Which?

4.2K 205 0
                                    

"Peter?" gumamku. "Wah, nama yang bagus!" lanjutku.

"Ati-ati ikut rombongan semut," sindir Sasa. Aku dan Kayla tertawa terbahak-bahak--entah apa yang lucu. Sementara Sasa hanya cemberut. Detik berikutnya, ia ikut tertawa.

Akhirnya, kami bertiga sampai di halte bus. Kami membeli tiket. Untuk bus trans ini, di halte mana pun kita turun, biayanya sama. Istilahnya flat.

"Kalian mau langsung pulang?" tanya Kayla.

"Gue sih, mau langsung ke rumah. Belajar Fisika. Besok ulangan Fisika, kan? Atau lo berdua mau belajar bareng di rumah gue?" tawarku.

"Boleh juga. Di rumah gue ga ada orang kali jam segini," kata Sasa. Kayla mengangguk menyetujui.

Bus yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang. Kami bertiga melangkahkan kaki. Berebut siapa duluan yang akan masuk. Bahkan, si kenek sempat mengomel memarahi kami. Boro-boro meminta maaf, kami justru tertawa dan segera duduk.

"Ini lho, Tal, yang namanya Peter," ujar Sasa tiba-tiba sambil menunjukkan foto si anak baru yang langsung populer itu.

"Gue kok kayaknya pernah lihat, ya?" tanyaku.

"Jangan bilang lu lihat doi di TV," kata Sasa dengan keras. Seluruh penumpang bus memperhatikanku dan Sasa. Pipiku memerah. Ini memalukan! Kayla yang duduk di sebelahku tertawa kecil sambil memainkan handphonenya--berpura-pura tidak mengenali  aku dan Sasa.

"Eh, enggak, gue bener pernah lihat. Di mana ya?" bisikku pada Sasa agar tidak mengundang perhatian penumpang bus yang lain. Sasa mengangkat bahu. "Ah, mungkin karena wajah setiap bule itu hampir sama," kataku sambil tersenyum getir. Padahal, sesungguhnya aku masih penasaran. Siapa laki-laki itu?

Kami bertiga berhenti bercakap-cakap ketika salah seorang penumpang ibu-ibu memarahi kami.

Ponselku berbunyi. Aku menatap layar ponselku. Pesan dari Mama.

From= Mama
Ada kejutan buat kamu di rumah. Cepet pulang ya.

Dahiku mengernyit. Kejutan apa? Aku menatap kalender di ponselku. Ulang tahunku masih 10 hari lagi. Masa, Mama memberi kejutan lebih awal. Aku benar-benar diliputi rasa penasaran.

Aku membalas SMS dari Mama.

From= Talia
To= Mama
Kejutan apaan, Ma? Ulang tahun Talia masih lama. Hehe. Btw, Sasa dan Kayla mau belajar kelompok di rumah ya, Ma.

Beberapa detik kemudian, Mama membalas SMS-ku. Cepat sekali.

From=Mama
Ada deh, nanti juga tau.
Soal temanmu yang mau ke rumah, tentu saja boleh.

Aku tersenyum menatap layar ponsel.

Aku dilanda rasa bosan. Bus terjebak macet. Kayla sudah tertidur. Sasa sibuk memainkan ponselnya. Iseng, aku merebut ponsel Sasa dan membacanya. Oh, ternyata Sasa sedang chatting sama Peter, si anak baru.

Sasa langsung mengomel ketika ponselnya aku rebut. Ia merebut ponselnya dari tanganku.

"Genit amat si lo!" ejekku.

"Eh, apa sih?" kata Sasa gelagapan.

"Kasian deh, lu, dia balasnya cuma singkat-singkat," ejekku lagi. Mengerjai Sasa sudah menjadi hobiku. Hehehe.

Sasa menjitak kepalaku. Kali ini, aku tidak sempat menghindar. Aku mengadah.

"Doi ga peka ya, Sa, ya?" godaku. Sasa hanya cemberut. "Lagian, lu sih, masa dia baru sehari masuk udah lu gebet."

"Ah tau ah, Tal!" kata Sasa ngambek.

"Eh, jangan ngambek, dong, Sa!" rayuku. Sasa justru menjitakku. Aku tidak sempat menghindar (lagi).
**
Sampai di depan rumah, sepertinya ada tamu yang sedang berkunjung. Aku mengajak Kayla dan Sasa masuk lewat pintu belakang.

Kebetulan, pintu belakang tidak dikunci. Aku, Kayla, dan Sasa segera masuk ke rumah dan mengendap-endap ke kamarku. Jika dilihat, kami bertiga mirip pencuri yang hendak merampas harta benda di sebuah rumah. Hahaha.

"Taliaa!" panggil Mama sambil membuka pintu kamarku.

"Bentar, Ma, lagi ganti baju," ujarku.

Aku mengenakan kaos putih bergambar sepatu dan celana selutut berwarna biru laut. Aku memang menyukai warna biru, terutama biru laut dan baby blue.

"Bentar ya, Kay, Sa. Lu berdua belajar duluan aja. Klo mau ganti baju, pake baju gue aja gak papa," pamitku. Kayla dan Sasa hanya mengangguk.

Aku bergegas menuju ruang tamu. Aku menyalimi tamu Mama. Apa ini kejutannya?

"Talia, ini tetangga kita yang dulu sempat pindah ke Australia. Dan katanya, anaknya satu sekolah sama kamu," kata Mama.

Mataku terbelalak. Ternyata, Peter adalah teman masa kecilku dulu! Pantas saja, aku seperti pernah melihat wajahnya.

Peter tersenyum padaku. Ia sudah tidak mengenakan seragam lagi, melainkan menggunakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dongker dan merah, serta memakai celana jeans berwarna hitam. Dia tampak sangat tampan dengan mata cokelat terangnya dan rambut cokelat gelapnya. Aku jadi agak salah tingkah karena hanya memakai kaos dan celana pendek selutut. Aku duduk di samping Mama.

"Apa kabar, Talia? Long time no see you," tanya Peter menyapa.

"Baik. Iya," balasku sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, pipiku memerah.

"Aku kangen sama kamu. Oh ya, aku mau berterima kasih sama kamu, Tal. Karena kamu, sekarang aku menjadi orang yang percaya diri. Kamu pasti ingat kan, bagaimana karakterku saat kecil?" kata Peter sambil tersenyum memperlihatkan gigiku.

"Eh, oh, ya. Kamu sekarang jadi lebih percaya diri." Aku buru-buru memasang tampang datar sebisa mungkin.

"Besok berangkat bersama, yuk? Aku bisa membawa motor," ajak Peter. "Aku yang akan menjemputmu."

"Oh ya, boleh juga." Aku menerima ajakannya. "Oh ya, ada temanku di kamar. Gue, eh, aku akan ke kamar dulu. Permisi," ijinku.

Aku melangkahkan kaki menuju kamarku. Aku masih tidak percaya. Peter, yang dulunya bocah ingusan, sekarang menjadi setampan itu? Ajaib! Dia bisa membuat siapa saja jatuh cinta pada pandangan pertama.

Boy(friend) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang