Could I?

1.8K 84 0
                                    

"Ah, mungkin perasaan lo aja," kata Kayla bermaksud menenangkanku.

"Yaudah gue telfon dulu si Peter," ujar Kevin. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Peter.

"Nomor yang Anda hubungi tidak dapat di-" Hanya jawaban dari operator yang Kevin dapatkan. Aku mengadah.

"Mungkin dia lagi diperjalanan, Tal. Sabar aja," ucap Kevin. Aku hanya mengangguk pasrah. Memangnya apa yang bisa aku lakukan?

Tiba-tiba, perhatian kami tertuju pada Mama Peter yang sedang menangis dan Papa Peter yang berusaha menenangkannya. Banyak tamu-tamu undangan yang mengelilingi mereka. Alisku mengkerut. Aku menelan ludah. Apa yang sedang terjadi? Aku, Kayla, dan Kevin saling melempar pandang.

Aku memutuskan untuk menghampiri Mama dan Papa Peter dan menanyakan apa yang sedang terjadi saat ini. Sungguh, aku sangat cemas. Keringat dingin mengalir dari tubuhku.

Aku menembus kerumunan orang. Aku menatap Papa dan Mama Peter bergantian.

"Tante, Om, ada apa?" tanyaku dengan raut wajah khawatir. Aku memeluk Mama Peter. Keluargaku dengan keluarga Peter memang dekat.

"Peter... Peter... dan teman yang diboncengnya kecelakaan, Nak," jawab Papa Peter sambil menghembuskan nafas berat.

Aku terkejut. Mataku membesar. Entah apa yang tiba-tiba menyerangku, tubuhku menjadi lemas, seolah-olah tubuhku tidak berbobot. Mataku menitikkan air mata. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Kayla, Kevin, Calista, dan teman-teman yang lainnya juga tampak terkejut. Fans Peter bahkan ada yang berteriak-teriak panik, memperkeruk keadaan.

"S-sekarang Peter a-ada di mana, Om?" tanyaku sambil terisak.

"Di Rumah Sakit Sardjito. Kami segera ke sana. Nak Talia mau ikut?" kata Papa Peter. Aku mengangguk lemah.

Beberapa menit kemudian, satu-persatu tamu pulang. Hingga akhirnya hanya menyisakan aku, Mama Peter, Papa Peter, Kayla, Kevin, dan Calista.

"S-saya juga mau ikut, Om, Tante! Saya pacarnya Peter," ujar Calista tiba-tiba. Aku menatapnya nanar. Sementara Kayla dan Kevin menatap Calista dengan tajam. Masing bisa ia berkata seperti itu disaat seperti ini?

Aku, Mama Peter, Papa Peter, dan Calista menuju Rumah Sakit Sardjito menggunakan mobil milik keluarga Peter. Kalau Kayla dan Kevin, mereka mengikuti mobil keluarga Peter dengan menggunakan motor.

Sesampainya di sana, kami semua bergegas menuju ICU. Semuanya merasa sedih, tak terkecuali aku yang tidak bisa lagi membendung air mata yang siap meluncur di pipiku. Aku sudah tidak mempedulikan pakaian dan make up yang aku pakai. Sekarang, bagiku yang penting adalah keselamatan Peter dan Sasa. Aku tidak mau kehilangan mereka.

Aku, Mama Peter, Papa Peter, Calista, Kayla, dan Kevin menunggu informasi dari dokter di ruang tunggu. Aku menggigit jariku.

Dokter keluar dari ruangan tempat Peter diperiksa. Sementara dokter yang memeriksa Sasa belum keluar.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Mama Peter saat dokter keluar dari ruangan.

Dokter yang ditanyai menghembuskan nafas berat. Menatap satu-persatu kami berenam. "Pergelangan kaki kanan anak ibu harus diamputasi karena tulang remuk karena terlindas mobil. Selain itu, anak ibu amnesia yang disebabkan karena benturan keras," jawab dokter tersebut.

Mama Peter tiba-tiba pingsan, Papa Peter dengan sigap langsung menahan Mama Peter. Aku, Kayla, dan Calista terisak. Sementara Kevin masih bisa menahan tangis. Ia tahu, ia tidak boleh menangis. Ia harus menenangkan semuanya.

Peter.
Kenapa disaat hari ulang tahunmu kamu justru seperti ini?

Aku terduduk, terkulai lemas.

**

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi, anak ibu tidak bisa tertolong," umum dokter. Mama Sasa langsung berteriak histeris. Aku--untuk kesekian kalinya--meneteskan air mata dengan deras.

"Innalilahi wa inna lillahi rojiun," ucap seluruh yang ada di sana, termasuk aku.

Sasa, sahabat gue, semoga lo tenang di sana, ya! Lo di sana pasti seneng, ya? Bisa jalan-jalan di surga. Suatu saat, pasti aku dan yang lainnya bakal nyusul ke sana, kok! batinku.

Hatiku seolah-olah tercabik ketika mendengar informasi dari dokter. Aku menyesal. Aku yang telah menyuruh Peter untuk menjemput Sasa. Seandainya waktu itu aku tidak menyuruhnya, pasti Sasa masih ada di sisiku dan Peter tidak akan menderita seperti ini. Sungguh, aku menyesal.

"Ka-kayla... ini s-semua salah gue," lirihku sambil membenamkan tubuhku di pelukan Kayla. Kayla yang juga terisak balas memelukku. Ia mengusap rambutku.

"Nggak, lo nggak ada sangkut pautnya sama kejadian itu. Ini semua takdir Tuhan, Tal. Dan mau nggak mau, bisa nggak bisa, lo harus terima semua ini," kata Kayla. Aku membiarkan emosiku meluap-luap. Aku menangis sepuasnya, menuangkan rasa sedih dan sesalku.

"Hust, mendingan, kita doain aja buat Sasa. Semoga dia tenang di sana," ujar Kayla dengan suara parau karena habis menangis. Aku mengangguk. Di dalam hati, aku selalu dan tak pernah berhenti mendoakan Sasa.

**

Aku menyobek selembar kertas dari buku diary-ku. Tak lama kemudian, jari-jariku sudah menari. Aku menuliskan semua isi hatiku pada selembar kertas itu. Mataku sembab.

Untuk Sasa,
Sa, maafin gue, maafin gue, maafin gue. Gue yang udah buat lo seperti ini. Kalo lo nggak bisa maafin gue, itu wajar. Gue emang sahabat yang paling nggak becus. Lo boleh marahin gue sepuasnya.
Seandainya waktu itu gue nggak nyuruh Peter buat jemput lo, pasti sekarang lo masih di sini. Masih bercanda sama gue dan Kayla. Um, Sasa, gue mohon. Lo juga harus bahagia ya, di sana! Dan lo di sana doain buat kesembuhan Peter juga.
Sa, maaf kalo gue selama ini nyakitin perasaan lo. Gue tau lo pernah marah sama gue. Pernah kecewa sama gue. Pernah sedih karena gue. Sa, gue bener-bener minta maaf. Maaf. Maaf. Maaf.
Sasa, gue juga mau ngucapin terima kasih sama lo. Terima kasih karena selama ini lo udah ngajarin gue apa artinya persahabatan. Terima kasih karena lo udah ngajarin ke gue apa artinya pengorbanan. Argh, gue emang kurang ajar banget ya, Sa? Udah minta maaf, terima kasih lagi. Hahaha. Gue yakin lo ketawa waktu baca tulisan gue ini.
Yaudah, itu aja yang mau gue omongin. Gue harap, lo sudi maafin gue dan nerima ucapan terima kasih gue. Gue kangen lo, Sa. Padahal baru beberapa jam yang lalu, ya?

Sahabatmu,
Tania Alvira Viana

Aku memeluk kertas yang sudah basah karena terkena air mataku itu.


Boy(friend) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang