"Sunny..."
Shania menengadah saat mendengar panggilan itu, ia menoleh ke sumber suara dan mendapati Gavrel berdiri di depan sebuah restoran cepat saji.
"Gavrel..?"
Pemuda itu melangkah menghampirinya, "Sunny, lo nggak papa?" tanyanya cemas sembari membungkuk dengan tangan terjulur.
Shania meraih uluran tangan Gavrel kemudian bangkit berdiri, "gue nggak papa." Ia menggeleng lesu.
Tiba-tiba seseorang yang berlari di trotoar menyenggol punggung Shania sampai gadis itu terdorong kedepan dan menempel pada tubuh Gavrel yang mendekapnya spontan. Namun, kejadian itu tak berlangsung lama karena detik berikutnya Gavrel menggenggam lengan atas Shania kemudian menegakkan posisi gadis itu sehingga menimbulkan jarak diantara mereka.
"Sorry, Sun." ucapnya canggung. "Kita kesana aja yuk, banyak orang jalan di sini."
Gavrel meraih tangan Shania kemudian menuntunnya ke bawah kanopi restoran cepat saji yang hanya berjarak beberapa langkah.
Mereka berdiri berhadapan di samping dinding kaca transparan yang menampilkan kondisi di dalam restoran tersebut, sekaligus memantulkan bayangan samar tubuh mereka. Shania menoleh pada dinding kaca itu, Gavrel sengaja memilih spot dimana bangku dibaliknya kosong. Ia menilik kedalam, terlihat sekumpulan orang yang wajahnya familiar.
"Lo mau ngumpul sama temen-temen basket lo, Gav?" asumsi Shania. Pasalnya tas sport cowok itu masih mengantung di pundaknya.
"Iya, ada alumni datang terus ngadain traktiran. Tadi gue ada urusan dulu jadi datang belakangan." Terang Gavrel.
Angin berhawa dingin berhembus kencang, melambaikan ujung kemeja biru pucat yang dikenakan Shania dan terasa menusuk di kulitnya.
Gavrel menengadah menatap gelapnya malam tanpa satupun benda-benda langit yang berpijar. "Kayaknya udah mau hujan," Ia menurunkan tasnya ke lantai kemudian melepas jaketnya, "pake jaket gue aja, Sun. Biar nggak dingin." Ucapnya lalu menyelimuti punggung Shania dengan jaketnya dan membenarkan letak bagian bahunya.
Kalau saja Shania bukan sahabat karib Gavrel, mungkin hatinya akan luluh mendapat perlakuan seperti ini. Terutama sewaktu mata Gavrel yang terfokus pada jaket berkedip dan begitu kelopak matanya terbuka sepasang netra hitam pekat miliknya menyapa lembut manik mata Shania.
Senyuman Gavrel membuyarkan lamunannya, gadis itu bahkan tak sadar bahwa napasnya sempat tertahan. Saat ia menunduk untuk merapatkan jaketnya, ekor pandangannya menangkap tas Gavrel bergerak-gerak aneh.
"Gav, tas lo kenapa tuh?"
"Oh... ini." Gavrel terkekeh kecil lalu membuka rel seleting tas sport-nya yang sebelumnya memang terbuka sedikit, dari sana menyembul kepala seekor anak anjing berwarna putih dengan bercak coklat di area sekitar mata bulatnya yang menatap Shania berbinar.
"Lucu banget, Gav." Shania tersenyum lebar. Ia menjulurkan tangannya mengelus puncak kepala anak anjing itu dengan gemas dan terdengarlah suara "Guk" kecil persis seperti pekikan.
"Punya siapa nih? Kok di masukin dalam tas? Ntar nggak bisa napas lagi. Boleh digendong nggak sih?" rentetan pertannyaan antusias meluncur dari mulut Shania dan sukses membuat Gavrel tertawa.
Gavrel mengeluarkan anak anjing dari dalam tas lalu memposisikannya di gendongan Shania. "Tiga hari yang lalu ketemu di jalan, kakinya luka jadi gue bawa dulu ke dokter hewan. Sebenernya kemarin-kemarin mau dianter ke rumah, biar nanti dirawat Axel sama orang rumah kan kalau di bawa ke apartemen kasian sendirian. Tapi nggak sempat terus jadi dititipin dulu ke penenitipan hewan, baru tadi di ambil."
KAMU SEDANG MEMBACA
GINOSIDE [COMPLETED]
FantasyShania terkejut mendapati bantal yang biasa dipeluknya saat tidur tiba-tiba menjelma jadi pria tampan dan berkata bahwa Shania adalah istrinya. Mungkin efek kelamaan jomblo dan kebanyakan nonton drama korea, dirinya suka ngayal...