Who?

6K 224 3
                                    

Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong.

**

Aku menatap jam berwarna biru laut di pergelangan tanganku. Jam menunjukkan pukul 06.40. Aku bergumam resah. Percuma, tidak ada gunanya aku mengeluh. Mengeluh tidak akan membuat mobil yang dikendarai oleh supirku ini dapat melaju lebih cepat. Jalanan macet. Ditambah lagi dengan hujan lebat, semakin memperburuk keadaan pagi ini--bagiku. Untung saja ini hari Jumat, bukan hari Senin. Setidaknya tidak ada upacara yang mengharuskan murid-murid datang minimal 10 menit sebelum pukul 7.

"Cepat sedikit lah, Pak!" seruku pelan.

Pak Supir hanya diam saja. Ekspresi wajahnya kesal saat melihat wajahku lewat kaca. Namanya juga macet, batin Pak Supir.

15 menit kemudian, tinggal 100 meter untuk mencapai gerbang sekolahku, SMA Taruna Bangsa. Handphone-ku bergetar. Aku menatap layar handphoneku, sebuah pesan dari sahabatku, Kayla. Aku tak sempat membaca pesannya.

Sempat berpikir, aku langsung membuka pintu mobilku dan segera berlari menuju gerbang SMA Taruna Bangsa. Hujan cukup membasahi seragamku.

Aku melintasi koridor dengan berlari. Tiba-tiba, aku menabrak seseorang. Hal itu menyebabkan buku yang dipegangnya jatuh berserakan. Aku buru-buru membantunya dan meminta maaf.

"Aduh, maaf ya!" ujarku sambil mengambil buku-buku yang berserakan di lantai.

"Iya, it's okay," ucap seseorang itu dengan aksen British-nya yang kental, berhasil membuat aku memuji logatnya di dalam hati.

Aku menyerahkan buku-bukunya. Sekilas, aku melihat wajahnya. Tak ada waktu, aku buru-buru berlari menuju kelasku.

"Hei, Tal!" sapa Kayla saat aku meletakkan tas di bangkuku yang terletak di sebelah Kayla.

"Hei.. Kay," balasku sambil terengah-engah.

"Tumben banget telat. Anak teladan macem lo jarang banget telat," kata Kayla.

"Hush, gue mau bernafas dulu," ucapku sambil mengendalikan nafas. Kayla memincingkan mata.

Aku menyiapkan buku Kimia, pelajaran pertama. Untung aku masuk tepat 2 menit sebelum bel masuk berbunyi. Kalau sampai telat, Bu Lastri, guru Kimia, pasti akan memarahiku habis-habisan.

Aku membolak-balikan buku Kimiaku, memeriksa jawaban PR. Kayla menatapku dengan tatapan bingung.

"Soal apa tu?" tanyanya penasaran.

"PR," jawabku singkat.

"Serius?!!" seru Kayla tertahan, karena Bu Lastri sudah ada di depan kelas.

"Ga, gue ga serius," ucapku datar. Kayla mendengus kesal. "Ya jelas gue serius, lah! PR-nya kan dikumpul hari ini," lanjutku.

Ekspresi Kayla mendadak panik. Tanpa berkata-kata, ia menarik buku Kimiaku untuk dicontek. Aku hampir tertawa melihat ekspresinya.

Bu Lastri mulai berbicara. Aku memperhatikan dengan saksama. Kayla yang duduk di sebelahku belum selesai mengerjakan, eh, mencontek PR. Wajahnya pucat. Tidak lama lagi, pasti Bu Lastri akan meminta semuanya untuk mengumpulkan PR.

Perkiraanku ternyata salah. Bu Lastri tidak menyuruh untuk mengumpulkan PR, melainkan langsung menerangkan materi. Tampak kebahagiaan dari wajah Kayla.

"Bu, apa PR yang kemarin tidak dikumpulkan?" tanya salah seorang temanku yang terkenal rajin, Alya. Mata Kayla terbelalak menatap Alya. Ekspresinya berubah dengan sangat cepat.

"Oh, iya, Ibu hampir lupa," kata Bu Lastri. "Sekarang, silakan kumpulkan PR. Yang belum mengerjakan, tidak membawa buku, ataupun belum selesai, silakan maju ke depan kelas."

Kayla berdiri dengan kesal. Beberapa anak lain yang tidak mengerjakan PR juga maju ke depan kelas.

Kayla dan anak lain yang maju ke depan kelas ditanyai oleh Bu Lastri satu-persatu.

"Em, saya... saya sudah mengerjakan di rumah, tetapi belum selesai," jawab Kayla mengarang cerita. Aku tertawa kecil. Mana ada dia mengerjakan di rumah. Ia baru mengerjakan saat bel pelajaran telah berbunyi.

Semua anak yang maju sudah menjawab alasan mereka tidak mengerjakan PR--sebagian besar hanya omong kosong.

"Baik. Sekarang, silakan keluar kelas dan mengerjakan halaman 90. Kalian tidak boleh masuk sampai jam pelajaran saya selesai. Saya sangat tidak suka pada anak yang pemalas dan tidak bertanggung jawab," kata Bu Lastri. Anak-anak yang dihukum hanya mengangguk pasrah. Mereka mengambil buku dan pergi ke luar kelas.
*
Teng! Teng! Teng! Bel istirahat berbunyi. Aku mengambil dompetku. Perutku lapar sekali.

"Ke kantin yuk, Sa!" Aku mengajak Sasa, salah satu teman sekelasku yang lumayan dekat denganku. Ia tinggi, cantik, dan pintar.

"Yuk!" Sasa menyetujui ajakanku. Kami berjalan beriringan menuju kantin.

Sampai kantin, aku memesan batagor dan es teh. Sementara Sasa memesan siomay dan es jeruk.

"Tal, itu kerumunan apa ya?" tanya Sasa sambil menunjuk kerumunan di pojok kantin.

"Ntah, mungkin ada anak baru yang mendadak jadi primadona sekolah," jawabku asal.

"Ke sana, yuk!" ajak Sasa menarik tanganku.

"Gak usah, deh. Lu aja. Gue jangan meja biar nggak kepake orang lain," kataku beralasan. Sejatinya, aku sedang mager alias malas gerak.

Beberapa menit kemudian, pesananku dan Sasa sudah datang. Aku segera melahap batagorku. Iseng, aku menyeruput es jeruk Sasa. Ia belum balik ke meja, masih di kerumunan itu.

Tiba-tiba, ada yang menepuk bahuku. Aku terlonjak kaget.

"Tal, kok lo ga ngajak-ngajak gue ke kantin, sih?" protes Kayla sambil menarik kursi yang terletak di depanku.

"Gue tadi belum ketemu sama lo. Keburu lapar. Salah siapa ga ngerjain PR," ucapku dengan santai. "Btw, ga usah ngagetin juga kaliii," cetusku. Tentu saja hanya bercanda.

Kayla tanpa izin langsung mencomot siomay milik Sasa dan menghabiskannya. Aku membulatkan mataku.

"Kayla, itu punya Sasa!" seruku. Bisa-bisa, aku diomeli Sasa!

Kayla hanya mengangkat bahu seolah tidak peduli.

Teng! Teng! Teng! Bel masuk berbunyi. Aku dan Kayla bergegas ke kelas. Kami meninggalkan Sasa yang masih berada di kerumunan itu. Tiba di depan kantin, aku ingat bahwa Sasa masih berada di kantin. Aku langsung kembali ke kantin dan mencari Sasa dikerumunan itu. Beruntung, Sasa mudah ditemukan. Aku langsung menarik tangannya.
*
"Tadi itu kerumunan apa, Sa?" tanya Kayla. Kami bertiga berjalan beriringan menuju halte bus kota terdekat.

"Itu tuh, ada anak baru ganteng banget. Bule lagi. Anak kelas sebelah," jawab Sasa.

"Pantes aja dikerubungin. Persis semut-semut ngerubungin gula," sahutku.

"He, jadi lo ngatain gue salah satu dari semut-semut itu?" tanya Sasa kesal.

"Yaa, begitulah!" jawabku ringan.

"Eh, awas lo Talia!!" seru Sasa mengambil posisi hendak menjitakku. Aku segera menghindar dari jitakan mautnya.

"Namanya siapa?" tanya Kayla yang masih stuck berada di antara aku dan Sasa.

"Peter."

Boy(friend) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang