yang melihatnya, termasuk Sehun. Ia memang mengakui itu sejak pertama kali melihat Irene. Tapi cantik saja tidaklah cukup, banyak sisi sisi lain yang harus orang ketahui untuk bisa jatuh cinta dan mungkin Sehun belum menemukan itu di diri Irene atau memang ia sedang berusaha mencarinya. Seperti yang pernah Irene katakan, tidak harus ada alasan untuk bisa mencintai seseorang. Suka ya suka, cinta ya cinta dan itu tidak bisa dipaksakan.

"Apa di keluargamu kau anak tunggal?" Sehun bertanya begitu karena ia melihat Irene seperti gadis manja yang banyak bertingkah.

"Seharusnya begitu," jawaban Irene membingungkan Sehun.

"Seharusnya?"

"Appaku seorang dokter dan ia meninggal ketika umurku 10 tahun, lalu Eomma menikah lagi dan memberiku adik laki laki yang kini berusia 5 tahun. Setengah tahun yang lalu suami keduanya juga meninggal. Banyak kesedihan di hidupku, aku dan Eomma yang sering bertengkar kemudian kehadiran adik kecil yang tidak pernah aku sukai...," Irene melempar senyuman tipis sekilas, wajah murungnya ketika bercerita seketika berubah ceria. "Aku tidak suka melihat orang lain melihatku bersedih dan kau bukan satu-satunya orang yang menganggapku bodoh. Beginilah caraku menikmati hidup meski sebagian dari mereka menyebutku gadis tidak tahu malu, aku sama sekali tak pernah mempermasalahkannya."

Higher Ground (Untouchable Man)/ HUNRENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang