"Nah, mulai sekarang jangan dengarkan apa kata Prita. Aku bisa saja menghajarnya jika ia mem-bully kamu," ucap Peter.
"Pakai 'kak', Peter. Itu tidak sopan," ujarku mengingatkan.
"Biarkan saja," kata Peter tak acuh.
Tak lama kemudian, bus yang kami naiki telah sampai di halte terdekat dengan perumahan kami. Kami pun turun dan berjalan beriringan ke perumahan. Sudah pernah aku jelaskan bahwa aku dan Peter adalah tetangga.
"Kau bisa mengajariku Kimia tidak? Kudengar kau hebat juga dalam pelajaran itu. Terbukti, nilaimu bagus-bagus semua," tanya Peter.
"Ya, tentu saja aku mau. Kapan?" kataku.
"Nanti malam pukul tujuh aku akan ke rumahmu," jawab Peter. Aku mengangguk menyetujui.
Tak terasa, kami sekarang sudah di depan rumahku. Aku berpamitan pada Peter.
"Duluan ya. Bye!"
"Bye!" Peter melambaikan tangan. Aku balas melambaikan tangan sambil tersenyum.
Sampai di kamarku, aku segera berganti baju dan mengempaskan diri ke kasur. Rasanya, hari ini adalah hari yang melelahkan. Beberapa menit kemudian, aku sudah pulas tertidur.
**
Mama membangunkanku. Sekilas melihat jam dinding, ternyata sudah pukul 19.05."Ada apa, Ma?" tanyaku.
"Sudah ditunggu Peter di ruang tamu," jawab Mama.
"Ngapain dia ke sini, Ma?" tanyaku yang masih belum sepenuhnya sadar.
"Katanya mau belajar bareng," jawab Mama. Aku membelalakkan mata. Aku menepuk dahiku. Aku, kan, memang ada janji untuk mengajari Peter pelajaran Kimia.
Aku segera mengganti bajuku yang sudah bau--karena aku pakai tidur--dengan cepat kilat, melebihi kecepatan roket yang dipakai Neil Amstrong (tidak juga, sih, hehe).
Setelah berganti baju, aku menyemprot parfum ke bajuku dan menyisir rambutku yang panjang. Lalu mengambil buku paket dan buku tulis kimia, lengkap dengan bolpoint dan tipe-x. Aku segera berlari menuju ruang tamu.
"Hei, Peter! Maaf membuatmu lama menunggu," sapaku sambil terengah-engah karena berlari.
"Hei, juga. Tidak, aku baru di sini sepuluh menit yang lalu," ujar Peter. Aku tersenyum.
"Jadi, bagian mana yang akan kita pelajari?" tanyaku.
"Bab tiga. Aku masih belum paham dengan penjelasan Bu Tina. Kau tahu, kan? Beliau mengajar sambil bercerita-cerita yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Kimia," jawab Peter. Aku tertawa kecil. Pernyataan Peter memang benar.
Aku dan Peter mulai belajar dengan serius. Aku mengajari Peter bagian yang belum ia pahami.
Tiba-tiba, ponselku yang terletak di kamarku berdering, suaranya sampai ruang tamu. Aku meminta ijin pada Peter untuk mengangkat telepon dan segera mengambil ponselku.
"Halo?" Ternyata yang menelepon adalah Sasa.
"Halo juga, Tal. Gue ke rumah lo sekarang, ya? Gue home alone, nih!" kata Sasa.
"Boleh, boleh. Mumpung lagi ada Peter lho, di sini," ujarku dengan nada sedikit menggodanya.
"Beneran? Ok, gue langsung otw ke rumah lo. Bye."
Sambungan telepon terputus. Aku kembali ke ruang tamu dan melanjutkan kegiatan belajar yang belum selesai.
Tak lama kemudian, Sasa sudah sampai di rumahku. Aku mempersilakannya duduk di dekatku dan Peter. Ia ikut belajar--sebenarnya, ia hanya memperhatikan Peter, sih! Aku senyum-senyum sendiri melihat Sasa.
"Kok lo ada di rumah Talia, Ter?" tanya Sasa dengan kepo-nya.
"Iya, kami sedang belajar Kimia. Aku banyak yang belum paham," jawab Peter jujur.
"Oh. Btw, bisa nggak kamu ngomong nggak usah baku-baku banget gitu," kata Sasa. Peter menengok dan menunjukkan tatapan bingung. "Lupakan," kata Sasa akhirnya.
"Oh, ya, gue lupa. Lo berdua mau minum apa?" tanyaku.
"Up to you," jawab Sasa dan Peter serempak. Pipi Sasa memerah. Aku hampir tertawa melihat wajahnya, walau entah mengapa ada sedikit rasa aneh yang mengganjal di hatiku.
**
Aku mengempaskan tubuhku ke kasurku yang nyaman. Aku memikirkan kejadian hari ini. Mulai dari kejadian di kantin, dilabrak Kak Prita, diselamatkan Peter, pulang bersama Peter, sampai belajar bersama Peter--dan Sasa. Memikirkan semua hal itu membuatku senyum-senyum sendiri.Apa aku mencintai Peter?
Ah tidak, ini hanya simpati, perasaan peduli.
Dan yang lebih penting,
sahabatku mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy(friend) [Completed]
Teen FictionAku, si gadis kaku, yang sama sekali tidak mengenal cinta. Hingga pada suatu hari kau datang padaku. Seperti musim hujan yang tiba di daerah yang tandus. Kau memberiku secercah harapan untuk bisa mengenal cinta. Namun, ketika rasa cinta itu muncul...