Bagi Shania dua jam terakhir berlalu sangat cepat. Ia bahkan lupa bagaimana bisa sampai ke ruangan yang identik dengan bau antiseptik tersebut, atau mungkin lebih tepatnya tak peduli karena benaknya terus mengulang kejadian berlatar suara sirine yang bersahut-sahutan.
Masih panas dalam ingatan, ketika dirinya melihat darah yang berceceran di aspal dan kegemparan yang timbul sewaktu para korban kecelakaan di evakuasi. Terutama detik-detik ketika Gavrel di bawa memasuki ambulan dengan kening penuh darah yang menjalar ke sisi kanan wajahnya, hingga kini masih terngiang jelas di benak Shania.
Air mukanya langsung memucat kala itu, untungnya sekarang ia sudah bisa bernapas lega.
"Ya ampuuun, jantung gue mau copot tadi!" Shania mengembuskan napas panjang sambil mengusap dada. Ia sedang berdiri di samping ranjang Gavrel, berhadapan dengan Dimas dan dua perempuan teman sekelasnya yang berada di sebelah ranjang sisi yang satunya.
"Sama! Gue kira lo bakalan parah banget, Gav! Ibu-ibu di depan lo aja sampe meninggal." timpal Dimas yang tadi sama paniknya dengan Shania.
Gavrel yang menjadi topik perbincangan, hanya diam dengan posisi duduk bersandar pada bantal yang ditinggikan. Balutan kain kasa tampak mengelilingi keningnya yang mendapat tiga jahitan, di atas pangkuannya terkulai tangan kanan yang dibungkus perban pada bagian pergelangan.
Barusan dokter menyatakan bahwa pergelangan tangan Gavrel terkilir dan penyembuhan ligamen yang robek cukup parah itu memakan waktu beberapa minggu, yang artinya ia tak bisa mengikuti turnamen basket tiga minggu lagi. Padahal sejak jauh-jau hari ia sudah mempersiapkan diri untuk pertandingan antar universitas se-Indonesia itu.
"Syukur lo nggak papa, Gav. Emang lo mau kemana sih tadi?" tanya Shania penasaran.
Nggak papa?
"Tadi kami mau ke perpus umum, nyusul Mia sama Yuni buat nyari referensi UTS mata kuliah yang take home. Tapi HP-nya Gavrel ketinggalan di mobil, jadi dia balik lagi." Bukannya Gavrel yang menjawab, malah Dimas yang menjelaskan layaknya juru bicara, apalagi tadi ia sempat diwawancara reporter breaking news sebagai saksi mata.
"Kenapa nggak di perpus kampus aja?"
"Penuh banget Shan, mana buku-buku yang penting udah pada di comot. Dosennya sableng, ngasih UTS take home ke semua makul yang dipegangnya hari ini tapi di kumpul besok. Mana harus nyantumin sumber dari buku, ya heboh lah satu jurusan." cerocos Dimas kesal.
"Udah kalian tenang aja, gue sama Mia udah hampir selesai kok tadi. Bawa pulang aja buku-buku yang kami pinjam," ujar Yuni, salah satu teman mereka.
"Okeee mantap!" sahut Dimas sambil mengacungkan jempolnya.
Pandangan Shania beralih pada Gavrel, sejak tadi cowok itu tak bersuara sedikit pun. Kepalanya hanya bergerak mengikuti orang yang berbicara. "Gav, you okay?"
Ketika Shania menatap Gavrel yang mengangguk kearahnya, seketika ia teringat perbincangan dengan Lusilver di Nomz Cafe. Atsaga! Bodoh sekali ia melupakan hal itu! Oxide? Apa maksudnya?
"Gue keluar bentar ya," Ucap Shania kemudian pergi dari sana. Kalau tak salah ingat, Gin masih mengikutinya saat memasuki rumah sakit ini. Namun, ia tak lagi sadar keberadaan pria itu setelah berada di ruangan Gavrel.
~*~*~*~
Lorong rumah sakit yang berisikan ruang-ruang pemeriksaan pasien rawat jalan itu tampak sepi pada malam hari, sejak setengah jam yang lalu hanya ada dua orang perawat yang lewat. Di ujung kursi tunggu yang berbaris di sana, terlihat seorang pria yang duduk dengan kepala tertunduk dan tangan terlipat di sela kelangkang. Raut wajahnya tampak suram, dengan mata sayu yang melepas tatapan menerawang ke arah lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
GINOSIDE [COMPLETED]
FantasyShania terkejut mendapati bantal yang biasa dipeluknya saat tidur tiba-tiba menjelma jadi pria tampan dan berkata bahwa Shania adalah istrinya. Mungkin efek kelamaan jomblo dan kebanyakan nonton drama korea, dirinya suka ngayal...