Whose?

1.8K 106 1
                                    

Aku meletakkan tasku di bangku. Aku mencari-cari keberadaan Kayla. Namun, ia tidak terlihat sama sekali keberadaannya di kelas. Padahal ini sudah pukul 7 kurang 5 menit. Jam pertama adalah pelajaran Bahasa Inggris. Kan tidak lucu, jika ia dimarahi habis-habiskan oleh Pak Ibnu.

"Si Kay belum dateng, Tal?" tanya Sasa.

"Belom nih. Mungkin kena macet," jawabku. Sasa hanya mengangguk.

5 menit sudah terlewatkan dengan cepatnya. Bel tanda dimulainya pembelajaran di sekolah sudah berbunyi. Aku menatap jamku. Sebentar lagi, Pak Ibnu pasti akan segera datang karena beliau bukan tipe guru yang suka ngaret. Semoga saja Kayla datang sebelum Pak Ibnu masuk ke kelas.

Ternyata, Harapanku terkabul. Detik berikutnya, Kayla muncul dari ambang pintu dan segera duduk di sebelahku. Kelopak matanya terlihat hitam karena kekurangan tidur.

"Kok telat, Kay?" tanyaku pada Kayla yang sedang buru-buru menyiapkan buku untuk pelajaran Bahasa Inggris.

"Iya. Gue tadi malem tidurnya kemaleman banget," jawab Kayla. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari buku Bahasa Inggris.

"Tumben. Lo nonton drama Korea yang kapan itu gue kasih ke lo?" tanyaku.

"Ngga, tapi ka- eh iya," jawab Kayla.

Tak lama kemudian, Pak Ibnu masuk ke dalam kelas dan memulai kegiatan belajar dan mengajar dengan para murid. Aku pun serius mendengarkan penjelasan dari Pak Ibnu.
**
"Kay, cus ke kantin, yuk?" ajakku dan Sasa.

"Hm, yuk," sahut Kayla pelan. Kami bertiga berjalan beriringan menuju kantin.

"Lo berdua mau pesen apa? Biar gue yang mesenin," tawarku.

"Gue mie ayam aja," jawab Sasa.

"Kalo lo, Kay?" tanyaku.

"Samain aja sama Sasa," jawab Kayla. Aku pun mengangguk dan segera menuju penjual mie ayam.

Berhubung saat itu kantin sedang padat, jadi aku harus mengantre di antrean cukup panjang untuk memesan mie ayam.

Akhirnya, setelah 10 menit berdiri, tiba saatnya aku memesan mie ayam. Aku pun memesan mie ayam 3 porsi.

Aku hendak membayar, tapi tiba-tiba aku panik. Gils, bego, uang gue ketinggalan di tas, umpatku dalam hati. Pipiku memerah. Antrean di belakangku mulai memanjang.

"Kenapa, Tal? Kok panik gitu?" tanya seseorang yang entah sejak kapan ada di sebelahku. Ternyata, ia adalah Peter.

"Uang gue ketinggalan di kelas," jawabku sambil berbisik.

"Yaudah, nih," sahut Peter sambil memberi uang sejumlah Rp30.000,00.

"Makasih, ntar gue-" Ucapanku terpotong oleh ucapan seorang siswi yang mengantre di belakangku.

"Cepetan, dong!" protes siswi tersebut. Kalau tidak salah, nama siswi tersebut adalah Andini.

Aku menoleh sekilas. Walaupun protes, Andini tetap tidak memalingkan mata dari wajah Peter. Matanya bersinar. Siapa pun yang melihatnya pun akan tahu bahwa ia sedang jatuh cinta.

Aku memberikan uang pada penjual mie ayam dan membawa nampan berisi 3 mangkuk mie ayam. Aku berjalan menuju meja yang sudah diduduki oleh Sasa dan Kayla. Ternyata, Peter mengikutiku berjalan ke meja.

Aku pun duduk di salah satu kursi. Sementara Kayla dan Sasa mengambil mangkuk mie ayamnya. Peter menarik salah satu kursi dan mendudukinya.

"Nanti uangku gue ganti, Ter," ucapku pada Peter.

"Uang apaan?" tanya Sasa kepo. Ia memang makhluk paling kepo yang pernah aku kenal.

"Talia tadi ngga bawa uang. Yauda, gue kasih aja. And, ngga usah lo ganti, Tal," jawab Peter.

"Bhak, malu-maluin banget lo, Tal!" kata Sasa dengan muka memerah karena menahan tawa.

"Yeee, ngga ada yang liat juga selain Peter. Eh ada deng, yang tadi di belakang gue. Tapi gue juga ngga kenal dia. Masa bodo ah," ucapku, lalu aku memasukkan mie ayam ke mulutku dengan menggunakan sumpit. "Bener nih, Ter, uangnya ngga gue ganti?" tanyaku memastikan.

"Beneran, lah. Ngga usah ngga enakan gitu lah. Kita kan sahabat," jawab Peter. "Sasa sama Kayla juga sahabat gue."

"Gue ngga ngga enakan, kok. Justru gue seneng. Kayaknya lo harus sering-sering, Ter, nraktir kita bertiga," ucapku dengan mulut penuh dengan mie ayam.

Peter tiba-tiba mengacak rambutku karena mendengar ucapanku lalu kabur begitu saja. Ia sukses membuatku memajukan bibir 5 cm. Sementara Sasa, tanpa aku ketahui sedang tersenyum pahit.
**
PETER SIDE on

Peter men-dribble bola basketnya. Ia sekarang berada di lapangan basket di belakang rumahnya. Ia memang mempunyai lapangan basket khusus.

Setelah bosan men-dribble bola basketnya, ia masuk ke dalam rumah dan membuka kulkas. Ia mencari-cara minuman yang ada dalam kulkas. Akhirnya, ia memilih mengambil jus jeruk.

Saat sedang asyik-asyik minum, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengerutkan kening. Nomor tidak dikenal.

"Halo?"

"Halo. Ini gue, Sasa," kata orang di seberang sana yang tidak lain adalah Sasa. Ia sangat mengenal suara itu.

"Ooh Sasa. Ada apa, Sa?" tanya Peter bingung.

"Anu," jawab Sasa dengan suara gemetar. "Gue mau ngomong sesuatu."

"Ngomong apa? Santai aja, ngga usah gemeter gitu dong," kata Peter sambil tertawa. "Atau kita janjian aja kalo penting banget?"

"E-eh, ngga usah. Gue mau ngomong sekarang aja," jawab Sasa terbata-bata.

"Oh, oke," ujar Peter menunggu Sasa bicara mengutarakan pernyataannya.

"Lo. Mau. Nggak. Jadi.... Pa..car gue?" tanya Sasa putus-putus sambil menggigit bibir bawahnya.

Peter terkejut. "Lo bercanda? Ini belum bulan April woy."

"Gue ga bercanda," ucap Sasa dari seberang.

"Sa." Peter menghela nafas. "Sorry, gue ngga bisa nerima lo." putus Peter.

"Ke-kenapa?" tanya Sasa sambil menitikkan air mata--walau Peter tak bertemu dengannya secara langsung, ia langsung dapat mengetahui dari nada bicaranya.

"Karena... gue..." "Gue udah punya pacar." jawab Peter, lalu menghela nafas.

Tut..tut..tut... Telepon dimatikan oleh Sasa. Peter membanting tubuhnya ke sofa dan mengusap wajahnya dengan frustasi. Gue jahat banget, udah nyakitin perasaan cewek. Apalagi itu sahabat gue sendiri, batin Peter.

Boy(friend) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang